Pasrah

Wulan duduk bermenung di dekat jendela kamarnya, tak ada air mata yang meleleh dari pelupuk. Rasanya kering sudah, menangis pun tak berair mata lagi. Helaan napas halus terhembus meninggalkan jejak embun di kaca itu. Sungguh malang nasibnya sejak ditinggal ibunda tercinta.

Wulan hanya memiliki ingatan samar tentang wajah wanita yang telah berjasa melahirkannya itu. Usia dua tahun, ia ditinggal pergi selamanya dan diasuh oleh ibu sambung yang dinikahi sang papah beberapa bulan setelah kepergian sang ibu. Hanya melalui sebuah gambar, Wulan dapat mengenal ibu kandungnya.

"Mamah ...." Panggilan lirih itu lolos dari bibirnya yang pucat dan bergetar. Ingin rasanya meraung meluapkan setiap sesak yang mengurung dada. Namun, ia tahu semua itu percuma.

Wulan tidak memiliki kenangan indah sejak kecil, hanya kepahitan yang terbayang di pelupuk matanya. Perlakuan tidak adil dari sepasang orang tua yang merawat, kerap ia dapatkan. Mereka lebih condong kepada Salsa karena alasan dia anak pertama dan harus mengalah.

Bugh!

Wulan meringis sembari menggigit bibir tatkala bayang di masa kecil kembali melintas. Matanya terpejam merasakan sakit luar biasa yang menghantam betis akibat pukulan sebuah rotan sang ibu tiri. Dia tidak menangis sesenggukan, tapi air mata yang jatuh sudah menjadi bukti betapa sakit jiwa dan raganya.

Di usia ke tujuh tahun, Wulan sudah tidak mampu meminta ampun. Ia hanya diam ketika sabetan demi sabetan rotan menghantam tubuh kecilnya. Tidak ada kesalahan yang ia lakukan, semua itu berasal dari aduan Salsa yang kerap merasa iri terhadap dirinya.

"Jangan menangis! Dunia ini keras, kamu jangan cengeng. Papah nggak suka!" Suara keras sang papah kembali menampar telinga. Semakin rapat mata Wulan terpejam. Rasa sesak semakin merebak, mempersempit jalan udara untuk mengisi rongga.

Sekarang, setelah dewasa pun ia harus tetap berkorban tanpa dapat protes dengan keputusan yang diambil kedua orang tua itu. Wulan menyeka air yang jatuh, secercah harapan datang menelusup ke dalam relung jiwa. Semoga ia dapat pergi meninggalkan rumah itu setelah pernikahannya.

"Wulan! Kamu di mana?" teriak Salsa memanggil sang kakak.

Usia mereka terpaut tiga tahun, tapi Salsa tidak pernah menyebutnya sebagai kakak. Bahkan, Salsa kerap memperlakukan Wulan seperti pembantu saat di sekolah dan di mana pun mereka berada.

Wulan bergeming, pun ketika pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Gadis bertubuh kurus itu tetap duduk berpangku lutut, memandang hampa kekosongan di luar jendela.

"Bagus! Kamu enak-enakan ngelamun di sini rupanya. Tuh, meja makan masih kosong. Sebaiknya kamu cepat masak sebelum Mamah yang minta!" bentak Salsa sembari melangkah mendekati Wulan.

Namun, tak ada respon dari gadis itu, teriakan Salsa tetap disambut hening oleh Wulan.

"Heh, kamu mendengarkan aku tidak? Cepat masak!" Salsa menarik rambut Wulan tanpa belas kasihan hingga tubuh kurus itu terjerembab di lantai.

Tak ringisan kesakitan yang menguar dari bibir Wulan, ia tetap bungkam mengunci rapat-rapat mulutnya. Sorot mata itu berpindah menatap Salsa. Dingin dan menusuk, Salsa bergidik. Dalam pandangannya kini, sosok Wulan ibarat mayat hidup yang kapan saja siap mencabik-cabik tubuhnya.

"Cepat sana!" Kata terakhir yang diucapkan Salsa terdengar sedikit bergetar sebelum dia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan ruang kamar Wulan yang sempit.

Gadis itu bangkit dari lantai, menghela napas sebelum beranjak menuju dapur. Melakukan tugas yang seharusnya dikerjakan pembantu rumah tangga sebelum dipecat sang ibu tiri.

"Nanti malam calon suami kamu akan datang ke rumah. Mereka akan melamar kamu," ucap Salsa setelah menenggak air yang diambilnya dari lemari es.

Wulan menghentikan gerakan tangannya yang sedang merajang bumbu. Hanya sesaat, kemudian kembali tidak peduli.

"Tadinya papah minta aku yang nikah, tapi kamu tahu, 'kan, aku ini masih terlalu muda untuk menikah. Cita-citaku juga masih banyak, dan aku ingin menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. Jadi, kamu yang harus menikah sama laki-laki itu supaya keluarga kita tidak mengalami kesulitan lagi," cerocos Salsa disambut helaan napas oleh Wulan.

Dia pun sama, memiliki pernikahan impian dengan laki-laki pilihan hatinya sendiri. Bukan pernikahan dadakan seperti ini dan terkesan paksaan. Wulan tidak menanggapi, terus saja berkutat dengan aneka bahan masakan yang harus diraciknya menjadi jamuan makan siang untuk semua orang di rumah itu.

"Kamu harusnya bersyukur, mamah aku sudah menghabiskan waktu merawat kamu dari kecil. Jika tidak ada mamah aku, mungkin nasib kamu tidak akan sampai di usia ini." Suara Salsa kembali terdengar, tapi tetap ditanggapi kebisuan oleh Wulan.

Gadis itu merasa geram, tangannya menggenggam erat botol dingin yang belum sempat disimpannya.

"Kamu mendengarnya tidak!?" Tangan Salsa menyibak tubuh Wulan, tapi gadis itu tetap tidak berbalik dan diam.

Kurang ajar!

"Kamu bisa tinggalkan aku sendiri? Makanan ini tidak akan pernah sampai di perutmu jika kamu terus menggangguku," ucap Wulan dingin.

Salsa semakin geram, rahangnya mengeras mendengar kalimat pengusiran dari Wulan. Ia berbalik dan pergi membawa kekesalan hatinya. Wulan menghela napas, melanjutkan memasak menu makan siang.

Brak!

Suara keras yang menghantam meja makan menyentak tubuh Wulan. Ia memejamkan mata, tapi enggan berbalik dan tetap melanjutkan kegiatan memasaknya.

"Wulan, kamu olah semua bahan masakan ini menjadi makanan lezat. Nanti malam mereka akan datang ke rumah untuk menentukan pernikahanmu. Ingat, jangan mempermalukan papah kamu!" Suara memerintah perempuan separuh baya yang tidak menginginkan bantahan.

Setelah itu, dia pergi meninggalkan dapur bergabung dengan anaknya yang manja. Papah? Entah, ke mana perginya laki-laki itu. Sekalipun ada, sama saja bagi Wulan. Kembali Wulan membuang udara, menghilangkan sesak dalam dada.

Ia berbalik melihat betapa banyaknya bahan masakan yang harus disulap menjadi makanan lezat.

Padahal aku lelah, ingin beristirahat. Kenapa tidak memesan catering saja?

Wulan mengeluh dalam hati, tapi tak mampu mengungkapkannya secara lisan. Ia membawa bahan-bahan itu ke meja lain dan mengisi meja makan dengan masakan yang baru saja selesai dibuatnya. Wulan pergi ke halaman belakang sambil membawa sepiring nasi untuk mengisi perutnya. Begitulah yang dia lakukan.

Hatinya perih manakala telinga mendengar gelak tawa dan cengkerama semua orang di meja makan. Ia pun ingin merasakan itu, bercerita tentang kegiatan harian sambil menikmati makan bersama keluarga. Wulan tidak pernah mendapatkan hal itu.

Lagi-lagi, air mata yang jatuh disapunya tanpa suara. Terus mengunyah meski tak ada rasa. Lidah tak mampu lagi merasakan lezatnya makanan. Hanya demi kelangsungan hidup untuk mengejar cita-cita, ia memaksa rongga mulutnya menelan makanan itu.

Mamah, seandainya kamu masih ada saat ini, mungkin nasibku tidak akan seperti sekarang. Seperti apa dirimu? Aku tidak pernah tahu, papah tidak pernah menceritakan tentangmu, Mamah.

Hati Wulan merintih perih, membayangkan jalan kehidupan yang lain jika sang ibunda berada di dekatnya.

"WULAN!"

Terpopuler

Comments

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

nih bapaknya kandung kan,,,

2024-02-26

0

Regita Regita

Regita Regita

kejam bangett si thor😭

2023-11-15

0

Hafifah Hafifah

Hafifah Hafifah

kuharap setelah menikah kamu bisa bahagia

2023-10-23

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!