"Ahhh," lenguhan puas seorang pria berusia empat puluhan dengan perut buncit terdengar nyaring seiring keluarnya cairan putih kental berbau anyir yang mengotori perut perempuan tanpa busana yang merebah lemas di bawahnya.
"Lain kali, aku akan meminta pada Nyonya Priska untuk memanggilmu kembali. Kau, masih sangat nikmat untuk dipakai. Coba saja wanita itu memembiarkanku membawamu, sudah kupastikan hidupmu akan bergelimang harta." Pria itu melempar segepok uang usai pakaiannya terpakai, sebelum akhirnya dia keluar dengan senyum sumringah.
Perempuan yang masih terbaring itu membuang senyum balasannya begitu saja, menatap datar langit-langit kamar hotel.
"Sampai kapan, Tuhan ... sampai kapan." Dia menangis, menutup dirinya dengan selimut.
Najma Arunika Kanigara, lima tahun lalu dia adalah gadis baik-baik dengan otak cerdas. Seluruh teman angkatannya bahkan yakin dia akan diterima di perguruan tinggi pilihannya dan menjadi seorang wanita karir ketika dewasa. Tapi lima tahun lalu hanyalah menjadi angan. Najma yang dulu tidak ada lagi. Kini dia adalah gadis yang dikenal sebagai kupu-kupu malam, miliknya para pejabat.
Sungguh bukan keinginan Najma menjadi wanita panggilan, dia terpaksa dan dipaksa. Padma, sang suami yang mempersuntingnya di malam pada ujian akhir sekolah-lah yang menjadi dalangnya.
Padma memperkenalkan diri sebagai pria kaya raya, memberi pinjaman pada Ibunya untuk berobat sang Ayah yang terkena diabetes parah. Sayang seribu sayang, ibu Najma tak bisa membayar hutang, dia mengorbankan Najma untuk dinikahi Padma.
Memang Padma dikenal sebagai pria baik, pria santun. Najma juga tidak terlalu ambil pusing waktu itu, yang terpenting adalah kesembuhan Ayahnya. Namun rupanya pilihannya salah. Padma tidak sebaik itu, sehari usai dia diboyong ke Surabaya, Padma menunjukkan wajah aslinya.
Dia tak lebih dari seorang germ*o. Meminta balas budi pada Najma yang dulu pekerjaan pun tak punya. Usai di paksa melayaninya, Padma juga memaksa Najma untuk menandatangani surat perjanjian pelunasan hutang dengan bunga yang tidak masuk akal, yang setiap bulan terus bertambah, yang menjadikannya terkurung dalam posisi sekarang, menjadi seorang wanita panggilan.
Najma tak bisa kabur, wilayah yang dia tempati sekarang telah diisi orang-orang Priska, germonya para germo. Selagi hutangnya masih ada, maka dia tidak akan dibiarkan lepas begitu saja.
Najma menyeka air matanya, dia menyibak selimut, membersihkan diri. Dia bisa bertingkah selayaknya perempuan bin*l, tapi itu hanya untuk memuaskan pelanggan. Dia selalu menangis dan memohon ampun pada Tuhan setelahnya.
"Najma, Sayang ... sudah selesai!!" Suara Nyonya Priska sudah menggelegar, Najma memutar tuas keran, menyudahi bebersih dirinya yang juga diikuti air mata.
Pakaian yang dikenakan jauh berbeda dengan pakaian saat dia masuk. Kini baju serba panjang menjadi penutup tubuhnya. Kepalanya yang basah pun tak luput tertutup tudung hoodie.
"Mom, kira-kira berapa kali lagi aku harus seperti ini?" tanya Najma.
"Sorry, Sayang ... Mommy tidak bisa memastikan. Suami kamu, dia baru saja berhutang lagi, dua puluh juta, belum termasuk bunganya."
"Surat kontrak itu bisa diganti? Masa aku terus yang harus melunasi hutang Mas Padma."
"Sayangnya tidak bisa, Najma. Lagi pula kamu masih laris tanjung pinang, banyak yang antri ingin bermalam dengan kamu. Paling-paling satu tahun lagi lunas. Bayaran kamu selalu di atas yang lainnya."
"Sebanyaknya apapun bayaranku akan percuma kalau Mas Padma terus berhutang. Mommy harusnya jangan kasih."
"Sudahlah, kamu juga tidak setiap hari melayani mereka. Mommy masih kasih kamu keringanan, loh." Priska menengok ke arah kedua bodyguardnya yang tengah memunguti uang bonusan Najma yang sebelumnya di lempar ke atas ranjang, "berapa?" tanyanya.
"Lima juta." Uang itu diserahkan.
Priska menyerahkan sepuluh lembar pada Najma. "Pakai untuk merawat diri. Kamu harus tetap bersih dari penyakit. Jangan lupa minum obatnya."
Seperti biasa, bukan hanya uang booking, uang bonus yang nominalnya cukup besarpun juga diambil. Nota pembayaran hutang sudah berkali-kali dicek, berkurang dan tak lama bertambah lagi. Padma, lelaki itu benar-benar menyiksa Najma. Bahkan tanpa perlu waktu lima tahun, harusnya Najma sudah bebas dari lama. Dia selalu ditawar dengan harga fantastis, karena memang dia adalah wanita panggilang khusus, yang hanya melayani satu atau dua pria dalam kurun waktu seminggu. Tapi karena hutang itu, dia jadi tertahan hingga lima tahun lamanya.
Najma hanya bisa berharap, jika pelanggan berikutnya memberi harga tak kalah tingginya, agar minggu depannya dia bisa libur memberikan pelayanannya yang katanya memuaskan itu. Memang harus memusakan, jika tidak dirinya yang akan dihajar habis-habisan oleh Padma, seperti dulu saat pertama kali dia dijual. Dimana seluruh tubuhnya dipenuhi lebam akibat ketidakpuasan pelanggan yang mengadu pada Priska.
Najma menarik tudung *hoodi*enya semakin dalam, keluar dari kamar itu untuk pulang ke rumah kontrakan kecil yang kini dia dan Padma tempati.
Di sanalah kini dia berada, di rumah yang sejatinya tidak layak disebut rumah karena tidak ada kehangatan keluarga yang dulu pernah Najma rasakan.
"Uang bonusan, mana!" Baru juga membuka pintu, Padma yang berambut gondrong itu menghadangnya, menadahkan tangan.
"Dua puluh juta memang belum cukup untuk dibawa senang-senang!" Najma ketus, memilih sisi lain untuk menghindar.
Padma yang tempramental menarik lengan sang istri. "Gua butuh uang, bukan bacotan lo!"
Melirik sekilas, menepis kasar, Najma sayangnya tak semudah itu menghindar. Rambut wanita itu dijambak hingga kepalanya mendongak, sementara tangan Padma yang lain merogoh tas selempangnya, mengambil lima dari sepuluh lembar uang yang ada.
Padma tersenyum sendiri, menciumi selembaran uang itu.
"Aku udah nggak tahan, Mas. Mau sampai kapan kamu nyiksa aku. Harusnya sejak empat tahun lalu hutang ibu sudah lunas, kan. Kamu dan Nyonya Priska pasti sengaja membuatku terlilit hutang ini!!" Najma berteriak, membuat senyum Padma luntur begitu saja.
"Lo kerja tinggal ngangkang masih aja banyak protesnya. Lima tahun belum cukup buat lo terbiasa. Lo pelac*r pilihan, harusnya bersyukur!"
"Mau sampai kapan .... Aku jijik sama pekerjaan aku, aku jijik sama diri aku sendiri!!"
Padma mencengkeram pipi Najma. "Berisik. Jangan protes ke gua. Protes ke ibu lo yang berani ngutang itu. Inget baik-baik, Ma. Jangan sampai lo bikin pelanggan kecewa, atau gua bakal bikin ibu sama bapak kenapa-napa!"
Ancaman yang sama setiap kali Najma bersuara. Ancaman yang membuat wanita itu yakin, kalau sebenarnya dia tak lagi memiliki hutang. Dia murni dijual tanpa imbalan.
Padma pergi, malam ini dia pasti akan berfoya-foya, mabuk-mabukan di club milik Nyonya Priska sampai pagi. Seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya.
"Arghhhhh ...." Najma melempar tas, meremas kepala. Dari awal dia sudah tidak sanggup, untuk orang tuanya lah dia bertahan.
Kalau sudah dalam keadaan kalut seperti ini, Najma benar-benar tidak bisa berdiam di rumah. Dia melangkah keluar, tak peduli jika purnama sudah di atas kepala. Toh, di luar rumah kontrakannya masih banyak orang yang berada di luar. Mereka adalah perempuan panggilan kelas rendah, yang juga berada di bawah kendali Nyonya Priska.
Komplek di mana Najma tinggal memang sudah dikenal sebagai komplek tuna susila. Penjaganya ketat, preman-preman pilihan lah yang menjaga di depan gerbang.
"Masih aja stress, Ma. Tinggal nikmatin apa yang ada. Kamu mana mungkin bisa lepas dari Nyonya Priska, kecuali kalau kamu mati," celetuk seorang preman berkepala botak. Dia sudah hapal betul kebiasaan Najma di malam hari ketika stress melanda.
"Celakanya jadi cantik ya gitu. Coba kamu jelek, Ma. Kaburpun Nyonya Priska nggak akan tau."
"Sudahlah jangan diledek. Hidupnya terlalu miris. Coba kalau Najma nggak sama Padma, dia sudah jadi seperti Mila yang punya rumah gedong. Mobilnya pun tiga dia."
Najma tak menggubris omongan para preman itu. Hidupnya memang miris. Dia juga tidak mau bunuh diri, apalagi dosanya sudah begitu banyak. Juga tidak bisa melukai diri agar menjadi buruk rupa, sebab ada orang tua yang ingin dia bahagiakan.
Berbicara tentang orang tua, Najma sendiri sangat merindukan mereka. Berkabar hanya satu bulan sekali, atau paling cepat dua minggu sekali jika Ibunya meminta uang, pun hanya melalui suara karena Ibu Najma tak bisa memainkan ponsel pintar. Katanya mereka juga pindah rumah, jauh dari tetangga, sinyal pun susah didapat. Ditambah sudah dari tiga tahun terakhir, Ayahnya sulit berbicara. Najma sejatinya telah sedikit lupa dengan suara lelaki itu.
Sebanyak apapun Najma meminta pulang, sekalipun tangisnya berubah menjadi tangis darah, Padma tidak akan memberinya ijin.
"Khai?!" Mata Najma melotot. Di dalam sebuah mobil dia melihat sang mantan kekasih yang sampai detik inipun masih dicintainya.
Najma mengucek mata, menepuk pipi, merutuk dirinya sendiri. "Mana mungkin Khai sampai ke Surabaya. Jangan bodoh, Najma. Dia pasti sudah melupakanmu."
Sudah sering Najma berhalusinasi tentang lelaki itu. Malam ini bukan pertama kalinya. Itu karena rindunya pada Khai yang begitu besar. Sebrengs*ek apapun cowok itu, dia tidak pernah main kasar padanya. Bicaranyapun lembut.
Khai selalu ada di setiap waktu Najma membutuhkan, makannya Najma tetap jatuh cinta padanya sekalipun dia diduakan. Kini Najma tak punya harapan lebih untuk dicintai lagi, dia hanya berharap semoga penderitaan ini segera berakhir. Dia ingin bebas, ingin kembali ke kampung halamannya, dan juga ingin bertemu Khai, setidaknya sekali lagi di sisa hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments