Sekarang aku di sini, di ruangan rawat inap Rio. Aku terpaksa bolos sekolah padahal jadwal ujianku sudah dekat, tapi tidak apa, Rio lebih penting bagiku. Aku bersyukur karena luka Rio tidak terlalu parah dan dokter mengatakan Rio hanya perlu dirawat satu sampai dua hari saja.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku pada Rio yang sibuk mengganti chanel siaran TV.
“Dasar bodoh! Mana ada orang yang baik-baik saja setelah perutnya ditusuk,” sahut Rio.
Oke, bahkan dalam keadaan seperti ini pun dia masih bisa ngegas. Menyebalkan. Kalau tahu akan seperti ini lebih baik aku sekolah saja dari pada harus bersama Rio yang bahkan tidak berterima kasih padaku. Dia memang tidak tahu cara berterima kasih, mungkin seharusnya aku tidak usah kembali biar dia sekarat saja.
Aku mencoba tersenyum menyembunyikan rasa kesalku. “Kalau begitu istirahat saja,” ucapku, kali ini aku tidak membalasnya ketus. Aku akan mengalah pada orang sakit, anggap saja begitu.
Rio menatapku aneh. “Kenapa kamu balik ke night club?” tanya Rio.
Aku beralih duduk di tepi ranjang Rio. “Karena aku ingat terakhir kali kamu mabuk, kamu membuat kekacauan besar. Aku khawatir, jadi aku kembali untuk menjemputmu.”
Waktu itu, saat pesta ulang tahun pernikahan ayah dan ibu, Rio minum hingga mabuk dan membuat kekacauan besar. Dia mengumpat kata-kata kasar di depan semua tamu undangan, dia juga menarik paksa gadis-gadis untuk menari bersamanya bahkan dia menantang semua pria di pesta dan memulai perkelahian, benar-benar Alvario yang kacau.
“Apa aku seburuk itu kalau sedang mabuk?” tanya Rio diiringi tawanya.
Harusnya aku merekam kejadian waktu itu agar dia tahu betapa memalukannya dia saat mabuk. Untung saja kejadian waktu itu tidak membuatnya dicoret dari kartu keluarga, benar-benar bocah.
“Jangan tertawa! Wajahmu lebih menyeramkan saat tertawa!” ledekku.
Rio kesal, dia hampir melempar remote tv padaku. Beginilah hubungan kakak-adik yang aku jalani dengan Rio. Aku memang tidak suka punya kakak seperti Rio, tapi kadang aku rindu padanya, kadang juga aku ingin selalu bersamanya.
Tok… Tok.. Terdengar suara ketukan pintu lalu pintu terbuka dan menampakan seorang pria gagah dengan setelan jas hitamnya berjalan masuk membawa ipad di tangannya.
“Selamat siang, Tuan Muda Grizelle,” ucapnya sopan pada Rio lalu dia juga tersenyum ramah padaku.
“Apa yang kamu dapatkan, Dylan?” tanya Rio.
“Dari informasi yang aku dapatkan, pria yang menusuk Anda memiliki hubungan dengan wanita itu. Saat ini pria itu sedang diproses hukum dan aku pastikan dia tidak akan bisa lepas dengan mudah,” ucap Dylan menyampaikan informasi.
Rio mengangguk-ngangguk sebagai tanggapan. Di sini aku berpikir apa kemarin itu Rio mencium wanita yang sudah punya pacar atau mungkin wanita itu sudah bersuami atau bahkan wanita itu sudah beranak tiga. Astaga kenapa Rio parah sekali.
“Pastikan pria itu menderita di penjara,” ucap Rio.
“Baik, Tuan Muda,” Dylan sedikit membungkuk lalu berpamitan pergi.
Aku langsung menatap Rio horor. “Kenapa kamu mencium wanita sembarangan sih!”
“Ya mana aku tahu, aku kan mabuk,” ucap Rio.
“Walau mabuk setidaknya pilih-pilih kek!” sahutku ketus.
“Sudah aku pilih kan lagian wanita yang kemarin itu cantik dan seksi,” Rio tersenyum sepertinya dia sedang membayangkan wanita yang diciumnya kemarin.
“Dasar pria mesum!” dalam kondisi seperti ini pun dia masih bisa berfantasi liar. Ingin sekali rasanya aku menjitak kepala Rio, tapi dia kan kakakku mana boleh seperti itu.
***
Malam ini Rio sudah diperbolehkan pulang, tidak, Rio yang memaksa untuk pulang. Katanya rumah sakit itu seperti penjara. Saat ini aku sedang mengantri di restoran cepat saji, setiap malam restoran ini memang selalu ramai dan aku yakin si Rio itu pasti lagi enak-enakan berbaring sambil menonton film di rumah. Sial, kenapa juga dia mesti memintaku beli makanan di restoran cepat saji yang seramai ini, aku sudah menawarinya makan makanan yang lain saja, tapi dia tidak mau. Menyebalkan, atau jangan-jangan dia sengaja mengerjaiku ya?
“Edgar!” sapaku saat melihat Edgar, sepertinya Edgar baru selesai bekerja.
Edgar menghampiriku yang berdiri mengantri di tempat antrian. “Kenapa?”
Aku tersenyum manis lalu menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga, kemudian menatap Edgar lembut. “Edgar,” ucapku pelan.
Edgar menatapku aneh. “Apa yang kamu inginkan dariku?”
Sial, dia peka rupanya.
“Mau tidak menggantikan aku berdiri di sini, aku lelah dan ingin duduk,” ucapku to the point dengan puppy eyes.
Edgar memutar bola mata malas. “Tidak! Aku sibuk dan mau pulang!” ucapnya lalu pergi begitu saja.
“Dasar jahat dan menyebalkan!” gerutuku kesal menatap punggung Edgar yang kian menjauh. Sepertinya dia benar-benar membenciku. Aku pikir kami hanya saling membenci di sekolah, tapi faktanya dimana pun kami masih tetap saling membenci.
Baiklah, aku masih harus berdiri di sini. Aku menghitung ada sekitar delapan orang lagi di depanku dan entah berapa menit lagi aku harus berdiri di sini.
“Duduklah,” ucap seseorang yang sudah berdiri di sampingku.
Aku menoleh.”Edgar! Aku pikir kamu sudah pulang.”
“Cepat duduk sebelum aku berubah pikiran,” ucap Edgar lalu aku memberitahu Edgar apa saja yang harus dipesan dan aku memberinya uang cash.
Aku duduk seraya tersenyum melihat Edgar ketua osis yang menyebalkan itu ternyata mau menggantikanku untuk berdiri mengantri di sana. Hingga beberapa menit kemudian.
“Nih!” ucap Edgar seraya menyodorkan tiga buah kantong plastik yang berisi pesananku.
“Terima kasih, Edgar Immanuel Caesar!” ucapku, entah kenapa aku senang sekali mengucapkan nama panjangnya.
“Jangan berterima kasih, aku melakukan ini bukan untuk membantumu.”
Aku mengerutkan dahi bingung dan memilih diam sampai Edgar mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Aku melakukan ini dengan balasan kamu tidak boleh mengganggu Sarah Zee lagi. Kamu tahu? Perbuatanmu tempo hari membuat dia sedikit trauma untuk datang ke sekolah,” jelas Edgar.
Aku berdecak sebal. “Apa barusan kamu memberitahuku bahwa kamu melakukan ini untuk seorang gadis gendut dan cupu si Sarah Zee itu?” Aku memperjelas ucapan Edgar.
Edgar mengangguk mantap sebagai jawaban.
“Apa sih bagusnya gadis gendut itu sampai kamu melakukan ini untuknya?”
“Tidak ada bagusnya. Aku melakukan ini karena aku memiliki naluri sesama manusia, tidak sepertimu yang selalu memperlakukan manusia seperti mainan. Percuma pintar dan masuk kelas unggulan tapi tidak tahu cara memanusiakan manusia.”
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, sungguh ingin menghantam mulut Edgar dengan batu nisan rasanya. Ucapannya sukses membuatku emosi parah, tapi tetap aku tahan mengingat kami berada di tempat umum.
“Jaga ucapanmu, Edgar!”
“Jaga juga sikapmu, Aurelia Grizelle!” ucap Edgar lalu pergi meninggalkanku.
Aku menatap tajam punggu Edgar, ingin sekali aku menyumpahinya agar tertabrak becak atau truk sajalah. Benar-benar menyebalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments