Mata Novi yang penuh kecurigaan, tak langsung percaya dengan ucapan putranya itu, di mencoba menatap tajam pada Sandi dan mencium pakaian putranya yang sudah berbau tak karuan.
“Ibu mencium bau aneh dari pakaianmu, sekarang coba jawab Ibu, kamu kemana semalaman hah!”
“Aku nggak kemana-mana, Bu. Aku hanya dari rumah Lusi, habis itu langsung pulang kerumah.”
“Benar kamu nggak kemana-mana?”
“Iya, Bu.”
“Baiklah, kali ini Ibu percaya padamu, mesti saat ini Ibu menaruh kecurigaan pada pakaian yang saat ini kau kenakan.”
Sandi yang kedoknya hampir terbongkar, mencoba tetap seperti orang yang sedang mengantuk, saat Ibunya bicara, dia mencoba melemaskan badanya, sehingga Ibunya mengira dia masih ngantuk. Padahal naluri seorang Ibu itu tak bisa di bohongi.
“Ya udah, kalau begitu aku masuk dulu, aku ngantuk banget.”
“Apa? kau masih ngantuk? lihat jam, apa kau nggak mau sekolah!”
Mendengar omelan Ibunya, Sandi langsung menutup kepalanya dengan bantal. Novi jadi semakin marah, tapi Sandi tak menggubrisnya.
Semenjak kejadian malam itu, Sandi yang biasanya patuh dan penurut, setiap hari terlihat berubah, dia tak lagi seperti Sandi yang di kenal Lusi selama ini.
Sementara itu Lusi gadis berkerudung yang cantik dan baik, pagi itu dia sudah siap untuk menyongsong masa depan yang akan menantinya.
Seperti biasa, setelah dia mengantarkan ketiga orang adiknya ke sekolah, Lusi menyempatkan diri mampir ke rumah Sandi. Karena selama ini, Sandi dan Lusi selalu pergi kesekolah secara berbarengan.
Lusi yang pagi itu sudah berada di depan rumah Sandi, dengan pelan dia mengetuk rumah kepala Desa itu. Biasanya dua kali ketuk saja, Sandi langsung muncul dan menarik tangan Lusi untuk berangkat kesekolah bersamanya.
Namun pagi itu Lusi bahkan udah berulang kali mengetuknya, tapi tak seorang pun yang datang untuk membukakan pintu rumah mewah itu.
“Aneh, Sandi kemana ya? kok dia nggak kunjung keluar, nggak biasanya dia seperti ini?” tanya Lusi pada dirinya sendiri.
Setelah tangan Lusi lelah mengetuk pintu, tiba-tiba dari balik pintu itu muncul Novi yang tampak anggun dengan kebaya yang dikenakannya.
“Eh, ada nak Lusi! mau jemput Sandi ya?”
“Iya Bu,” Lusi tersenyum manis.
“Kamu terlihat cantik sekali pagi ini,” puji Novi pada calon mantunya itu.
“Sandi nya ada Bu?”
“Ada, tuh lagi tidur.”
“Lagi tidur? apakah Sandi nggak sekolah pagi ini, Bu?”
“Sepertinya begitu.”
“Kalau begitu, biar aku duluan aja, takut terlambat nantinya.”
“Iya, nak. Iya,” ujar Novi seraya tersenyum lebar.
Setelah Lusi melangkahkan kakinya beberapa langkah, tiba-tiba saja Novi memanggilnya dari belakang. Mendengar namanya di panggil, Lusi langsung menoleh kearah perempuan yang berparas anggun itu.
“Ibu memanggil ku?” tanya Lusi ingin tahu.
“Iya.”
“Ada apa ya Bu?”
“Ada yang ingin Ibu tanyakan padamu.”
“Masalah apa ya?”
“Tadi malam, apakah Sandi datang kerumah mu?”
“Tadi malam?”
“Iya, tadi malam.”
“Tadi malam, Sandi nggak datang kerumah ku, memang dia berjanji akan menemui ku, tapi saat ku tunggu hingga larut malam, Sandi ternyata nggak datang.”
“Ooo, begitu.”
“Emangnya kenapa dengan Sandi Bu?”
“Oh, nggak apa-apa? soalnya, di malam itu, Sandi meminta sejumlah uang pada Ayahnya, alasannya untuk membelikan sebuah bingkisan untuk hadiah ulang tahun mu.”
“Ulang tahun ku? bukankah Sandi udah tahu, kalau ulang tahun ku udah lewat satu minggu.”
“Jadi Sandi nggak pernah memberikan bingkisan apa pun pada mu?”
“Nggak.”
“Kurang ajar, ternyata dia telah menipu Ayah dan Ibunya,” gerutu Novi seraya mengepalkan tangannya.
“Maaf Bu, kalau begitu aku permisi dulu, takut terlambat nanti.”
“O iya, silahkan,” jawab Novi seraya mempersilahkan Lusi pergi.
Ketika Lusi sudah pergi, Novi hanya bisa termenung sendiri, kepergian Sandi semalaman membuatnya jadi bertanya-tanya, kemana putranya membawa uang sebanyak lima ratus ribu itu.
Bukan hanya Novi yang bertanya-tanya tentang putranya, Lusi juga kepikiran dengan pertanyaan yang di ajukan Novi padanya tentang Sandi.
“Hm, apakah Sandi mulai berbohong pada ku?” tanya Lusi pada dirinya sendiri. “Kalau Sandi nggak berbohong, nggak mungkin Bu Novi bertanya seperti itu pada ku?”
Sambil melangkah pelan menuju ke sekolah, Lusi melihat Ayahnya keluar dari sebuah rumah. Keadaannya sangat memprihatinkan, wajahnya sembrautan, jalannya pun sempoyongan.
Dengan suara pelan dan sedikit takut, Lusi mencoba menegur Ayahnya. Tapi sang Ayah yang di tegur bukannya menjawab, dia malah marah dan mendorong Lusi hingga terjatuh.
“Ada apa Ayah, kenapa bisa begini?” tanya Lusi ingin tahu.
“Kamu bertanya apa? emangnya Ayah bicara apa barusan?”
“Aku kan, hanya menegur Ayah, lalu kenapa Ayah mesti marah?”
“Nggak perlu kau menegur Ayah, emangnya kau mau membuat Ayah malu hah!”
“Malu? malu sama siapa Yah? bukankah selama ini Ayah sendiri yang mempermalukan diri Ayah! lihatlah Ayah sekarang, pergi malam, pulang pagi, apa Ayah nggak kasihan pada Ibu yang menderita di rumah?”
“Siapa suruh dia memikirkan aku, perempuan bau asap aja kau banggakan.”
“Perempuan bau asap kata Ayah? agar Ayah ketahui aja ya, Ibuku itu lebih mulia jika di bandingkan dengan Ayah, mesti dia berbau asap, tapi dia nggak pernah mengeluh karena tersiksa menikah dengan Ayah.”
“Dasar perempuan ******!” bentak Baron seraya menampar putrinya hingga terpental.
“Ayah bukan orang tua yang baik, yang bisa di contoh oleh anak-anaknya, suatu saat nanti Allah pasti murka melihat kelakuan Ayah itu.”
“Diam kau, perempuan nggak berguna!”
“Saat ini Ayah bisa mengatakan aku nggak berguna, tapi suatu saat nanti, Ayah pasti menyesal telah berbuat jahat pada putri kandung Ayah sendiri,” teriak Lusi seraya berlari menjauhi Ayahnya.
“Awas kau Lusi, Ayah pastikan kau akan keluar dari rumah, dasar anak nggak berguna,” gerutu Baron sambil terus berjalan menuju rumahnya.
Mendengar suara Baron yang telah mengusik ketenangan orang-orang disekitarnya, lalu semua warga beramai-ramai melempari Baton dengan menggunakan sandal dan batu.
“Dasar suami nggak berguna, Istri menderita mencri nafkan. Kau malah menghambur-hamburkan uang saja bersama perempuan ******!”
Baron yang merasa dirinya menjadi sasaran kemarahan para warga, berusaha meninggalkan mereka yang terus saja memaki dan menghina dirinya.
Tapi karena di sepenjang jalan, semua warga mencibir dan menatapnya dengan pandangan penuh kebencian, Baron menjadi marah dan geram pada mereka semua.
“Hei! kalian itu kenapa sih? kalian iri karena ku nggak ikut serta meniduri kalian?”
“Dasar pecundang! nggak tahu malu, hanya mengandalkan istri untuk membayar perempuan ****** itu.”
“Kalian yang nggak tahu malu, dengan suara ribut dikit aja, kalian langsung keluar beramai-ramai, apa nggak tahu malu namanya?”
Ucapan Baron membuat semua warga menjadi emosi, mesti demikian, Baron sadar kalau di lawan terus maka mereka akan menyiksa dirinya habis-habisan.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Dwi sonya
ya ampun Baron kok kelakuannya kayak gitu ya
2024-01-08
1
Iril Nasri
widih, jahat banget
2024-01-08
1