Harusnya, di bulan ini, hujan tidak perlu turun. Orang-orang bilang bulan ini masih musim kemarau. Tapi lihatlah, hujan deras di sore tadi saja masih belum cukup, gerimis kecil menjadi teman dari setengah malam. Entah masih berapa debit lagi air di atas sana. Karena beberapa saat lagi, gerimis ini pasti akan berubah menjadi air bah seperti yang sudah-sudah.
Khai di tengah gerimis, di tengah malam yang sunyi, masih menyusuri jalan yang sama saat dirinya berjumpa dengan sosok yang mirip Najma. Terhitung sudah tiga kali dia berputar di sana. Tapi yang dia lihat malah sekumpulan wanita tuna susila yang duduk di pinggiran jalanan, melindungi kepalanya dengan payung, tapi membiarkan tubuhnya tertbuka, terkena angin malam.
"Bodoh lo, Khai ... Najma nggak mungkin ada di tempat seperti ini!" Merutuk dirinya sendiri, setelah berputar tiga kali, dia baru sadar tempat apa itu.
"Dia bukan lo yang brengs*k!" tertawa sendiri dibuatnya, rindunya begitu besar sampai Khai tidak bisa berpikir jernih.
Mobil akan dijalankan kembali, tapi tiba-tiba bagian kacanya diketuk seseorang. Khai membukanya, mendapati dua pria berbadan besar tersenyum ramah padanya.
"Ada apa, Pak?" tanya Khai, was-was. Tangannya masih berada di atas tombol buka tutup kaca.
"Justru kami yang mau bertanya pada, Tuan. Tuan ke sini mau booking? Mau kami kasih rekomendasi?"
Khai menggeleng. Dia tidak was-was lagi sebab yakin bahwa preman itu adalah penjaga kawasan. Mereka sebelumnya memang terlihat berdiri di gerbang masuk sebuah jalan kecil yang lebih banyak lagi perempuan duduk di depannya.
"Saya mau cari seseorang, malah nyasar ke tempat seperti ini," ucap lelaki itu.
"Oh ... orangnya seperti apa. Siapa tau kami kenal. Karena kalau sudah sampai sini, kemungkinan besar memang orangnya ada di sini. Tempat ini menjadi saksi siapa sebenarnya orang-orang di luaran sana."
"Tidak apa, Pak. Orang yang saya cari tidak mungkin ada di sini. Saya tahu betul siapa dia."
"Tunjukkan saja, Tuan. Dibandingkan penasaran. Siapa tau kami juga pernah melihatnya meski sekedar melintas." Para preman itu terlalu yakin bahwa jika yang dicari Khai ada di sana. Sebab pernah ada kejadian di mana seorang laki-laki shaleh mencari istrinya yang katanya kerja sebagai assisten rumah tangga, tapi malah dia bekerja di sana. Padahal dia adalah perempuan agamis. Atau sebaliknya, saat seorang laki-laki yang dikenal sebagai family man rupanya punya wanita lain yang dijadikan madunya.
Sekedar melintas, Khai mengangguk mendengar dua kata itu. Dia membuka ponsel, mencari foto Najma lima tahun lalu yang mulai buram. Resolusinya terlalu rendah jika disimpan pada ponselnya sekarang yang amat canggih.
"Lah ... inimah Najma. Dia memang di sini, Tuan. Tapi kalau mau booking dia, tidak bisa melalui kami. Harus melalui Nyonya Priska. Dia ini pilihan, cuma dipakai orang kalangan atas. Pantas dicari. Sebentar, saya bagi kontaknya Nyonya Priska."
Salah satu preman itu berlari ke arah pos keamanan dan tak lama datang kembali, menyerahkan kartu nama Nyonya Priska. "Kalau Tuan bisa bayar lebih, besok Tuan juga bisa mendapatkan dia," katanya sebelum pergi. Urusan mereka selesai sebab mereka tidak berani ikut campur jika mengenai anak didik langsung Nyonya Priska.
Khai terpaku sejak kedua preman itu mengiyakan keberadaan Najma. Bahkan ponselnya masih terangkat.
"Nggak, nggak mungkin. Najma nggak mungkin seperti ini!" Khai menggeleng hebat, menutup kaca mobil.
"Mereka salah orang. Iya, mereka salah orang. Najma yang mereka maksud cuma mirip dengan Najma-nya gue." Meyakinkan diri di tengah kabar yang entah benar atau salah, Khai akhirnya melajukan mobilnya pergi. Dia berusaha membantah pikiran kotornya dan mencoba memikirkan hal-hal lain yang jauh lebih baik.
Dia tau betul siapa Najma, mereka bahkan tidak pernah berciuman yang sampai melewati batas. Hanya kecup singkat, karena Khai juga tidak mau merusak orang yang dicintainya itu.
***
Efek semalam benar-benar gila. Khai mencoba lupa tapi bahkan otaknya tidak bisa berhenti memikirkan ucapan para preman itu. Dia sampai tidak bisa tidur, menambah pekat saja lingkaran hitam matanya.
Waktu cepat sekali berlalu, saat sore kembali tiba, Khai kembali menuju restaurant daging yang kemarin dia kunjungi. Entah kenapa hanya makanan itu yang membuatnya berselera di tengah gundahnya.
Rupa yang tampan dan berkharisma menjadikan Khai mudah dikenali oleh para pegawai. Hanya mengucap menu seperti kemarin, kasir menganggukan kepala, menerima kartu pembayaran. Lantas ketika selesai, seorang pegawai lain menuntunnya duduk di meja yang kemarin dia gunakan juga. Meja yang menghadap jendela keluar.
Khai membuka ponsel, melihat foto Najma yang tersenyum begitu manis. "Nggak mungkin, kan, Ma. Kamu perempuan baik-baik," lirihnya.
Rindunya semakin berat dirasa, sampai telinganya mendengar suara yang begitu tidak asing. Suara yang mulai dia lupa bagaimana kedengarannya. Sontak kepalanya menoleh, matanya melebar kala mendapati sosok dari si pemilik suara.
"Najma," ucap Khai cukup keras.
Resto yang sedang dikunjungi tiga tamu itu membuat Najma yang tengah berpamitan dengan teman-temannya melihat balik. Tapi dengan segera wanita itu berlari menuju pintu belakang, menghindar.
"Kenapa harus ada dia!!" seru Najma melewati teman-temannya begitu saja. Dia tadinya hendak keluar melalui pintu depan, tapi sialnya Khai membuatnya harus memutar pada pintu belakang.
Khai tak mungkin diam saja. Sudah lima tahun dia mencari, sekarang dia telah menemukan Najma-nya, dan dia harus segera mendapatkannya untuk meluruskan segala hal yang membuatnya bingung selama ini.
"Najma!!" teriak Khai, mengabaikan larangan karyawan yang berusaha menghadangnya memasuki area dapur resto.
Lari dan terus lari, Khai tetap kehilangan jejak Najma usai mereka keluar dari pintu belakang menuju gang depan. Entah bersembunyi, atau sudah menaiki suatu kendaraan, yang jelas, pelarian Najma membuat Khai semakin curiga.
"Najma!!!" teriaknya lagi, lebih keras. Matanya memutar ke segala penjuru arah.
"Arghhhh!!" Sial dan kesal, gemuruh dada Khai semakin bergejolak, dia kehilangan Najma-nya.
Kalau tidak apa-apa, harusnya Najma tidak menghindar, bukan?"
Lelaki itu kembali masuk ke dalam resto, para karyawan memandangnya bingung. "Tuan kenal Najma?" tanya salah satunya.
"Sudah sejak kapan dia kerja di sini. Dia tinggal di mana?" Khai bertanya balik, wajahnya berubah tak seramah sebelumnya.
"Empat tahun terakhir. Kalau untuk rumah, kami semua tidak ada yang tau. Najma selalu menghindar jika ditanya."
"Dia selalu datang sendiri, atau ada laki-laki yang mengantarnya?" Jika masih berstatus menjadi istri orang, harusnya Najma tidak bekerja di tempat seperti ini.
"Sendiri. Tapi beberapa kali ada laki-laki yang mencarinya. Tidak ada yang tau dia siapa, Najma hanya bilang kalau laki-laki itu datang untuk menagih hutang."
"Selain di sini, dia memiliki pekerjaan lain?"
Para karyawan itu saling pandang. Yang berada di meja kasir dan sedari tadi menjawab pertanyaan menggeleng. "Najma sering ambil lembur sampai jam dua belas malam. Saya rasa tidak mungkin dia memiliki pekerjaan lain karena hari-harinya selalu dihabiskan di sini."
Khai tidak bertanya lagi, membereskan barang-barangnya dan pergi dari sana. Dia akan mencari Najma kembali dengan mobil. Siapa tau wanita itu masih di sekitaran.
Bersembunyi di dalam bak sampah. Siapa sangka bahwa Najma akhirnya bisa menghindari Khai. Tapi situasinya tak lagi aman. Lelaki itu pasti akan datang kembali ke resto karena dia telah tau bahwa Najma bekerja di sana.
"Gue nggak mungkin pindah kerjaan. Tapi gue juga nggak mau ketemu Khai lagi." Menutup wajah, di tengah bau sampah yang tercium hidung, Najma berujar pasrah.
"Tuhan ... apa yang harus hamba katakan pada Khai ...."
Najma berjongkok, semakin pasrah. Dia tidak berharap lebih, setidaknya jika Khai tau apa pekerjaan sampingnya, mereka masih bisa mengenal satu sama lain. Cinta dalam diam lebih baik, dibandingkan harus dibenci lelaki itu seumur hidup.
Ditengah gundah itu, ponsel Najma berdering. Panggilan masuk dari Nyonya Priska.
"Kenapa, Mom?" tanyanya.
"Loh, kok kenapa. Kamu nggak lupa malam ini harus apa, kan. Sudah siap, Sayang. Sudah selesai dengan pekerjaan kotormu itu, kan?"
"Baru selesai. Aku lagi di jalan pulang. Suruh Pak Satrio jemput jam enam saja."
"Baiklah kalau begitu. See you tonight, Sayang. Jangan sampai mengecewakan Mommy, ya. Persiapkan dirimu baik-baik."
Najma menghela napas. Nyonya Priska memang selalu menganggap pekerjaannya di resto sebagai pekerjaan kotor. Padahal jelas-jelas wanita itu lebih kotor. Menjualnya, menahannya dengan kontrak hutang tidak jelas. Andai dia bisa lari, Najma benar-benar ingin bebas.
***
mau update cepet-cepet, setidaknya sehari sekali, tapi kehidupan nyata author lagi sibuk parah. Maaf ya kalau updatenya lama.
hari ini segini dulu, see you!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments