"Mana anakmu, Mamih ingin melihatnya, bayimu laki-laki kan?", tatap Bu Hema begitu melihat Yema keluar dari ruangan bersalin.
"Belum tahu Mih, bayinya prematur, jadi langsung dibawa ke ruang isolasi untuk diinkubator", alasan Yema.
Padahal itu hanya akal-akalan Yema saja untuk mengulur waktu, sekaligus mencari cara untuk memberitahukan hal yang sebenarnya kepada mamihnya itu.
"Mamih pulang saja, istirahat!, aku mau menemani Rania di sini", Yema memegang tangan Mamihnya.
"Tuh Papih sudah datang", Yema melihat ke arah Pak Sugito yang sedang berjalan mendekati mereka.
"Bagaimana anak dan istrimu?", tanyai Pak Sugito.
"Alhamdulillah selamat, tapi mereka masih dalam perawatan, jadi aku mau menemani mereka dulu di sini Pih",
"Ya sudah, Papih ikut senang, yo Mih, kita pulang saja, kita tunggu mereka pulang saja, Mamih kan alergi bau obat", ajak Pak Sugito, ia meraih tangan istrinya itu dan setelah pamit, mereka meninggalkan Yema yang masih berdiri di depan pintu ruang perawatan istrinya.
"Mas..., Mas..., Mas...Yema....", terdengar suara Rania memanggilnya dari dalam kamar dengan sisa tenaganya.
"Iya...iya...sayang..., aku ads di sini", Yema setengah berlari menghampiri istrinya.
"Mana bayi kita Mas", tatap Rania.
"Bayi kita sehat, ia masih dirawat , ia lahir prematur sayang, tapi jangan takut, aku yakin, dia bayi yang kuat", ucap Yema dengan tetap menggenggam kedua tangan istrinya.
"Bayi kita..., bayi kita...", ucap Rania dengan terbata.
"Bayi kita sangat cantik sayang, ia mirip kamu", senyum Yema.
"Alhamdulillah..., tapi...itu artinya Mamih akan makin membenci aku, yang ia inginkan bayi laki-laki Mas", ucap Rania tampak sedih.
"Tenang saja sayang, semoga setelah melihat bayi kita yang lucu, hati Mamih bisa luluh, kamu jangan banyak pikiran, biar cepat sehat, dan kita cepat pulang membawa bayi mungil kita", senyum Yema.
"Oh iya, siapa nama bayi kita Mas", tatap Rania.
"Ah...iya..., kita belum memberinya nama", Yema tampak diam, ia sedang memikirkan sesuatu.
"Kita beri nama Yumna Hanania Nuriel Maulida, itu nama anak kita", ucap Yema sambil mendekap kedua tangan istrinya.
"Nama yang bagus, aku suka, tapi..., apa artinya Mas", tatap Rania lagi.
"Yumna itu artinya perempuan yang selalu beruntung, Hanania, itu mengambil sebagian namamu, Rania, yang artinya selalu dilimpahkan rizki, Nuriel Maulida, artinya yang terlahir dalam keadaan selamat", ucap Yema.
"Nama itu do'a sayang, semoga anak kita selalu beruntung, dilimpahkan banyak rizki",
"Dan semoga neneknya mau menerima kelahirannya", sambar Rania, ia masih sangat mengingat ucapan Ibu mertuanya, kalau ia mrnginginkan cucu laki-laki, dan kalau ia melahirkan anak perempuan, maka Ibu mertuanya itu akan memutuskan hubungan pernikahannya dengan Yema.
"Hati Mamih pasti luluh saat melihat bayi kita, aku yakin itu", ucap Yema
"Iya..., semoga saja", harap Rania.
Mereka ngobrol sampai larut malam, hingga kantuk menghampiri, Yema tertidur masih dalam keadaan duduk disamping tempat tidur istrinya sambil tetap menggenggam kedua lengan istrinya.
Tanpa mereka ketahui, pagi-pagi sekali ibunya sudah datang ke Rumah Sakit. Ia sengaja datang lebih awal untuk melihat cucunya.
Rupanya Bu Hemalia begitu penasaran dengan cucunya yang baru lahir, terutama ia ingin tahu apa benar cucunya laki-laki.
Seorang suster mengantarnya ke ruang perawatan bayi dan mengantarnya ke tempat perawatan bayi Yema dan Rania.
"Yang ini bayinya?", tanyai Bu Hema begitu berada di depan ruang inkubator.
Di sana ada seorang bayi mungil. Tubuhnya sangat kecil, besarnya tidak lebih besar dari botol minuman.
'Hah..., yang ini cucuku?, kerdil begini, terus, ini kan bayi perempuan', pikir Bu Hema.
'Aku tidak mau punya cucu perempuan, mana kecil begitu, bagaimana besarnya, ia pasti akan menjadi anak yang lemah', pikir Bu Hema lagi.
"Sudah ya Sus, terima kasih",Bu Hema langsung pergi kembali, ia keburu mencium bau obat yang membuatnya euneuk.
"Sudah saatnya wanita itu pergi dari sisi Yema, perempuan lemah, tidak bisa memberiku cucu laki-laki", gerutu Bu Yema, niatnya untuk menemui Yema diurungkan, ia sudah tidak tahan dengan aroma obat yang kian menusuk hidungnya.
Setengah berlari ia menuju ke halaman Rumah Sakit , di sana sudah ada mobil yang menunggunya, ia berangkat bersama sopir, suaminya pun tidak mengetahui kepergiannya ke Rumah Sakit.
"Ayo Pak, kita pulang, saya sudah tidak kuat dengan bau obat", ucap Bu Hema, ia langsung saja memasuki mobil, dan tak lama mobil pun meninggalkan halaman Rumah Sakit.
"Ini sudah tidak bisa di biarkan, wanita itu harus segera pergi", gumam Bu Hema sesaat setelah berada di dalam mobil.
*****
Dengan wajah gembira, Yema membuka pintu rumah sambil menuntun Rania yang menggendong anak mereka.
Namun langkah mereka terhenti, karena Bu Hema langsung menghadangnya.
"Stop...!, jangan bawa anak itu masuk !", tegas Bu Hema.
"Mamih....?", Yema menatap mamihnya dengan kaget.
"Mamih sudah tahu, bayimu itu perempuan, Mamih tidak mau bayi itu ada di rumah ini",
"Mih..., ini cucu Mamih, masa Mamih tega?", tatap Yema.
"Tidak !, Mamih kan sudah bilang, Mamih mau cucu laki-laki, bukan perempuan, dan seperti yang Mamih bilang, kalau anak kalian perempuan, tinggalkan wanita itu Yema!!", tegas Bu Hemalia.
"Tapi Mih...",
"Mih....,Mih....,suruh masuk dulu, lihat , mereka membawa bayi, ayo Yema, Rania kalian masuk saja dulu, kita bicaranya di dalam, kebiasaan Mamih ini", Pak Sugito menyuruh mereka masuk.
"Tuh kan, Papih..., selalu begitu...", Bu Hema tampak cemberut, lagi-lagi suaminya selalu membela menantunya itu.
Setelah mereka duduk, Pak Sugito tampak melirik ke arah bayi yang sedang digendong Rania. Ia melihat bayi kecil itu sedang tidur, wajah mungilnya terlihat cantik.
"Bayi perempuan itu", sambar Bu Hemalia dengan nada ketus.
"Iya, Papih tahu, dia terlihat cantik", ucap Pak Sugito.
"Tapi Mamih ingin bayi laki-laki Pih, dia yang akan membantu Papih dan Yema menjalankan Perusahaan, kalau perempuan kan nantinya hanya akan mengabdi pada suaminya, bukan membantu kita",,tegas Bu Hema lagi.
"Tapi Mih..., anak perempuanlah nanti yang akan mengurus Mamih jika sudah tua",ucap Yema, ia mencoba bernego dengan mamihnya.
"Ah..., Mamih kan punya banyak uang, bisa membayar perawat untuk Mamih", ucap Bu Hema dengan pongahnya.
"Pokoknya, Mamih ingin kamu tinggalkan wanita ini, dan kamu akan segera Mamih pertemukan dengan Dwita, lagi pula istrimu sudah melahirkan kan?, tidak ada alasan lagi yang menghalangimu untuk menceraikan dia", ucap Bu Hema.
"Tapi Mih...", ucap Yema, ia melihat ke arah Rania dan mamihnya secara bergantian.
"Kamu tinggalkan wanita ini dan turuti keinginan Mamih, atau..., kamu tetap bersama wanita ini... , tapi tinggalkan semua fasilitas yang Mamih kasih ke kamu", tegas Bu Hema, ia tampak sudah tidak sabar sehingga langsung mengultimatum Yema.
"Mih..., kok begitu..., itu bukan pilihan Mih, keduanya tidak mungkin Yema lakukan",,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments