"Aku ingin menikahinya malam ini juga!"
Tak hanya Wulan dan keluarganya yang terkejut mendengar pernyataan itu, orang-orang yang ikut bersama Sandi pun ikut melebarkan mata mereka. Wulan mengedip-ngedipkan mata dengan bibir yang membentuk celah. Fokus pada lelaki yang duduk di atas kursi roda memandangi dirinya tanpa ekspresi.
"Kamu yakin, Nak?" tanya sang mamah sembari menyentuh pundak Sandi. Gadis yang akan dinikahi anaknya jauh dari ekspektasi, yang ia tahu adalah Salsa bukan Wulan.
Sandi menganggukkan kepala tanpa mengalihkan pandangan dari sosok Wulan yang masih membeku oleh ucapannya. Mata itu tidak berkedip, memindai setiap inci garis wajah gadis yang akan dijadikannya istri.
Aku tidak tahu kenapa ingin segera membawanya ke dalam kehidupanku. Dia terlihat berbeda dari gadis lainnya, dan aku tidak ingin menyesal karena menolaknya.
Sandi bergumam di dalam hati, menilai sosok Wulan yang tak banyak bicara. Gadis yang terlihat sederhana, tanpa riasan make-up di wajahnya. Tak seperti Salsa yang berdandan layaknya seorang model. Terus menerus ditatap tanpa kedipan, membuat Wulan merasa malu. Ia menundukkan kepala, *******-***** ujung baju yang dikenakannya. Tak menduga, malam itu juga harus melepaskan masa lajang.
"Ah, apa tidak terlalu dadakan jika menikah malam ini juga?" tanya papah Wulan resah karena harus melepas anak gadisnya yang baru ia temukan kembali.
Sandi melempar pandangan padanya, menatap dingin laki-laki yang menjadi wali nikah sang calon istri. Ia menggelengkan kepala, tak ingin menunda-nunda lagi.
"Tidak, aku yakin ingin menikahinya malam ini juga. Sesuai kesepakatan, Bapak tak usah risau tentang pendidikannya. Dia akan tetap bersekolah meski telah berganti status menjadi istriku," ucap Sandi dengan tegas.
Papah Wulan gelagapan, menunduk gelisah tak tahu harus membalas dengan kata apa. Di dalam hati tumbuh perasaan tak rela harus melepas Wulan. Ia berpaling menatap sang putri yang masih belum mengangkat wajah, mengusap lengannya yang teras lembab. Sementara Salsa dan ibunya tersenyum puas dan licik.
"Kami setuju jika mereka menikah malam ini juga. Hal baik memang jangan ditunda terlalu lama, tapi masalah penghulu kami tidak bisa mempersiapkannya secara mendadak seperti ini," sahut Susi tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan orang yang bersangkutan.
Sandi kembali memutar kepala, menatap ibu tiri Wulan masih tanpa ekspresi.
"Anda tenang saja, aku yang akan mengaturnya," ucap Sandi seraya menoleh pada sang mamah. Hanya lewat tatapan matanya, wanita itu tahu harus melakukan apa.
Ia mengangguk dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas, menghubungi seseorang yang dimintanya hadir di rumah Wulan.
"Nak, bagaimana menurut kamu?" tanya sang papah lirih.
"Sudahlah, Pah. Dia pasti setuju, lagian usianya juga sudah cukup. Dia sudah pantas menyandang status sebagai istri," sambar Salsa dengan ketus.
Sandi menatap gadis molek itu, menilai karakter dari garis wajah. Papah Wulan menghela napas, masih menunggu jawaban dari anaknya. Perlahan, Wulan mengangkat wajah dan tersenyum pada laki-laki yang kini menatapnya dengan cemas itu.
"Papah tidak perlu bertanya lagi padaku karena Papah sudah tahu pasti jawabannya." Hanya itu kalimat yang terdengar dari bibir Wulan sebelum ia kembali bungkam.
Mendengar suara Wulan yang syahdu, Sandi kembali berpaling padanya. Beberapa detik pandang mereka beradu, pemuda itu menangkap keputusasaan di sorot mata Wulan. Juga segala penderitaan yang coba disembunyikan gadis itu. Namun, semuanya tak bisa luput dari mata tajam Sandi.
"Baiklah, saya akan merelakan putri saya malam ini juga untuk menikah denganmu. Saya harap kamu dapat menjaganya, memberinya kebahagiaan, juga membiarkannya mengejar cita-cita," ucap papah Wulan meski dengan berat hati.
Wulan memutuskan pandangan, menatap sang calon ibu mertua juga kakak iparnya yang terdiam menerima keputusan Sandi. Tak ada yang membantah dari mereka, ketiganya menyerahkan keputusan pada pemuda itu.
"Silahkan dicicipi, sambil menunggu kedatangan penghulu dinikmati hidangan sederhana ini. Saya yang membuatnya sendiri," ucap Susi tak tahu malu.
Wulan melirik, tapi tidak peduli. Hal itu sudah terbiasa terjadi dalam kehidupannya. Dia yang lelah bekerja, dan yang mendapat pujian adalah mereka berdua.
"Oh, benarkah! Saya kira kalian memesannya. Kue-kue ini terlihat enak," sahut mamah Sandi seraya mengambil sebuah kue dan mengunyahnya.
Ia terlihat puas dan menikmati makanannya, disusul Risna dan suaminya yang juga ikut menyantap makanan pembuka yang dibuat tangan Wulan sendiri. Melihat ekspresi puas di wajah mereka, sudah membuat hati Wulan merasa senang meski tak dapat pujian.
Tanpa sadar ia tersenyum, menampakkan lesung pipit kecil di kedua belah sisi pipinya. Hal tersebut membuat Sandi terpana. Wulan tampak lebih cantik di matanya dari pada Salsa. Ia meneguk ludah, mengutuk penghulu yang begitu lama datang.
Kenapa lama sekali? Aku tak sabar ingin berbincang berdua dengannya saja. Penghulu sialan, apa dia jalan kaki perginya?
Sandi menggerutu tak senang, tanpa sadar tangannya terkepal. Pandangan mata tak lepas dari sosok Wulan yang masih tersenyum menatap mamah dan kakaknya yang menikmati makanan.
"Lain kali saya harus belajar membuatnya kepada Anda," celetuk mamah Sandi sambil terkekeh.
Susi terbatuk-batuk kecil, tersendat makanannya sendiri. Bagaimana dia bisa mengajari jika membuatnya saja tak becus. Ia melirik Wulan yang menunduk sambil menahan tawa. Garis bibir Sandi pun membentuk lengkungan, ia tahu tangan siapa yang telah membuat kudapan itu.
"Oh, i-iya, boleh. Nanti kita membuatnya sama-sama," sahut Susi gugup.
Wajahnya memerah, ia mengunyah kue kembali untuk menormalkan suasana hati yang seperti tersengat aliran listrik ribuan volt. Mereka berbincang ringan, tentang pendidikan Wulan dan kesehariannya. Namun, Susi justru lebih banyak menyanjung Salsa dan tidak membiarkan Wulan mendapat pujian.
Sandi tidak peduli, terus ditatapnya wajah sang calon istri yang sesekali akan mendongak dan menunduk tanpa bicara. Wulan hanya akan mengangguk jika ditanya, dan menjawab sekadarnya saja. Membuat hati Sandi penasaran setengah mati.
"Jangan terus menerus menatapnya, apa kamu tidak melihat wajahnya sudah memerah seperti itu?" Ditegur demikian oleh sang mamah, membuat Sandi merasa malu.
Pemuda itu berdekhem untuk menghilangkan gugup, sembari berpaling dari menatap Wulan. Sadar betul gadis itu sudah sangat salah tingkah dan resah karena ditatap tanpa berkedip.
Wulan semakin dalam menunduk, Papah di sampingnya tersenyum. Namun, tidak dengan Salsa dan Susi, keduanya mencibirkan bibir tak senang.
"Setelah kalian menikah nanti, kamu akan tinggal bersama kami," ujar Risna, kakak Sandi.
Ia meraih tangan Wulan yang terlihat gemetar dan menggenggamnya. Gadis itu mengangkat wajah, ada binar di matanya yang terpancar jelas. Anggukan kecil menyusul, harapannya terkabul. Akan tetapi, tidak dengan Susi dan Salsa.
"Mmm ... tidak bisakah Wulan tinggal di sini saja selama dia masih bersekolah? Saya rasa itu akan sangat mencolok karena pernikahan mereka masih rahasia," ucap Susi.
Mendengar itu, Wulan menghembuskan napas kasar. Senyum di bibirnya raib, berganti kekesalan. Kepalanya kembali menunduk, meremas ujung baju menahan emosi.
"Aku akan membawa Wulan tinggal bersamaku setelah kami menikah karena Wulan menjadi tanggung jawabku secara lahir dan batin. Aku juga akan memastikan Wulan dapat mengejar cita-citanya. Kalian tenang saja, aku bukan laki-laki yang tidak bertanggungjawab," ucap Sandi tegas dan penuh penekanan.
Wulan mendongak, meneguk ludah sendiri ketika Sandi melempar senyum ke arahnya. Sungguh, hal itu membuat Susi semakin geram. Ingin melanjutkan pembahasan, tapi deru sepeda motor yang berhenti di halaman menghentikannya. Penghulu sudah datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
apa sih penyebab ibu tiri si Wulan ko benci banget sama dia yah,,,
2024-02-26
0
Hafifah Hafifah
enak aja namanya udah nikah ya harus ikut suamilah.mau terus disitu dan dijadikan pembantu enak aja
2023-10-24
4
Hafifah Hafifah
pasti tapi bukan ama besan tapi ama mantumu bu
2023-10-24
2