Aku Melihatmu

Hujan turun begitu deras. Baru saja, bau khasnya masih tercium dengan jelas. Mengalahkan bau daging panggang yang baru disajikan seorang pramusaji. Khai menatap ke arah jendela, pada pemandangan di mana air dari langit membasahi seluruh kota. Jalanan melenggang, menyisakan kendaraan roda empat yang masih bisa menembus derasnya hujan.

Waktu terus berputar dan fokus Khai masih pada jalanan itu. Dia tengah berharap besar hujan ini akan membuatnya melihat Najma yang melintas. Siapa tau, gadis itu ada dalam sebuah mobil, atau di atas sebuah motor, membiarkan tubuhnya basah kuyup.

"Kamu dulu paling suka hujan-hujanan, Ma," gumam lelaki itu, akhirnya matanya menatap daging coklat yang terpanggang sempura di depannya.

"Semalam, itu kamu atau bukan?" Lagi-lagi bergumam, daging itupun diabaikan.

Khai menghela napas, sejak semalam dia terus kepikiran pada sosok wanita ber-hoodie hitam yang dia lihat dari kaca spion mobil saat melintas di suatu jalan. Sayangnya saat mobil yang dikendarai berputar balik, wanita itu telah menghilang.

Hidung mancung, mata double eyelid, dua bagian wajah itu persis sekali dengan milik Najma. Membuat rindunya Khai semakin memburu saja.

"Nanti aku cari kamu lagi ya, Ma. Aku makan dulu, harus bertemu klien juga." Khai memang harus mengisi perut, dari semalam, gundahnya membuatnya tidak lapar. Sementara sekarang sudah pukul tiga sore. Matahari saja seperempat bumi lagi akan tenggelam.

Daging di depannya tak menyelerakan, tapi harus dihabiskan. Najma tidak pernah suka jika Khai membuang-buang makanan. Wanita itu selalu bersyukur atas apapun itu. Kelegowoannya pada hidup itulah yang membuat Khai tergila-gila.

Najma bukan seperti Khai yang datang dari keluarga berada. Tapi bagi Khai, Najma adalah tempatnya pulang sebab rumah tempatnya berteduh tak pernah hangat. Begitu juga sebaliknya. Khai-pun selalu ada saat Najma meminta bantuan. Jadi jangan salahkan jika mereka terikat terlalu kencang. Dunia membuat keduanya bergantung satu sama lain.

Dua puluh menit berlalu, Khai selesai, menyilangkan pisau dan garpu di atas piring, juga membersihkan bibirnya dengan sebuah sapu tangan. Dia harus berpindah tempat menuju ruang vip restaurant itu untuk bertemu klien. Dia harus menjadi pemimpin yang baik untuk membuktikan kepada Papanya bahwa dia jauh lebih hebat dari Kakanya.

Entahlah, hanya karena dia sulit diatur untuk beberapa hal, dia langsung dicap sebagai anak tidak berguna. Hanya karena nilai ujian yang selalu pas-pasan, dia dianggap bodoh. Hanya Mamanya lah yang selalu setia mendukung, apapun kondisinya.

Baru juga duduk, klien yang dimaksud datang. Pria paruh baya dengan rambut memutih disapa dengan baik, diberi senyum dan jabat tangan yang hangat. Khai mempersilahkan lelaki itu duduk lebih dulu.

"Masih sangat muda sekali. Hebat." Kata-kata lelaki itu membuat Khai tersipu malu, dia tidak pernah dipuji oleh Papanya seperti ini. Padahal terhitung dia sudah pernah memenangkan dua kali tender, proyek pemerintah pula.

"Terima kasih, Tuan. Kita langsung bahas saja proyek cluster ini, bagaimana?" tanya Khai, sopan. Pria itu mengangguk, memberi senyum.

Langkah pertama berhasil, Khai yakin yang paling selanjutnya akan mudah. Dia segera menjelaskan bagaimana rincian pembangunan. Dari mulai menarik konsumen, rentang waktu proses pendirian hingga perawatan, dia menghabiskan tiga puluh menit untuk berbicara garis besarnya.

Klien Khai bernama Hartanto itu tersenyum. "Pantas Tuan Bimo Sayaka mengirim kamu. Kamu ini pandai dan lugas sekali saat menjelaskan proyek ini. Baiklah, saya akan menyetujui kerja sama ini. Lokasinya pun strategis. Nanti saya akan berbicara pada tim saya untuk mulai menyiapkan iklannya. Bagaimana?"

Khai mengangguk, matanya berbinar menyodorkan sebuah file dan pena. "Ini surat kerja samanya."

Tanda tangan dengan cepat, Hartanto beranjak dari kursinya, menepuk bahu Khai yang segera ikut berdiri. "Besok, mari dinner bersama. Saya ajak ke restaurant terbaik di Surabaya," ucapnya.

"Dengan senang hati, Tuan. Terima kasih atas tawarannya."

Tersenyum, mengangguk lantas hilang dari pandang, kepergian Hartanto membuat jati diri Khai kembali. Lelaki itu segera melonggarkan jasnya dan berseru semangat, satu kali lagi dia berhasil menaklukan proyek besar. Dua tanah yang digabungkan menjadi satu, letaknya strategis, huniannya pun berkelas atas, untung dari kerja sama ini pasti akan membuat Sayaka Group berlipat-lipat kekayaannya.

Tapi dia juga tau, jika nanti buah dari hasil kerjanya tidak akan sepenuhnya menjadi miliknya. Jadi Khai punya trik khusus, untuk menyimpan sendiri keuntungan itu. Karena sampai kapanpun, Bimo tidak akan memandangnya lebih baik dari Danendra.

"Saatnya mencari kamu lagi, Ma."

Dengan luas tiga ratus lima puluh koma lima kilo meter persegi, Surabaya yang dihuni tiga juta seratus lima puluh tujuh ribu seratus dua puluh enam jiwa itu merupakan kota metropolitan terluas ke dua se-Indonesia. Khai yang sendirian lebih banyak pesimisnya. Bisa jadi ibu Najma juga asal dalam menjawab. Nyatanya usai hari itu, dia juga tidak bisa menemukannya lagi.

"Setidaknya mencoba, Khai. Nggak ada yang nggak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak." Khai kembali bersemangat, dia abaikan pesimisnya dan segera beranjak dari ruangan tiga kali tiga meter itu.

Hujan di luar sana masih lebat. Bagus bukan ... Khai bisa melajukan mobilnya pelan sembari melihat kanan kirinya dengan seksama. Di sore seperti ini, jika memang Najma hanya menjadi seorang istri, kemungkinan besar dia akan berada di rumah, tapi jika dia juga ber-title sebagai wanita karir, dia pasti sama sepertinya, berada di jalanan yang terguyur hujan.

Dulu saat melihat Padma untuk pertama kalinya, Khai yakin, dengan penampilan yang rapi, lelaki itu pasti bukan orang biasa. Paling tidak dia adalah seorang pegawai negri sipil, atau pemilik usaha yang tengah merintis. Dia juga membawa Najma pergi dengan mobil, meski bukan mobil mewah seperti miliknya.

Khai melihat sekeliling, dengan sebuah payung, dia akhirnya masuk ke dalam mobil, mulai melaju pergi dengan kecepatan sedang. Sementara itu, dibalik pintu masuk Resto, ada seorang perempuan yang berdiri, menahan mati-matian kakinya untuk tidak melangkah.

Najma ada di restaurant yang sama. Resto daging yang dikunjungi Khai adalah restaurant tempatnya bekerja. Demi uang halal untuk dikirimkan pada orang tuanya, wanita itu tak kenal kata lelah. Untungnya Padma mengijinkan, karena dia pun hanya menginginkan uang, masa bodo dengan apa yang Najma lakukan.

Dari jam sepuluh pagi sampai empat sore Najma bekerja menjadi pramusaji, atau terkadang membantu bagian dapur, atau malah menjadi asisten koki gadungan ketika tamu tiba-tiba membludak, dia juga terkadang mengambil bagian menjadi pencuci piring demi uang lemburan. Seperti hari ini, dia akan bekerja sampai malam sebab Nyonya Priska tidak menghubunginya untuk menemani pelanggan.

Najma yang sejatinya tengah rehat empat puluh lima menit tidak mengira jika akan melihat Khai di sana. Jadi semalam saat melihat lelaki itu melintas dia memang tidak salah.

Wanita itu kembali ke mess, duduk melamun. "Kamu terlihat sangat berwibawa dengan pakaian itu, Khai. Rasanya malu sekali untuk sekedar menyapa. Padahal ... tidak apa kan?"

Dengan pamit seadanya, dengan putus sepihak dan juga kabar perubahan statusnya yang mendadak, apakah Najma dimaafkan oleh Khai? Pertanyaan itulah yang membuat wanita itu segera menahan tangannya untuk membuka pintu, padahal dia sempat berlari demi bisa mengejar Khai.

"Aku kotor banget, Khai, pasti kamu jijik." Meremas jari yang terjatuhi tetesan bening air mata, Najma memang harus sadar diri dengan kondisinya sekarang. Dulu mungkin perbedaan mereka sebatas strata sosial yang mana Najma masih bisa usahakan dengan bekerja keras untuk bisa setara, tapi sekarang, dia hanyalah pelayan resto yang ketika malam datang menjajakan dirinya sendiri kepada pria hidung belang. Sungguh pilu, pertemuan ini malam membuat lukanya semakin dalam.

"Khai, jika kemarin aku meminta untuk dipertemukan dengan kamu lagi, hari ini aku berharap bahwa pertemuan ini akan menjadi pertemuan terakhir kita."

"Hidup dengan bahagia ya, Khai. Aku masih dan akan terus mencintai kamu."

Semakin deras air mata yang keluar, semakin deras pula hujan di luar sana. Rasanya lebih menyakitkan saat ini dibanding saat dia terpaksa pergi dulu. Tidak ada yang bisa dirubah, Najma merasa dirinya terlalu buruk untuk berharap bisa kembali dengan Khai. Sangat buruk, sampai dia saja tidak bisa menerima dirinya sendiri, apalagi dengan lelaki itu.

***

segini dulu, buat mereka saling merindukan

tapi ... Khai bakal menerima kondisi Najma gak ya?

Terpopuler

Comments

pur wati

pur wati

begitu syulit...begitu sakit.menahan rindu pada kekasih hati.💔💔💔

2024-01-08

0

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

entahlah thor, syulit /Whimper/ tapiiii.. semua kuasa ada di jempol othor /Good/

2023-11-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!