"Lho , kenapa tidak bisa Yema?, mumpung belum banyak orang yang tahu, terutama Mamih tidak ingin keluarganya Dwita tahu soal ini", tegas Bu Hema.
"Mih..., Pih..., itu sudah tidak bisa dan tidak mungkin Yema meninggalkan Rania, saat ini Rania sedang mengandung anak Yena, cucu Mamih dan Papih", jelaskan Yema.
"A...apa...?, hamil ...?", Bu Yema tampak kaget , ia menatap tajam ke arah Yema dan Rania secara bergantian.
"Pih..., bagaimana ini?, bagaimana kita menghadapi keluarganya Pak Agung, mereka pasti akan kecewa sama kita, bisa-bisa ini akan berpengaruh pada hubungan bisnis kita lagi", Bu Yema tampak begitu kesal.
'Ya..., mau bagaimana lagi Mih, ini sudah terjadi", ucap Pak Sugito, ia tampak lebih tenang.
"Itu yang Mamih tidak suka dari Papih, Papih itu terlalu lembek sama anak, gampang nyerah, tidak tegas", Bu Hema berbalik menghakimi suaminya.
"Mih, tadi Yema sudah bilang kan, Rania sedang hamil, semua orang juga tahu, tidak boleh ada perceraian saat istrinya sedang mengandung", bela Pak Sugito.
"Berarti kalau anak itu sudah lahir, bisa kan Yema meninggalkan wanita ini", Bu Yema melirik sinis ke arah Rania yang tetap saja menunduk.
"Sudah Mih, jangan bahas masalah itu dulu, biarkan mereka istirahat dulu, itu masih bisa dipikirkan lagi, lagi pula Pak Agung dan keluarga akan memperpanjang tinggal di Singapura, Dwita mau mengambil S2 di sana, jadi Mamih bisa bernafas lega", ucap Raden Sugito.
"Wah..., apa benar itu Pih?", Bu Yema tampak lega.
"Iya..., kita masih punya waktu , jadi biarkan Yema bertanggung jawab dulu sama istri dan calon anaknya", ucap Raden Sugito.
"Tuh, dengarkan itu..., kalian hanya punya waktu sampai anak itu lahir, setelah itu kamu Yema, harus turuti rencana Mamih, kamu harus menikahi Dwita", tegas Bu Hema.
"Sekarang cepat bawa pergi wanita ini dari hadapan Mamih, tapi ingat Yema, kamu harus menyembunyikan identitas wanita ini, jangan sekali-kali kamu bilang kepada semua orang kalau dia itu istrimu", tegas Bu Hema lagi.
Tanpa menjawab, Yema langsung meraih lengan Rania dan segera membawanya ke atas menuju kamarnya.
"Maafkan Mamih Rania, ucapan Mamih jangan dimasukkan hati", Yema membelai rambut istrinya itu saat sudah berada di dalam kamar.
"Aku sudah menduga, penolakan ini pasti akan terjadi", ucap Rania lirih .
"Tenanglah..., semoga kehadiran anak kita nanti bisa meluluhkan hati Mamih dan Papih", ucap Yema meyakinkan istrinya.
"Iya..., semoga saja", senyum Rania.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, ingat sudah ada si kecil di sini, kamu harus tetap bahagia untuk dia", ucap Yema, ia mengelus lembut perut istrinya yang sudah mulai meruncing.
Rania harus mulai terbiasa dengan kehidupan mewah keluarga suaminya, walau begitu, ia tidak serta merta bisa menikmati kemewahan itu.
Setelah suami dan bapak mertuanya pergi ke Kantor, Rania tak ubahnya seperti Art saja, Bu Yema tidak memperbolehkan istri anaknya itu mendapat pelayanan dari para Art nya.
Di rumah, Rania diharuskan membantu pekerjaan mereka, dan tidak jarang juga ia menjadi sasaran kemarahan ibu mertuanya, jika ada pekerjaan Art lain yang dianggap tidak benar.
Semua itu tidak Rania adukan kepada Yema, ia tidak ingin hubungan Ibu dan anak itu kian buruk.
Rania sudah merasa bersyukur bisa tinggal di rumah suaminya, kalau urusan pekerjaan, ia sudah biasa mengerjakannya sendiri waktu di rumahnya.
Hal itu Rania lakukan setiap kali Yema tidak ada di rumah, Art yang ada pun tidak bisa berbuat apa-apa, karena kalau mereka membela Rania, maka mereka diancam dipecat.
Melakukan pekerjaan rumah dengan kondisi perut yang terus bertambah besar membuat Rania sedikit kesulitan beraktifitas.
Hingga suatu hari, Rania yang kelelahan , ia mengalami pendarahan, untung saja saat itu Yema baru sampai di rumah, dengan sangat terkejut , Yema cepat-cepat membawanya ke Rumah Sakit.
Diagnosa Dokter yang mengatakan kalau Rania kelelahan, membuat Yema langsung curiga kepada mamihnya, yang sejak awal tidak menyukai istrinya, dan tidak merestui pernikahannya dengan Rania.
"Ini ulah Mamih kan?", tatap Yema menatap wajah istrinya yang terlihat pucat.
"Bukan, ini karena aku tidak hati-hati", bela Rania.
"Lihat saha, kalau terjadi sesuatu sama kamu dan anak kita, aku akan...", ucapan Yema terhenti.
" Akan apa...?, kamu akan apa Yema?, apa jangan-jangan kamu menuduh Mamih atas apa yang terjadi sama wanita itu?", sambar Bu Yema yang tidak diketahui kapan datangnya, ia sudah ada dibelakang Yema.
"Rania Mih..., dia Rania",
"Iya..., Mamih tahu", ketus Bu Hema.
"Mih..., kenapa lakukan ini sama Rania, Mih, dia kan sedang hamil besar, apa Mamih tidak takut terjadi sesuatu sama calon cucu Mamih?", tatap Yema.
"Cucu..?, ah iya cucu, oke ..., kalau istri kamu melahirkan anak laki-laki, Mamih bisa terima, tapi..., kalau anakmu perempuan, Mamih tidak mau, kalian secepatnya harus bercerai, karena kamu akan menikah dengan Dwita", ucap Bu Hema.
"Mih..., kok begitu, mau laki-laki, mau perempuan, dia tetap anak Yema, cucu Mamih dan Papih",
"Oohh...tidak..., yang Mamih inginkan cucu laki-laki, bukan perempuan", ketus Bu Hema.
"Itulah Mamih , apa pun selalu dengan syarat, dan syaratnya itu yang tidak masuk akal, selalu nyeleneh", gumam Yema.
"Jangan begitu Yema..., kamu ini anak Mamih satu-satunya, Mamih yang sudah membiayai semua keperluan kamu sampai sebesar ini, jadi ya..., tidak salah kalau Mamih sekarang menagih balasannya dari kamu, tidak susah, cukup turuti saja keinginan Mamih, kamu menikah dengan Dwita, tapi kalau anakmu ini laki-laki, Mamih akan mengalah, kamu boleh tetap bersama wanita ini", ucap Bu Hema panjang lebar.
"Rania Mih...", ucap Yema, ia tidak suka dengan sebutan Bu Hema kepada istrinya.
"Hah..., Mamih....Mamih..., memangnya Mamih yang mengatur kehidupan ini, mau ini, mau itu, ngatur sana, ngatur sini, Astaghfirullah...", Yema menggelengkan kepalanya.
"Aaww....", tiba-tiba Rania kontraksi, ia menjerit kesakitan.
"Dokter..., Dokter..., tolong Dok...", Yema setengah berlari menuju pintu memanggil Dokter.
Tak lama datang seorang Dokter wanita diikuti beberapa orang perawat.
Dokter memeriksa keadaan Rania.
"Pak, ibu ini mau melahirkan", ucap Dokter.
"Melahirkan Dok?, tapi ini belum waktunya Dok", ucap Yema .
"Iya..., tapi ini sudah ada pembukaan, dan air ketuban juga sudah keluar, kalau dibiarkan bisa berbahaya buat Ibu dan anaknya", ucap Dokter.
"Saya butuh persetujuan dari Bapak", ucap Dokter.
"Baik Dok, lakukan saja yang terbaik untuk istri dan anak saya", ucap Yema.
"Kamu yang kuat sayang, anak kita mau lahir", Yema menggenggam erat tangan istrinya yang tampak sudah sangat kesakitan.
Mereka kini sudah berada di ruang bersalin, tapi karena kondisi Rania yang lemah, mereka memutuskan untuk melakukan operasi cesar.
Suara tangis bayi terdengar di ruang operasi, ucapan syukur keluar dari mulut Yema, ia mengadzankan bayi mungilnya dengan berurai air mata.
rasa bahagia memenuhi relung hatinya, walau ia tahu bayinya itu seorang perempuan, yang pasti akan ditolak oleh ibunya, namun yang terpenting anak dan istrinya sudah selamat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments