Di saat mereka berdua tiba di rumah kosong itu, Sandi yang sedari tadi mengikuti mereka terus saja mengendap-endap berjalan pelan dari belakang.
Sandi penasaran sekali dengan apa yang di lakukan oleh Baron pada perempuan itu, apa lagi Sandi belum pernah mengikuti orang sejauh itu.
Mesti kaki Sandi saat itu terasa gemetaran karena takut, namun dia terus saja menghampiri rumah yang tampak menyeramkan itu.
Dari luar dinding papan yang sudah rapuh dan sedikit bias cahaya bulan di malam itu, Sandi mencoba menoleh kedalam rumah.
Saat itu Sandi mendengar sendiri desah nafas perempuan itu, hingga membuatnya blingsatan. Tak ingin penasaran, Sandi mencoba mengintip kedalam.
Saat itu Sandi benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri, apa yang selama ini belum pernah di lihatnya. Kedua tangannya terlihat begitu gemetar, Sandi bahkan tak kuasa untuk berdiri dengan lurus, karena kedua lututnya, tak kuat menopang tubuhnya yang kekar.
“Astaga…! apa yang telah kulihat! ampuni aku ya Allah."
Tak ingin di ketahui oleh Baron dan perempuan itu, Sandi akhirnya memutuskan untuk segera kembali pulang kerumahnya.
Di dalam kamar, Sandi tak bisa memejamkan mata, kejadian yang baru saja di lihat, tampak menari-nari di dalam angan-angannya.
Sementara itu, Hasan bersama istrinya sedang asik tidur lelap di dalam kamar mereka, bahkan keduanya tak mengetahui apa yang telah di alami oleh putranya itu.
Pagi sebelum azan berkumandang, Sandi sudah mondar-mandir di dapur rumahnya, gelas yang berisi minuman yang saat itu ada di genggaman tangannya, tak terasa terjatuh kelantai. Gelas itu pecah berderai. Tangan Sandi terasa dingin dan gemetaran saat itu.
Novi yang sedang tidur nyenyak langsung terbangun karena mendengar suara benda pecah dari arah dapur. Dia bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju dapur.
Ketika Novi masuk kedalam dapur, betapa terkejutnya dia, saat melihat tangan Sandi putranya berlumuran darah, karena menggenggam kaca gelas yang masih tertinggal di tangannya.
Novi melihat tangan Sandi gemetaran seperti orang yang sedang kedinginan, ketika Novi menyentuh pundak putranya itu, Sandi terlihat gelagapan ketika di tanya.
“Kamu kenapa nak? kenapa pagi-pagi begini kamu udah bangun? kamu sakit ya?” tanya Novi heran.
“Ah, eh Ibu,” jawab Sandi.
“Ada apa? cerita sama Ibu, nggak biasanya kan, kamu seperti ini?”
“Aku nggak apa-apa kok Bu, Ibu nggak usah khawatir.”
“Nggak usah khawatir gimana maksudmu, udah jelas tanganmu dingin dan gemetaran begini?” tanya Novi seraya membersihkan luka yang ada di tangan putranya.
“Sebenarnya aku hanya ingin minum aja kok Bu.”
“Kan ada Bi Marni! biasanya kamu juga menyuruh Bi Marni mengambilkan air minumnya?”
“Hari udah malam Bu, biarlah Bi Marni tidur, bukankah besok pagi dia akan bangun lebih awal. Aku kasihan padanya, ntar kalau dia sakit karena kecapean gimana?”
“Alasan! sebenarnya ada apa sih nak, sepertinya kau sedang menyembunyikan sesuatu pada Ibu?” tanya Novi penasaran.
“Nggak ada apa-apa kok Bu, aku hanya nggak bisa tidur aja malam ini. Aku haus, lalu aku ke dapur mengambil minuman, kenapa Ibu bisa curiga berlebihan sih?”
“Bukan itu masalahnya, tangan mu itu lho, sepertinya gemetaran!” ujar Novi sambil menatap tajam ke arah putranya.
“Terus terang aja pada Ibu nak, kamu itu kenapa?”
“Aduh Ibu, kenapa Ibu memperhatikan aku sedetail mungkin sih, apa menurut Ibu, aku ini seorang pembohong! tanganku nggak gemetaran, kebetulan saja, gelas yang ku pegang itu retak, jadi saat ku tuangkan air, dia langsung pecah.”
“Ya sudah, kalau kamu nggak apa-apa, silahkan lanjutkan tidurmu.”
“Iya, aku kemar dulu.”
Setelah kepergian Sandi, Novi terus saja berfikir dengan kejadian aneh yang di alami oleh putranya, karena hal itu tak pernah di lakukan Sandi sebelumnya.
“Aneh, pasti telah terjadi sesuatu pada dirinya,” gumam Novi pelan.
Beberapa saat kemudian, Marni terbangun dari tidurnya, karena saat itu jam sudah menunjukan pukul lima subuh. Perempuan itu tergopoh-gopoh pergi ke dapur untuk membuat sarapan pagi.
Saat itu Marni terkejut ketika melihat majikannya sedang duduk di dapur sendirian, di lantai ada serpihan kaca yang berserakan.
Marni tak mau bertanya langsung tentang apa yang terjadi, tapi dia segera mengambil sapu dan membersihkan pecahan kaca yang berserakan itu.
Merasa penasaran dengan apa yang telah terjadi, Marni mencoba menghampiri Novi yang tengah duduk diam di dekat meja makan.
“Ada apa Bu? kenapa ada gelas pecah?”
“Ah, nggak ada apa-apa, Bi.”
“Tapi Ibu nggak kenapa-napa kan?”
“Aku nggak apa-apa kok, Bi. Tadi Sandi bikin aku kaget, dia ke dapur sendirian dan memecahkan gelas hingga tangannya berdarah.”
“Lho, biasanya kalau Den Sandi pingin minum, dia kan selalu memanggil Bibi untuk mengambilkan air minum.”
“Itu makanya, tadi itu aku heran, tapi ketika di tanya Sandi nggak mau bicara jujur pada ku, seperti ada yang sedang dia sembunyikan di rumah ini,” jawab Novi seraya pergi meninggalkan dapur.
“Iya, aneh! ini emang kejadian aneh!” ujar Marni bicara pada dirinya sendiri.
Seperti yang ada di benak Novi dan Marni, mulai hari itu Sandi memang berperilaku aneh dirumah itu, kecurigaan Novi membuat hatinya semakin resah.
Malam itu Sandi duduk diam di ruang tamu, Hasan yang melihat putranya yang tak biasa termenung diapun datang menghampiri sandi.
“Ada apa? nggak biasanya Ayah melihat mu duduk manis di sini, biasanya juga keluar, untuk kelayapan.”
“Aku minta uang Ayah.”
“Minta uang untuk apa?”
“Untuk membeli bingkisan.”
“Membeli bingkisan? bingkisan untuk siapa?” tanya Hasan ingin tahu.
“Untuk teman Ayah.”
“Kau butuh uang berapa?”
“Lima ratus ribu.”
“Hah, kamu beli bingkisan untuk seorang teman dengan harga lima ratus ribu?”
“Itu nggak seberapa Ayah.”
“Nggak seberapa gimana maksud mu, kau membeli bingkisan dengan harga ratusan ribu, kau bilang nggak seberapa? yang benar saja kamu nak!”
“Aku butuh uang itu Ayah.”
“Begitu sepesial kah, teman mu itu?”
“Iya Ayah.”
“Sekarang jawab dengan jujur pada Ayah, untuk siapa bingkisan itu kau berikan.”
“Untuk Lusi, Ayah.”
“Lusi? Lusi siapa nak?”
“Lusi anak Bu Fatimah, Yah,” jawab Sandi pelan.
“Benar untuk Lusi, anak Bu Fatimah?”
“Benar Ayah.”
“Baiklah, akan Ayah berikan kau uang, sebanyak yang kau minta.”
“Makasih Ayah,” jawab Sandi seraya mencium tangan Ayahnya.
“Tapi ingat Sandi, nanti akan Ayah tanyakan pada Lusi, apakah kau benar-benar memberi bingkisan padanya atau nggak.”
Ucapan terakhir Hasan, membuat jantung Sandi berhenti berdetak, dia begitu takut, jika benar Ayahnya akan bertanya pada Lusi tentang bingkisan itu.
Malam berikutnya, seperti yang telah di janjikan Hasan pada putranya, Sandi pun menantikan janji Ayahnya itu di ruang tamu. Setelah uang yang di mintanya dapat, lalu Sandi pergi keluar rumah.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Dwi sonya
sema
2024-01-08
0
Iril Nasri
lanjut
2024-01-03
0