Freya si make-up artist yang selalu memoles wajah cantikku ini baru saja selesai meriasku dengan make-up natural untuk photoshoot majalah remaja. Aku selalu menyukai hasil riasannya yang rapi dan sangat memuaskan, sepertinya aku cocok dengan gaya make-up si Freya ini.
“Kamu selalu cantik, Aurelia,” puji Freya.
Selain hasil make-up yang memuaskan, aku juga menyukai sosok Freya yang rendah hati dan sering memuji kecantikanku ini.
“Aku memang sudah sangat sempurna sejak aku dilahirkan, hahaha…”
Aku sudah siap berpose untuk dipotret sebanyak mungkin oleh tim photographer. Aku tidak pernah merasa lelah dengan pekerjaan ini, terlebih nanti malam aku juga harus bersiap sebagai DJ di salah satu night club yang sudah mengontrak ku sekitar enam bulan. Awalnya aku hanya iseng lalu DJ menjadi hobiku bahkan sekarang aku mulai menekuninya dan bonus bagiku bisa memperoleh uang dari DJ ini. Aku memang terlahir di keluarga kaya, tapi aku ini gila bekerja. Sungguh aku benci jika hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa pun, aku berpikir selagi muda kenapa tidak? Hidup hanya sekali, sayang jika dinikmati untuk makan dan tidur saja.
“Oke selesai!”
“Kamu memang luar biasa, hasil fotomu sangat memuaskan, Aurelia.”
Tak henti-hentinya aku mendapat pujian, seperti biasa mereka selalu puas dengan hasil fotoku dan faktanya aku memang berbakat. Aku menatap layar ponselku, saat ini sudah jam tujuh malam dan perutku mulai lapar tentunya. Aku bergegas mengganti pakaianku lalu pamit pada semua orang di sini dan langsung menuju ke restoran cepat saji.
“Satu soft drink, satu beef burger with double cheese and french fries,” ucapku memesan makanan seraya memainkan ponsel membalas pesan singkat dari Trayon. Sesekali aku tersenyum membaca pesan-pesan manis yang Trayon kirimkan padaku.
“Kenapa kamu tersenyum seperti orang bodoh!” ucapan tidak sopan dari staff restoran cepat saji yang melayaniku.
Aku langsung menatap geram orang itu, enak saja mengatakan aku orang bodoh.
“Orang bodoh katamu!” seruku kesal sambil menatapnya dengan tatapan tajamku.
Aku langsung membulatkan mata penuh saat sadar staff itu adalah Edgar. Aku pikir dia anak orang kaya, dilihat dari cara dia berpenampilan dan wajah tampannya itu bahkan tidak pantas untuk seorang staff restoran cepat saji ini. Apa aku sedang bermimpi melihat Edgar di sini?
“Kau bekerja di sini?” tanyaku pada Edgar yang sibuk mentotal biaya yang harus aku bayar seraya menunggu pesananku siap.
“Apa menurutmu aku sedang bermain game cooking mama di sini?” sahut Edgar malah membuat lelucon garing.
Aku memutar bola mata malas, kami memang tidak pernah memiliki percakapan yang berbobot bahkan untuk menghirup oksigen yang sama pun rasanya kami tidak cocok. “Aku bertanya serius.”
“Dengan melihat seragam yang aku pakai ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu,” sahutnya. Aku hanya membulatkan mulut membentuk huruf o.
Edgar memberi pesananku seraya menyerahkan nota tagihan padaku, aku meraihnya dan langsung mengeluarkan kartuku untuk membayar semuanya. Selanjutnya, aku duduk di sudut ruangan dekat jendela sambil menikmati pesananku, sesekali aku memperhatikan Edgar yang sibuk melayani pengunjung. Aku masih tidak percaya laki-laki menyebalkan yang tampan dengan style yang keren itu ternyata tidak sesuai dengan Edgar Immanuel Caesar yang ada di dalam pikiranku. Aku sempat berpikir dia itu anak manja yang sok keren dan berhati dingin dari keluarga kaya raya, tapi faktanya tidak dan aku rasa dia lebih pantas hidup seperti Edgar yang ada di dalam pikiranku.
Tak terasa semua makananku sudah habis, aku meneguk soft drink hingga tandas lalu melirik ke luar jendela. Di luar hari mulai gelap, aku teringat hari ini aku ada jadwal tampil di night club.
“Baiklah, mari pulang,” ucapku pada diri sendiri. Aku beranjak dari tempatku dan sempat sedikit melirik ke konter pesanan tempat Edgar bekerja tadi, tapi cowok itu sudah tidak ada di sana. Baguslah, dia enyah dari pandanganku.
Aku tiba di rumah dan langsung menghempaskan tubuh mungilku di atas ranjang king size seraya menatap langit-langit kamarku. Aku memejamkan mata sejenak, aku ingin tidur, tapi ini sudah jam delapan malam. Satu jam lagi aku harus sudah siap pergi ke night club karena banyak orang yang menantikan penampilanku malam ini. Permainan musik EDM-ku sukses membuat banyak orang menyukaiku dan menjadikanku primadona di sana. Aku segera mandi, kali ini aku mandi dengan waktu yang cukup singkat karena akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdandan dan memilih pakaian.
Aku sudah siap dengan high waist jeans dan crop top berwarna hitam serta outer tartan merah marun ditemani sepatu kets putih dan polesan make-up natural yang membuat penampilanku semakin cantik. Aku tersenyum menatap pantulan diriku yang sempurna, tapi sayang malam ini Trayon tidak menghampiriku seperti kemarin. Hari ini dia sangat sibuk dengan pekerjaan dan tugas kuliahnya yang menumpuk. Sudahlah, aku sudah terbiasa hidup sendiri sejak aku duduk di kelas satu SMA tepatnya dua tahun yang lalu. Aku mengawali hari-hari sepiku di rumah besar pemberian ayah ini. Ayah dan Ibuku tinggal di Berlin, Jerman. Aku tidak akan mau tinggal di Jerman lagi, terlalu banyak kenangan manis sampai kenangan terburuk yang hampir merenggut nyawaku di sana bersama teman kecilku yang pergi tanpa pamit padaku. Aku ingat dulu kami sepasang bocah kecil yang saling berjanji untuk menjadi teman selamanya. Teman selamanya? Teman apanya, dia malah pergi begitu saja entah bagaimana kabarnya saat ini, aku tidak peduli.
“Dj Grizelle!” seru semua orang saat aku berdiri di dj stange.
Dari sini aku bisa melihat puluhan bahkan ratusan orang yang begitu antusias menantikan permainan djku. Berdiri di depan banyak orang seperti ini sudah bukan hal yang menegangkan lagi bagiku. Tidak ada rasa gugup, malu atau bahkan grogi, aku merasa sudah seperti pawang handal yang siap membuat semua orang di sini menari di dance floor.
“Are you ready?” teriakku sambil mengangkat tangan kananku, sedangkan tangan kiriku sibuk menyiapkan turntable.
Semua perhatian beralih padaku hingga beberapa orang yang awalnya duduk di bar pun seketika melangkah menuju dance floor.
“Ready!” teriakan nyaring semua orang yang sudah berkumpul di dance floor.
Tanpa menunggu lagi aku langsung memainkan musik EDM yang dapat membuat semua orang tersihir dan menari tanpa henti. Aku melompat-lompat kecil ikut terbawa dengan permainan musikku yang benar-benar menyihir ini, sesekali aku menari menggerakkan bahu ke kanan dan ke kiri sampai dua jam berlalu dan aku selesai. Aku merasa haus dan lelah sekali, aku langsung menuju bar untuk mendapat segelas minuman segar.
“Permainan DJ-mu oke juga,” komentar seseorang yang menghampiriku duduk di bar.
Aku menoleh spontan menutup mulut tak percaya di hadapanku berdiri seseorang yang sangat kurindukan.
“What the hell! Damn! I miss you so bad, Alvario Grizelle!”
Aku langsung memeluk Rio, dia balas memelukku. Ah, aku sangat merindukannya walau kami bersaudara bagaikan Tom and Jerry. Usiaku dan Rio beda enam tahun, saat ini aku delapan belas dan Rio dua puluh empat tahun. Kalau orang yang tidak tahu kami bersaudara pasti mengira kami ini sepasang kekasih karena wajah cantikku dan wajah tampannya yang tidak mirip layaknya saudara kandung. Aku lebih mirip delapan puluh lima persen dengan ayahku, sedangkan Rio lebih mirip dengan ibu. Dan satu hal, aku tidak pernah mau memanggil Rio ‘kakak’ karena bagiku dia jauh lebih kekanak-kanakan dariku.
“Sedang apa kamu di sini?” tanyaku pada Rio yang sudah memesan segelas wiski.
“Inikan tempat umum,” sahutnya lalu meneguk segelas wiski itu hingga habis.
Aku menghela napas, bukan itu jawaban yang aku inginkan. “Sedang apa kamu di sini, di Indonesia!” tegasku memperjelas.
“Bocah! Jelas itu bukan urusanmu, dasar anak dungu!” ketusnya.
Lihatkan, belum ada beberapa jam kami bertemu, dia sudah memulai perdebatan denganku. Dia itu kakak yang kasar dan tukang ngegas, aku hanya bertanya bahkan dengan nada bicara yang biasa saja, tapi dia malah menyahutiku dengan nada super ngegasnya itu.
“Baiklah! Siapa juga yang peduli!” sahutku tak kalah ketus lalu aku pergi meninggalkan Rio yang sepertinya akan menghabiskan malam dengan minum-minum di bar.
Aku sibuk mencari posisi tidur yang nyaman, aku memeluk guling, aku menyelimuti seluruh tubuhku, aku berbalik ke kanan lalu ke kiri. Ah, semua sudah kulakukan, tapi pikiranku terus saja memikirkan Rio. Kenapa aku malah memikirkan dia? Aku khawatir padanya, khawatir jika dia minum terlalu banyak lalu mabuk dan membuat kekacauan di sana. Aku tahu percis bagaimana si kakak yang super ngegas itu kalau sudah mabuk, dia akan bertingkah seperti anjing gila.
Aku kembali bangun lalu mengambil kunci mobilku dan memutuskan untuk kembali ke night club, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Rio. Padahal dia sudah dewasa, kenapa aku masih mengkhawatirkannya? Beberapa menit kemudian, aku tiba di sana. Namun, Rio sudah tidak ada di bar. Aku mengedarkan pandangan mencari-cari sosok Rio di antara banyak orang di sini, aku yakin dia masih di sini. Pandanganku berhenti saat mendapati sosok pria yang tidak asing bagiku, ya itu Rio. Dia sedang asik bercumbu bersama seorang wanita dengan rambut blonde itu. Sial, kenapa aku membuang-buang waktu mengkhawatirkan Rio yang sepertinya sedang bersenang-senang di sini.
“Aku benci mengkhawatirkannya seperti ini!” gerutuku kesal.
Aku memilih untuk kembali pulang, tidak ada gunanya mengkhawatirkan orang dewasa seperti Rio, dasar bodoh. Aku pun bergegas keluar, tapi tiba-tiba aku mendengar teriakan seseorang.
“Oh my god! Menyingkir dari sana!” teriak seseorang tiba-tiba.
“Ghost! Apa yang akan dia lakukan!” seru orang lainnya.
“Aaaaaaaaa…. seseorang tolong hentikan dia!”
Aku langsung berbalik, seketika tercengang dengan aksi seorang pria yang tiba-tiba datang mendekati Rio dan langsung menusuk perut Rio dengan pecahan botol di tangannya. Pria itu menusuk Rio dua kali dan hendak menusuk Rio lagi, tapi petugas keamanan datang dan berhasil mengamankan pria asing itu.
“Alvario!” seruku segera berlari lalu memeluk Rio yang sudah tergeletak lemas. Semua orang panik dengan situasi ini, petugas keamanan lainnya langsung menghubungi ambulan. Aku menangis gemetar, walau aku membenci Rio sebagai kakakku, tapi aku sungguh menyayanginya. Bertahanlah, Rio.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments