Suasana di dalam mobil semakin tegang. Liam duduk di kursi pengemudi, sesekali melirik Hazel yang tenggelam dalam pikirannya sendiri, sementara Alan di belakang tampak murka, matanya tak lepas menatap punggung Liam dan Hazel dengan penuh kecurigaan. Eva, sebaliknya, sama sekali tidak menyadari badai yang perlahan terbentuk di antara mereka. Baginya, kebahagiaan hanya soal berada di dekat Alan.
Liam tersenyum tipis, memperhatikan seluruh dinamika yang ada di dalam mobilnya. Bagi Liam, menyetujui permintaan Hazel adalah hal paling konyol yang pernah ia lakukan. Namun entah kenapa, ada sesuatu yang menarik dari wanita ini, sesuatu yang memaksanya untuk terus ikut dalam permainan ini.
Hazel di sisi lain, mempertanyakan keputusan kilat Liam. Kenapa pria asing ini begitu mudah menyetujui permintaannya? Dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebaikan hati di balik persetujuan itu. Namun, Hazel tak punya waktu untuk menganalisis lebih jauh—semuanya berjalan terlalu cepat, dan kini ia harus fokus pada kebohongan besar yang telah ia bangun bersama Liam.
Sedangkan Alan, pikirannya seperti badai yang tak terkontrol. Bagaimana mungkin Hazel menikah diam-diam? Apa pria ini benar-benar suaminya? Rasa marah dan pengkhianatan menguasai Alan, membuatnya semakin tak sabar untuk mengonfrontasi Hazel.
Setibanya di hotel, Hazel segera menarik tangan Liam dan membawanya ke kamar hotel tanpa banyak bicara. Alan tetap di belakang, menyisakan pertanyaan yang berputar-putar dalam benaknya.
Begitu mereka tiba di kamar, Hazel berbalik dengan tatapan tajam. "Jadi, apa syaratmu?" tanyanya tanpa basa-basi.
Liam melipat tangan di dada dan tersenyum tipis. "Aku ingin pernikahan kita sah secara hukum."
Mata Hazel membulat, "Apa kau gila? Ini hanya pernikahan palsu! Untuk apa sah secara hukum?" Nada suaranya nyaris pecah.
Liam mengangkat bahu dengan santai, "Kau yang memintaku untuk membantumu menutupi kebohonganmu. Aku hanya memberikan syarat. Kalau kau tidak setuju, kita bisa berhenti di sini."
Hazel terdiam, perasaannya berkecamuk. Dia butuh Liam untuk terus menutupi kebohongan ini, tapi syarat itu... terlalu berlebihan. "Baiklah," akhirnya Hazel menyerah. "Tapi ingat, pernikahan ini hanya di atas kertas. Tidak lebih."
Liam mengangguk sambil tersenyum, "Setuju."
*
Hari berikutnya, Hazel dan Liam berada di kantor catatan sipil, memastikan bahwa pernikahan mereka sah secara hukum. Setelah dokumen ditandatangani, buku nikah di tangan mereka terasa berat, bukan hanya di tangan, tetapi juga di hati Hazel. Setelah semuanya beres, mereka menuju apartemen Liam.
Saat tiba di apartemen, Hazel langsung merebahkan dirinya di sofa. Tubuhnya lelah, tetapi yang lebih melelahkan adalah beban mental yang harus ia tanggung. Pikirannya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan kebingungan.
Liam yang keluar dari kamar setelah mengganti pakaiannya hanya bisa tersenyum tipis melihat Hazel yang tertidur di sofa. Ia mengambil selimut dan menutupi tubuh Hazel dengan lembut. Setelah itu, Liam menuju dapur, menyiapkan makan malam untuk Hazel. Ternyata, keahliannya dalam memasak tak main-main. Seolah itu adalah keahliannya yang lain, Liam mampu membuat hidangan lezat dalam waktu singkat.
Ketika Hazel bangun, ia menemukan catatan yang ditinggalkan Liam di meja: Ada pekerjaan mendesak, aku harus ke kantor. Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Semoga sesuai seleramu!
Hazel terkejut melihat deretan makanan di meja makan. Satu gigitan, dan ia tak bisa menahan senyum. Makanan yang disiapkan Liam benar-benar sesuai seleranya.
*
Di kantor, Liam menghadapi malam yang panjang. Rapat yang tampaknya tak pernah berakhir, ditambah dengan sejumlah dokumen yang harus segera diselesaikan. Di tengah kesibukannya, Tasha, sekretaris baru Liam, mengetuk pintu dan menawarkan secangkir kopi.
Liam mengangguk singkat tanpa banyak bicara. Tasha yang baru saja bekerja selama tiga bulan terakhir itu masih terlihat gugup dalam melakukan pekerjaannya. Saat ia meletakkan kopi di meja Liam, tangannya gemetar, menyebabkan cangkir kopi tergelincir dan tumpah mengenai jas Liam.
"Ma-maaf, Pak!" Tasha buru-buru meraih tisu dan berusaha membersihkan tumpahan kopi itu.
Liam berdiri dan melepas jasnya dengan tenang. "Tidak apa-apa," ujarnya singkat sambil menggulung lengan kemejanya. Tasha terlihat semakin gelisah, tetapi Liam hanya tersenyum kecil, mencoba menenangkannya. "Tinggalkan saja, aku yang akan urus."
Namun, sebelum Liam sempat menghentikannya, Tasha telah mengambil jas itu dan keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa. Liam menghela napas panjang, menganggap insiden kecil itu sebagai hal yang tidak terlalu penting. Namun, ada sesuatu tentang Tasha yang menarik perhatiannya—bukan karena kecerobohannya, melainkan sikap gelisahnya yang sepertinya menyimpan sesuatu.
Liam kembali duduk di kursinya, mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya tak bisa berhenti memikirkan Hazel. Terlepas dari semua kepura-puraan ini, Liam merasakan adanya sesuatu yang berbeda tentang Hazel—seperti teka-teki yang belum terpecahkan.
TO BE CONTINUE 🪄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Praised93
Terima kasih sudah update dan ditunggu update selanjutnya
2023-11-03
2