5|Naik Bus

Aku berlari menuju halte bus dekat perumahanku, Rio adalah penyebab aku harus lari maraton pagi ini. Aku kesal bukan main saat mendapati garasi kosong sepertinya Rio pergi dengan membawa mobilku tanpa ijin. Aku benar-benar kesal, tapi aku juga khawatir. Luka tusukan di perutnya belum sembuh total dan dia malah pergi menyetir mobil sendiri. Aku terus mencoba menghubunginya, tapi nomornya tidak aktif.

Aku tiba di halte bersamaan dengan bus yang siap mengangkut penumpang ke rute yang satu jalur dengan sekolahku. Aku langsung masuk ke bus, tapi sial kursi di bus itu sudah penuh jadi aku terpaksa berdiri saja. Aku ingin mengutuk Rio jadi batu rasanya, aku benci harus naik bus dan berdesakan dengan banyak orang. Sekarang aku mengkhawatirkan diriku, di bus ada banyak orang yang bau keringat, ada yang sedang flu, ada yang terlihat dekil dan kumal. Ah, aku sungguh benci kendaraan umum ini.

Aku spontan menoleh saat merasakan ada tangan yang menyentuh pinggangku, aku mendapati seorang pria paruh baya tersenyum padaku dengan tangannya yang masih menempel di pinggangku. Sontak aku yang tersadar itu langsung mendorongnya menjauh.

“Apa yang Anda lakukan, pak!” seruku, kurang ajar sekali bapak ini bisa-bisanya dia berperilaku mesum di dalam bus yang penuh dengan penumpang ini.

“Bersenang-senang di pagi hari,” sahutnya lalu menyentuh pipiku yang segera aku tepis dengan kasar.

Banyak orang yang melihat kejadian ini, tapi mereka memilih diam saja seperti sudah biasa dengan tontonan kejadian seperti ini. Astaga, matilah aku di sini.

“Jangan kurang ajar ya!” ketusku, aku berusaha tetap tenang.

“Siapa yang kurang ajar?” tanya si bapak berpura-pura tidak tahu.

Bapak itu tersenyum lalu menarik tanganku hingga tubuh kami berdekatan, aku mulai panik sekarang. Aku takut dengan apa yang akan dia lakukan setelah ini.

Aku gemetar sekarang, si bapak itu tidak mau melepas tanganku. Aku mencoba menatapnya dengan sisa keberanian yang aku miliki, aku berusaha untuk tidak terlihat takut padanya.

“Kurang ajar itu seperti ini!” ucapku lalu aku menginjak kaki si bapak yang menggunakan sandal itu dengan sepatuku.

Dia meringis kesakitan lalu detik kemudian dia melayangkan tangannya hendak menamparku, spontan aku memejamkan mata membayangkan betapa sakit dan perihnya saat tamparan itu mendarat di wajah cantikku.

“Anda lah yang kurang ajar!” seru seseorang.

Aku membuka mata karena sepertinya bapak mesum itu tidak berhasil menamparku.

“Edgar,” ucapku saat membuka mata dan melihat Edgar yang kini menahan tangan si bapak tepat di depan wajahku.

Selanjutnya Edgar mengunci tangan si bapak di belakang punggung lalu menendang kaki pria paruh baya itu hingga dia bersimpuh. Bapak itu merengek dan memohon pada Edgar agar melepaskan tangannya yang sudah terasa sangat sakit.

“Lepaskan aku, bocah tengik!” rintihnya.

Semua orang tercengang dengan aksi heroik Edgar bahkan ada yang sampai mengambil video kejadian ini, ah sial bisa-bisa nanti aku ikutan viral.

“Jangan buat keributan lagi! Kalau besok saya masih melihat Anda melakukan hal mesum di bus ini, saya tidak segan untuk melaporkan Anda!” ancam Edgar.

Bapak itu masih meringis karena Edgar belum juga melepaskannya. “Baiklah… baik…lahhh” ucap si bapak.

Tak lama kemudian bus pun tiba di halte dekat sekolah.

“Aku tidak akan berterima kasih padamu,” ucapku saat aku dan Edgar tiba di halte pemberhentian dekat sekolah. Aku masih ingat kata-kata Edgar yang menyakiti hatiku kemarin di restoran cepat saji.

Edgar hanya menatapku sejenak sebagai tanggapan lalu dia berjalan mendahuluiku seolah tak peduli dengan ucapanku tadi. Aku langsung berlari berusaha menyamai langkah kakiku dengan Edgar.

“Kenapa kamu menolongku?” tanyaku. Jujur, aku sangat penasaran.

Edgar tidak meresponsku, dia masih terus berjalan. Aku kesal karena merasa diabaikan seperti ini. Aku mengambil langkah cepat lalu berdiri tepat di depan Edgar untuk menghalangi langkah laki-laki itu.

“Jangan bermain denganku, Aurelia Grizelle!” ketusnya.

Aku memutar bola mata malas, siapa juga yang sedang bermain aku kan hanya ingin bertanya. “Kenapa kamu menolongku?” tanyaku lagi.

“Karena iseng,” jawabnya lalu melewatiku begitu saja.

Aku berbalik menatap punggung Edgar yang sudah menghilang di balik gerbang sekolah. Kadang aku merasa dia sangat membenciku karena aku sering buat onar di sekolah, kadang juga aku merasa dia seperti seorang teman yang selalu baik padaku. Entahlah, setahuku dia tetap Edgar Immanuel Caesar, ketua osis yang super menyebalkan.

***

Pulang pemotretan aku langsung ke coffee shop untuk menemui Rio di sana, dia baru menghubungiku setelah mencuri mobilku seharian. Aku langsung menghampiri Rio yang sudah duduk dengan secangkir kopi dan cheese cake di mejanya.

“Dasar pencuri!” seruku pada Rio yang malah terkekeh ini.

“Kadang mencuri itu perlu karena aku tahu kamu tidak akan meminjamkan mobilmu,” ucapnya.

Ya, Rio benar. Kalau pun dia minta ijin dan memohon aku tetap tidak akan meminjamkannya mobil, enak saja dia. Siapa suruh ke Indonesia hanya bermodalkan si Dylan, sekretaris pribadinya. Harusnya dia beli mobil dan rumah jadi kan tidak perlu merepotkanku.

“Aurelia, aku ingin bicara,” ucap Rio kali ini terdengar serius.

“Sekarang ini kita sedang bicara,” sahutku.

Rio membenahi posisi duduknya, dia menatapku. Tatapannya berbeda, aku jadi merinding dibuatnya. Sepertinya akan ada hal  serius yang ingin dia bicarakan denganku.

“Sebelumnya apa kamu ingin mengajukan pertanyaan padaku?” tanya Rio.

Aku mengerutkan dahi bingung. Kenapa dia tidak langsung ke intinya saja, kenapa malah bertanya padaku. Baiklah, aku akan menggunakan kesempatan ini untuk bertanya hal yang sangat ingin aku tanyakan sejak pertama kali melihatnya di sini.

“Kenapa kamu ke Indonesia? Apa rencanamu di sini?” tanyaku, aku masih sangat penasaran kenapa Rio tiba-tiba datang ke Indonesia.

Oh iya, aku ini blasteran Jerman-Indonesia. Ibuku asli Indonesia sedangkan ayahku asli Jerman, selama ini kami menetap dan tinggal di Jerman di rumah ayahku.

Rio tersenyum sepertinya itu adalah pertanyaan yang dinanti-nantinya. “Tidak ada rencana, tapi kamu adalah alasannya.”

Aku mengerutkan dahi bingung, tidak mengerti dengan ucapan Rio. “Apa maksudmu?”

Rio menaikkan sebelah alisnya, sepertinya dia ragu padaku, mungkin dia mengira aku pura-pura tidak tahu.

“Sebentar lagi kamu lulus, ayah mau kamu balik ke Jerman dan melanjutkan studi di sana. Kamu tinggal pindah saja, ayah yang akan menyiapkan semuanya termasuk pendaftaran kuliahmu,” jelas Rio.

Deg! Mendengar dia menyebutkan Jerman saja sudah membuatku enggan. Aku benar-benar benci Jerman, tidak, aku benci dengan semua kenanganku di Jerman. Aku tidak bisa hidup bersama bayang-bayang masa laluku, aku trauma, aku tidak mau.

“Tidak! Aku tidak mau!”

Rio menghela napas, ia membenahi posisinya perlahan menjadi duduk. “Katakan, apa masalahmu dengan Jerman?”

“Bukan urusanmu!” sahutku. Aku beranjak pergi, aku tidak mau berada di sini dengan semua paksaan Rio yang memintaku balik ke Jerman.

Rio meraih lenganku, aku tidak bisa pergi kemana pun sekarang. “Lepaskan, Rio!”

“Kenapa harus Jerman? Kenapa harus seperti ini?” tanya Rio dengan nada tinggi.

“Kamu tidak akan tahu bagaimana perasaanku, Rio. Kamu tidak mengalami apa yang aku alami, aku trauma, aku tidak mau kembali ke Jerman,” ungkapku akhirnya.

“Apa ini karena bocah laki-laki itu? Bocah sepermainanmu sewaktu kamu kecil?”

Pertanyaan Rio kali ini sukses membuat hatiku sakit, aku menunduk tanpa sadar bulir air sudah menetes begitu saja, aku menangis. Aku memilih diam saja, aku benar-benar enggan bicara dengan Rio.

“Aurelia,” panggil Rio kali ini terdengar sangat lembut.

Aku masih menunduk sambil menangis, benar-benar sesak rasa di hati ini.

“Ayolah, lupakan bocah itu. Kamu sudah remaja delapan belas tahun sekarang, kenapa masih mengurung perasaan untuk bocah masa kecilmu itu bahkan kamu tidak tahu di mana keberadaannya sekarang.”

Ucapan Rio semakin membuatku merasa buruk, dia benar-benar tidak tahu cara menghibur seseorang.

“Aku dengar kamu punya pacar, lalu kenapa masih menyimpan perasaan untuk bocah laki-laki itu?” tanya Rio kali ini membuatku berpikir, benar-benar berpikir hingga aku pun ikut bertanya pada hatiku.

Apa selama ini aku pernah sungguh-sungguh jatuh cinta? Apa saat ini aku mencintai Trayon? Ah, aku tidak tahu, aku tidak bisa menjawab.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!