Wulan merebahkan diri usai menuntaskan tugasnya membuat aneka masakan untuk menyambut kedatangan tamu istimewa yang mereka tunggu. Bukan yang ditunggu Wulan. Ia menatap hampa langit-langit ruangan, mengerjap berat, membayangkan akan seperti apa kehidupannya setelah menikah nanti.
"Seperti apa laki-laki yang akan menikahiku? Apakah dia tampan, kaya, atau ... ah, bagaimanapun dia kuharap dia bisa menyelamatkan aku dari neraka ini," gumam Wulan menyematkan asa di langit.
Ia menghela napas, mengerjap tanpa mengubah posisi tubuh. Perlahan, kelopak yang terasa berat menutup hampir terlelap karena rasa letih yang mendera seluruh bagian tubuh. Sampai suara derit pintu terdengar mengusik gendang telinga.
Wulan membuka matanya kembali, berpaling ingin melihat. Tak biasanya pintu itu bergerak lambat dan lembut, tidak membanting dengan kasar. Lalu, sosok paruh baya muncul sudah mengenakan batik berwarna biru langit yang tersamarkan lampu kuning di kamar Wulan.
"Papah!" lirih Wulan yang hanya dapat didengar gendang telinganya sendiri.
Laki-laki itu berdiri mematung, menatap sang putri yang perlahan bangkit dari tidur. Ia duduk tenang di kasur lapuknya, menanti kedatangan sang cinta pertama. Seharusnya, tapi itu tidak pernah terjadi dalam kehidupan Wulan.
Mata tua itu memindai seisi ruangan, tak ada ranjang seperti di kamar Salsa. Tak ada lemari bagus, sofa, apa lagi hiasan-hiasan anak gadis yang menempel di dinding seperti layaknya kamar Salsa. Ruangan itu hanya diisi sebuah kasur usang dan lemari kecil saja untuk menyimpan barang-barang Wulan.
Ia menahan napas, rasa bersalah kembali datang menyerang. Selama ini dia begitu tidak peduli pada putrinya, tidak tahu seperti apa cerita hidupnya, tak tahu bagaimana ia menjalani semua kesehariannya.
"Papah, ada apa?" Suara tanya Wulan membuyarkan lamunannya.
Ia menyeka kedua sudut mata yang tiba-tiba mengembun, menghirup udara, sebelum membawa langkah mendekati putrinya. Ia duduk tepat di samping Wulan, menelisik wajah lelah yang selama ini luput dari perhatian. Disapunya rambut hingga pipi gadis itu, terbersit rasa sesal mendalam kala bayang wajah sang ibunda melintas.
Sungguh, dia telah gagal menjalankan amanah dari mendiang sang istri karena terlalu menuruti keinginan istri barunya itu. Untuk seumur hidup, menyentuh kulit Wulan saja baru kali ini ia lakukan. Direngkuhnya tubuh itu, dibenamkan dalam dada. Terisak lirih tak mampu membendung emosi.
"Maafkan Papah, sayang. Papah sudah gagal menjagamu," bisiknya di sela-sela isak tangis yang menguar.
Wulan terkejut sekaligus bingung dengan situasi yang ia alami. Bisa dibilang itu adalah pelukan pertama sang papah setelah ibunya meninggal. Wulan tak tahu harus apa, ia membeku sama sekali tak bergerak. Bahkan, kedua tangannya tetap diam di tempat tak tergerak untuk membalas. Hanya tetesan bening yang jatuh satu demi satu menjadi bukti betapa resah hatinya.
Laki-laki itu melepas pelukan, meraup wajah Wulan dengan kedua tangan. Kemudian, menggenggam jemari sang anak dengan erat dan lembut.
"Apa kamu baik-baik saja, Nak? Katakan pada Papah jika kamu merasa keberatan dengan semua ini," ucapnya dengan perasaan perih tak menentu.
Wulan bergeming, mematri pandangan pada kedua manik sang papah yang berembun. Lalu, senyum samar terulas untuk kemudian ia menarik satu tangannya dan menyeka air mata.
"Papah tidak perlu mengkhawatirkan aku. Ini sudah menjadi tugasku meringankan beban keluarga. Jika bukan aku, siapa lagi yang akan melakukannya? Aku baik-baik saja," ucap Wulan meski hati perih tercabik-cabik.
Mendengar itu, semakin dalam rasa sesal yang mendera. Sudah berapa banyak beban yang dia limpahkan pada putri sulungnya itu? Tidak terhitung rasanya, tapi pengorbanan Wulan tetap saja tak terlihat di mata mereka.
"Maafkan Papah ... maaf," lirih lelaki itu sambil menempelkan dahi di punggung tangan Wulan.
"Papah tidak perlu meminta maaf. Seperti yang selalu dikatakan Mamah Susi dan Salsa, sebagai anak aku harus membalas budi jasa kalian yang sudah merawatku sejak kecil," ujar Wulan menahan tangis yang merangsek hendak turun.
Sungguh, ia sendiri sulit menjabarkan perasaan hatinya kini. Ada pedih bila mengingat semua perlakuan mereka, tapi juga sedikit bahagia karena sebuah kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Lelaki itu menggelengkan kepala mendengar ucapan Wulan, tapi tak ada kata yang keluar. Ia sadar betul, jika istri dan anak keduanya terlalu mendominasi rumah dan mengatur kehidupan Wulan.
"Kamu yakin menerima pernikahan ini?" Pertanyaan itu lolos begitu saja disambut anggukan kepala Wulan tanpa kata.
"Bagaimana dengan cita-cita kamu?" lanjutnya bertanya dengan cemas.
Wulan tersenyum getir, setelah sekian lama baru kali ini ia mendengar lelaki itu bertanya tentang cita-cita dan keinginannya.
"Aku sudah tidak memiliki cita-cita sejak kehidupanku disetir mamah dan Salsa. Papah tidak usah risau, aku baik-baik saja dan aku akan mencoba menerima semua ini," ucapnya tegas meski terdengar sedikit bergetar.
"Apa kamu tidak ingin bertanya seperti apa laki-laki yang akan menikahi kamu?" tanya sang papah lagi.
Sebenarnya Wulan pun bertanya-tanya, tapi ia tak berani mengutarakannya lewat lisan karena itu sama saja mengundang siksa yang akan diterimanya. Ia tersenyum, menggelengkan kepala samar.
"Tidak perlu. Seperti apapun dia, yang terpenting dia mau membawaku keluar dari rumah ini. Itu sudah cukup bagiku," ujar Wulan dengan segenap ketegaran hatinya. Ia tersenyum, membuat hati tua sang papah tercabik perih.
"Apa kamu benar-benar ingin pergi dari rumah ini?" tanyanya dengan pedih.
Lagi-lagi senyum Wulan terbit, menandakan dia telah siap untuk segala resiko dari keputusan yang diambilnya. Tidak! Bukan! Itu bukan keputusannya, tapi keputusan orang tua yang dipaksakan dan harus diterima olehnya. Miris, bukan? Kebebasannya direnggut, hidup bagai robot yang mengikuti kendali remote control. Ia bisa apa?
"Menurut Papah apa aku sekuat itu untuk tinggal di rumah yang tidak memberiku kebebasan sama sekali? Minimal jalan hidupku saja, tak peduli dengan yang lain." Wulan menatap lekat netra tua di hadapannya.
Mata itu melebar meski sedikit, mulut terbuka tak percaya dengan apa yang ia dengar. Semua perlakuannya selama ini, menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Ia tak dapat memungkiri apapun yang dikatakan Wulan. Derita di sorot matanya, jelas menjabarkan semua.
Lelaki itu menahan napas untuk beberapa saat sebelum menunduk penuh sesal. Sesak yang dirasakan Wulan bertahun-tahun lamanya, kini mengalir ke dalam rongga dada. Oh, seperti ini rasanya tidak dipedulikan?
"Baiklah. Jika memang itu sudah menjadi keputusanmu, Papah tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya seraya mengangkat wajah dengan perasaan malu yang mendominasi.
Wulan menggeleng pelan. Lalu, berkata, "Bukan keputusanku, tapi keputusan kalian. Aku hanya menerimanya saja karena tak mungkin bisa menolak."
Lagi-lagi kata-kata yang lolos dari lisan gadis pendiam itu, menghujam jantungnya. Membuatnya perih tak mampu berucap lagi. Air mata menggenang, tapi Wulan tak peduli lagi.
"Bersiaplah sebelum Susi dan Salsa yang datang memintamu," katanya seraya beranjak bangkit membawa serta hatinya yang perih.
Wulan membisu, menatap punggung ringkih lelaki yang perlahan menghilang dibalik pintu yang tertutup. Ia menghela napas, apa yang harus dikenakan Wulan malam ini untuk menyambut kedatangan calon suaminya? Dia tidak memiliki sehelai pun pakaian bagus, hanya baju-baju usang yang tersimpan di lemari. Itu pun semua bekas pakai Salsa dan ibu tirinya. Sungguh tega!
"WULAN! Apa kamu sudah bersiap?!"
Brak!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
aneh sih sama ayahnya Wulan, apa latar belakangnya dia bisa ga punya kuasa atas istrinya yang sekarang sih,,
2024-02-26
0
Hafifah Hafifah
gimana mau bersiap lw baju bagus aja g punya.kenapa siwulan betah ya dirumah itu g kabur aja yg jauh
2023-10-23
3
Pira Nofrianti
lanjut kk,,semoga suami Wulan tampan,kaya dan baik ya KK😁
2023-10-23
1