Kemudian dengan santai, Baron kembali melanjutkan perjalanannya. Setibanya di rumah, Fatimah menatap dingin pada suaminya. Rasa sakit berbaur kebencian mulai tergambar di raut wajahnya, namun Fatimah tak dapat berbuat apa-apa.
Seraya berjalan menuju dapur, Fatimah mengabaikan suaminya yang baru datang. Namun kepergian Fatimah membuat Baron marah.
Dia bergegas masuk kedalam rumah dan menarik bahu Fatimah dengan kuat. Matanya yang bulat melotot tajam kearah istrinya.
“Tolong kau ajarkan putrimu itu sopan santun!”
“Emangnya Lusi salah apa pada mu?” tanya Fatimah ingin tahu.
“Hari ini anak gadis mu itu, telah berani kurang ajar padaku. Seharusnya tadi udah ku bunuh dia.”
“Kau ingin membunuhnya?”
“Iya! emangnya kenapa? bukankah kau tahu, kalau dia itu anak kandungku, darah daging ku! emangnya masalah buatmu!” bentak Baron seraya menudingkan telunjuknya ke kening Fatimah.
“Astagfirullah, Bang! semestinya kau itu ngaca! lihat dirimu, apakah kau pantas di katakan seorang Ayah! jangankan anak-anak mu, aku sendiri udah muak melihat wajahmu.”
“Fatimah! kau ini istri durhaka, maka tempat mu sangat cocok berada di bawah kaki ku!” ujar Baron seraya menarik rambut istrinya dan menaruh kepala Fatimah di kakinya.
Walau perbuatan Baron begitu kejam sekali pada istrinya, namun Fatimah tak sedikitpun mau membalas, dia menerima cobaan seberat itu dengan ikhlas dan sabar.
Rasa sakit yang teramat sangat itu hanya bisa di bawa lari kedalam kamar. Di sanalah Fatimah mampu menuangkannya. Air matanya terus saja mengalir tiada henti membasahi bantal yang selalu setia menemaninya di sepanjang malam.
Air mata itu bagaikan saksi bisu atas kekejaman suami tercintanya. Bibirnya yang gemetar, terasa tak kuasa untuk bicara sepatah katapun.
Hati Fatimah terasa begitu sakit, saat dia menyadari rumah tangganya sudah tak harmonis lagi. Kelakuan Baron yang suka bermain perempuan, telah membuat pernikahannya menjadi rusak.
Di saat rumah tangan Fatimah dengan Baron sedang di ambang kehancuran, lain pula dengan keluarga Marta. Seorang juragan kaya yang tinggal di penghujung gang.
Marta hidup harmonis dengan istrinya. Gita seorang wanita lembut, dia selalu aktif dalam acara apapun di Desa waluh. Di sebelah rumah Marta ada sebuah Masjid yang berdiri kokoh dan megah.
Saat itu Marta terus saja berfikir, bagai mana cara membangun kembali rumahnya agar lebih mewah dan indah dari Masjid yang ada di samping rumahnya itu.
Seakan-akan Marta memperlihatkan pada masyarakat sekitarnya, bahwa dengan hartanya yang melimpah, dia juga sanggup membangun rumah lebih mewah dan lebih besar dari Masjid.
Saat itu Marta merasa, bahwa kekayaan yang telah dia dapat, semua atas kerja keras yang telah dia lakukan selama bertahun-tahun, tanpa pernah mengandalkan siapa pun.
Marta seorang juragan kopi yang sangat terkenal, banyak para pedagang dan saudagar lainnya, yang berdatangan dan berbisnis dengan dirinya. Sudah puluhan tahun lamanya Marta berdagang, sekalipun dia belum pernah mengalami kegagalan.
Siang itu saat azan zhuhur berkumandang, Gita mengajak suaminya sholat berjamaah di Masjid yang ada di samping rumahnya.
“Kau duluan sana sayang, nanti aku menyusul.”
“Tapi kamu menyusul ku nantinya, kan Mas?”
“Iya sayang, aku pasti datang kok.”
“Baiklah, kalau begitu aku duluan berangkat.”
Mesti mereka sangat harmonis, namun Marta begitu susah untuk beribadah, dia terlalu memuja kekayaan yang dia miliki ketimbang menyembah Allah yang telah membuatnya kaya.
Hampir selesai Gita melaksanakan sholat zhuhur berjama’ah, namun Marta belum juga datang. Perasaan Gita sedikit kesal, dia marah karena suaminya begitu sulit di ajak ke jalan yang benar.
“Kamu ini, kenapa begitu sulit untuk ku ajak beribadah sih, Mas? apakah kamu nggak takut masuk neraka?”
“Lho orang aku yang masuk neraka, kenapa kamu pula yang merasa sibuk, dek?”
“Aku cuma mengingatkan kamu Mas, kalau harta itu nggak bakalan kekal!”
“Udah toh dek, jangan di bahas lagi, nanti kita bisa bertengkar. Kalau kita bertengkar, kasihan dengan Hamdan, dia pasti sedih.”
“Ya udah, aku nggak bakalan ngomong lagi,” jawab Gita seraya berlalu meninggalkan suaminya.
“Istri pintar.”
Gita tak pernah membantah apa yang di ucapkan oleh suaminya, dia selalu menuruti perkataan suaminya, mesti suaminya itu terkadang telah membuatnya merasa tersakiti.
Siang itu, saat Hamdan pulang dari sekolah, dia langsung menemui Mamanya yang sedang duduk di ruang tengah.
“Ma, aku nanti akan mengikuti perlombaan MTQ tingkat kabupaten.”
“Siapa yang menyuruh mu, nak?”
“Ustad Rehan. Kata ustad itu, semua biaya akan di tanggung oleh Masjid.”
“Nggak apa-apa, kalau kamu memang ingin pergi, Mama nggak melarangnya kok.”
“Makasih Ma, aku akan berusaha mencari yang terbaik untuk Mama nantinya.”
“Iya sayang, dengan mengikuti perlombaannya saja, Papa dan Mama udah merasa senang sekali.”
“Kalau begitu aku akan bersiap siap dulu untuk pergi mengaji, pasti ustad Rehan telah menunggu di Masjid.
“Ya, sayang! bersiaplah.”
“Baik Ma.”
Hamdan adalah salah seorang murid yang tekun dan giat dalam belajar, ustad Rehan adalah guru yang selalu mendidiknya dengan gigih.
Hamdan rajin pergi ke Masjid, dia belajar ilmu seni al qur’an dengan benar-benar tekun sehingga dia selalu memenangkan perlombaan dan mengangkat nama Ustad Rehan di mata masyarakat.
Selain kecerdikan yang di miliki Hamdan, kekayaan yang di miliki kedua orang tuanya sangat mendukung keberhasilan putranya itu. Hamdan bisa pergi kemanapun dengan biaya pribadi yang di berikan kedua orang tuanya.
“Ada apa Nak, kenapa kau terlihat begitu gelisah?” tanya Marta pada putra tunggalnya itu.
“Begini Pa, sebenarnya aku ini sudah lama kepingin sekolah di Kairo, karena menurut yang kudengar, di sana kwalitas sekolahnya sangat bagus. hampir semua anak didiknya berhasil dan menjadi ustad terkenal.”
“Papa sih, setuju aja, tapi tanya dulu sama Mama mu, apakah dia juga setuju dengan rencana mu itu atau nggak?” saran Marta pada putranya.
“Nggak Mas, aku nggak setuju!” ujar Gita yang tiba-tiba saja muncul dari arah dapur.
“Mama!” ujar Handan kaget.
“Ingat Hamdan, kau itu adalah anak Mama satu-satunya, jika kau pergi, lalu bagai mana pula dengan Mama. Kami berdua pasti kehilangan mu nak.”
“Ma, kita ini kan orang kaya, jika Mama rindu, Mama kan bisa datang kesana mengunjungi ku. Begitu juga sebaliknya denganku. Lagian kita hanya berpisah sebentar aja kok, setelah aku mendapat gelar sarjana, aku akan kembali pulang ke Indonesia.”
“Hamdan benar sayang, apa salahnya kalau kita memberi kesempatan padanya untuk melanjutkan kuliahnya di sana. Lagian anak kita sangat berbakat dalam bidang agama, bukan itu saja, cita-cita Hamdan begitu murni untuk menjadi seorang ustad.”
“Pokoknya aku nggak setuju Mas!”
jawab Gita seraya meninggalkan Hamdan dan suaminya.
“Tenang ya nak, Ibu mu memang seperti itu, kau tahu kenapa? karena kami begitu takut sekali berpisah dengan mu. sebab kaulah putra kami satu-satunya.”
“Iya Pa.”
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Dwi sonya
semangat terus thor
2024-01-08
1
Iril Nasri
niat hamdan bagus banget ya
2024-01-08
1