Hazel merasa seluruh dunia telah runtuh di hadapannya. Kebohongan yang ia lontarkan tanpa berpikir panjang kini menjadi bom waktu. Saat itu, ia hanya ingin menghentikan desakan keluarganya tentang kehidupan pribadinya yang selalu menjadi topik utama setiap kali ia pulang. Namun, siapa sangka, omongan asalnya justru diambil serius oleh Papa Andrew.
“Bagus sekali, jika sudah menikah mengapa tidak ajak suamimu sekalian ke sini untuk menemui Papa?” Ucapan Papa Andrew seakan petir yang menyambar Hazel.
“Benarkah kau sudah menikah, Nak?” Mama Anet, yang biasanya lebih tenang, kali ini menatap Hazel penuh selidik.
Hazel kikuk. "Te-tentu saja, Ma."
Eva, yang duduk di samping Alan, terlihat paling bersemangat. “Mengapa Kakak tidak pernah beri tahu aku? Coba tunjukkan foto suamimu, kalian pasti punya foto pernikahan, bukan?”
Hazel menelan ludah. "Mmm ... ya, tentu saja ...."
Sial, Hazel semakin terjebak dalam kebohongannya sendiri.
Eva menjulurkan tangannya. “Aku mau lihat!”
Hazel nyaris panik. Ia harus mencari jalan keluar cepat. “Eva, selesaikan makanmu dulu, kita bisa melihatnya nanti.” Ujar Papa Andrew, mencoba mengulur waktu.
"Aku permisi ke toilet," Hazel segera bangkit dan melarikan diri. Di dalam toilet, ia mengacak rambutnya dengan kesal. "Hazel ... Hazel ... apa yang kau lakukan? Kau bakal kehilangan muka jika mereka tahu kalau ini cuma omong kosong," gumamnya.
Hazel mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu menggulirkan layar tanpa arah. Tidak ada foto suami, apalagi foto pernikahan. Hingga tanpa sadar, ia terpikirkan untuk menggunakan foto editan. Pilihan yang sembrono, tapi satu-satunya harapan.
Saat kembali ke ruang makan, ia langsung menyerahkan ponselnya kepada Mama Anet. Wajah ibunya seakan terpaku saat menatap foto yang diberikan Hazel. Eva yang tak sabar langsung meraih ponsel itu dari tangan ibunya.
"Wow, kalian serasi sekali!" Eva tersenyum sumringah.
Hazel nyaris terkejut, tapi ia berhasil menyembunyikan kegelisahannya. Tidak ada yang mencurigai foto palsu itu, setidaknya untuk saat ini.
Namun Alan hanya diam memandang Hazel, matanya penuh kecurigaan. Dia tahu kebohongan ini lebih besar dari yang terlihat. Terutama karena dia sendiri selalu berada di dekat Hazel selama di London.
Malam itu berlalu dengan canggung, dan pagi harinya Hazel sudah memutuskan untuk pulang lebih awal ke London. Ia tidak ingin tinggal lebih lama di tengah kemesraan Alan dan Eva, yang membuat hatinya semakin sesak.
Namun saat Hazel hendak meninggalkan kamarnya, Alan tiba-tiba menghadangnya di pintu. Dengan cepat, dia mendorong Hazel kembali masuk dan mengunci pintu dari dalam.
“Apa kau gila, Alan? Bagaimana kalau ada yang melihatmu?” Hazel mendesis, mencoba keluar, tapi Alan menahan pergelangan tangannya dan mendorongnya ke ranjang dengan kasar.
“Katakan padaku, apakah yang kau katakan semalam adalah kebohongan?” Alan bertanya dengan nada keras.
Wajah Hazel memucat, tapi ia tetap bersikap tegar. "Apa yang aku katakan itu benar adanya."
“Kau pikir aku bodoh, Hazel? Aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun. Kau tidak pandai berbohong,” Alan menyipitkan mata, nada suaranya dipenuhi kemarahan.
Hazel merasakan luka lama kembali terbuka. “Ya, kau benar. Tidak seperti kau yang berhasil membohongiku selama enam tahun,” jawabnya getir.
Alan tertegun, kata-kata itu menusuk dalam. "Aku sudah mengatakan bahwa ini hanya perjodohan, Hazel. Kau satu-satunya wanita yang aku cintai."
Tamparan Hazel mendarat keras di pipi Alan. "Kau benar-benar brengsek," ucapnya penuh kemarahan. Ia segera berbalik menuju pintu, namun Alan mengejar.
Langkah Alan terhenti ketika suara Eva memanggil dari luar, “Kakak, Papa memintamu untuk menemuinya di ruang kerja.”
Hazel bersyukur atas kehadiran Eva yang tiba-tiba. Dia segera berlari keluar kamar tanpa menoleh lagi ke arah Alan.
*
Sesampainya di ruang kerja Papa Andrew, Hazel mengetuk pintu dengan ragu. "Papa mencariku?" tanyanya setelah masuk.
Papa Andrew tengah berbicara dengan seseorang yang duduk membelakanginya. "Kemarilah," katanya tanpa memalingkan muka dari lawan bicaranya. "Perkenalkan, dia adalah investor terbesar di ET Group."
Hazel menahan napas, wajahnya pucat. Saat pria itu berbalik, ia nyaris pingsan. Itu adalah Liam Xanders—pria yang fotonya telah ia gunakan untuk kebohongan besar tadi malam.
“Liam Xanders, dia sudah bekerja sama dengan ET Group selama lima tahun terakhir,” Papa Andrew menjelaskan dengan bangga.
Kedua mata Hazel membelalak lebar. Liam menatapnya dengan tatapan penuh teka-teki, seakan memahami situasi yang terjadi. Bagaimana mungkin, dari sekian banyak pria di dunia ini, justru pria ini yang ada di hadapan Papa Andrew?
Seakan disambar petir di siang bolong, Hazel tahu kebohongannya telah menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
TO BE CONTINUE 👇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
mang tri
Kebetulan yg sangat sangat menguntungkan hazel ya 🤭
2023-12-04
1
Cantika Avi
lanjut thor...
2023-10-30
3
Praised93
ok. lanjut.......
2023-10-30
2