Bab 3. Kondisi Wiksa
Mendengar permintaan yang berulang dari Airin, Suster hanya tersenyum ramah, tangannya sedikit terulur ke atas membetulkan selang infus. “Nyonya, sebaiknya Anda istirahat, jika Dokter mengizinkan saya akan membantu Anda.”
“Suster ... tolong, pertemukan saya dengan Mas Wiksa."
Sang Suster hanya bisa menghela napas, sesekali terlihat tersenyum dan menggeleng. Duduk dengan tenang di samping Airin, mencatat hasil pemeriksaan yang baru dilakukan. "Sus, saya mohon," ibanya lagi.
“Maaf, Nyonya. Semua harus lewat prosedur sebaiknya Nyonya bisa sedikit bersabar, jika kesehatan Nyonya sudah di pastikan baik-baik saja, besok pagi Nyonya bisa melihat suami Anda,” jelas Suster akhirnya.
Airin tak bisa berkata apa-apa, saat ini yang terdengar hanya napasnya berembus dengan kasar, hatinya benar-benar kecewa mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan harapannya. “Terima kasih Sus,” pasrah Airin sembari memejamkan matanya menahan bulir air mata yang siap merembes keluar.
Namun, tidak lama berselang, terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan, suara kursi di geser serta sapaan Suster hormat, melambungkan harapan Airin untuk sesaat agar keinginannya bertemu Wiksa di kabulkan. Airin terdiam saat melihat Sang Dokter yang berdiri tidak jauh darinya, menerima catatan Suster, membaca dan membolak-baliknya untuk beberapa saat, sesekali netranya terlihat menilik ke arahnya.
Memasang Stetoskop dengan hati-hati, kemudian memeriksa ulang kondisi Airin.
Bibirnya terlihat tersenyum sembari melepas Stetoskop. "Kondisi Nyonya baik, jangan banyak bergerak dulu, agar kaki Nyonya bisa sembuh dengan cepat."
Setelah Dokter memeriksa dan memastikan semua baik-baik saja, Airin kembali terusik dengan kondisi suaminya. Namun, belum juga Airin bertanya, sang Dokter menatap Airin dengan wajah tenang. “Nyonya, kondisi suami Anda baik dan setelah melewati masa kritisnya kita tunggu hingga esok hari, jika memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya,” jelas Dokter pelan.
“Maksud Dokter?”
Sang Dokter terdiam menatap wajah sendu yang berbaring di depannya. Sang Dokter tersenyum untuk mengurai kecemasan yang tercetak jelas di wajah Airin. “Jika catatan kesehatan Anda sudah membaik, saya akan menjelaskan tentang kondisi suami Anda. Sekarang Anda bisa bekerja sama dengan kami?”
Airin hanya mengangguk, mengikis air matanya yang tiba-tiba luruh begitu saja di pipinya. “Baik Dokter,” sanggup Airin pelan. Menyadari jika kondisi tubuhnya juga memerlukan perawatan secara intensif.
“Terima kasih atas kerja sama Nyonya, kami akan bekerja keras untuk merawat suami Anda,” tukas Dokter sabar.
Airin tak mampu menjawab, saat ini hanya air matanya yang luruh begitu saja, mengikisnya dan mengatur napas sesaat, kemudian membuangnya beberapa kali. “Saya siap Dok!” seru Airin yakin.
“Anda, benar-benar hebat Nyonya,” tukas sang Dokter kemudian berdiri dan meraih jurnal yang di serahkan oleh Suster.
“Pindahkan Nyonya Airin,” titah sang Dokter sembari memberikan jurnal yang sudah di tanda tangani.
Di atas kursi roda, Airin hanya bisa menahan semua tangisnya, kecemasan terlihat jelas dari sorot matanya, bagaimanapun juga ada ketakutan dalam hati Airin untuk saat ini. "Sus, apa? Bisa saya satu ruangan dengan suami saya? Saya hanya ingin melihat dan memastikan kondisi suami saya,” pintanya hati-hati.
“Nyonya, sebaiknya biarkan suami Anda di tangani dengan intensif, ruangan Anda ada di samping kamar ini, jadi Anda bisa melihat suami Anda kapan saja, berbeda jika Anda sudah sehat,” jawab Perawat sembari tersenyum dan mendorong kursi roda menuju ruangan sebelah.
Satu minggu kemudian, Airin di nyatakan sembuh dari cedera pasca kecelakaan, tetapi berbeda dengan Wiksa, suaminya masih bertahan dengan tidurnya, Airin hanya bisa menghela napas dan kemudian membuangnya kasar. Senyum khas seorang Suster membuyarkan lamunannya. “Anda, siap bertemu dengan suami Anda?”
Airin hanya mengangguk, mengiyakan. Turun dari bed Airin sedikit berbenah merapikan baju serta rambutnya asal, manik matanya menatap ke arah Suster seakan ingin menanyakan penampilannya saat ini. “Nyonya sudah cantik,” jawab Suster seakan tanggap dengan tatapan Airin.
Jantung Airin berdebar kencang saat Suster berhenti di depan ruangan di mana suami di rawat. Perlahan pintu terbuka, ruangan besar yang hanya di tempati oleh suaminya sendiri. Netranya langsung tertuju pada sosok yang terbaring dengan luka di kepalanya dan beberapa memar di wajahnya, beberapa selang tertancap di tangannya, bunyi EKG (Elektrokardiografi) berbunyi memenuhi ruangan yang sepi.
Airin hanya mampu menutup mulutnya rapat-rapat, ada keraguan dalam benaknya untuk sesaat. Langkah sang Suster semakin mendekat di mana suaminya tengah berbaring di atas bed, tubuhnya sedikit bergetar saat melihat kondisi suaminya, laki-laki yang begitu dia cintai.
“Mas ....” Lirih Airin sembari meraih tangan suaminya. Mengusapnya sesaat, “segera sadar Mas,” Airin kembali mengusap tangan suaminya, menciumnya untuk beberapa saat tanpa di sadari air matanya sudah menitik di atas tangan suaminya. "Mas ... sadar Mas."
Tangannya terus memegang tangan suaminya, mengusap, menciumnya berulang kali dan berharap suaminya akan segera terbangun dari tidur panjangnya. “Mas ....” Airin memanggil lirih dengan suara tercekat dengan mata basah, menahan tangisnya agar tidak terdengar.
Suara langkah kaki memasuki ruangan membuyarkan semua kesedihannya, mengikis cepat netranya yang sedari tadi basah karena air mata, wajahnya menoleh untuk memastikan siapa yang datang. “Nyonya, Anda di minta untuk menemui Dokter,” ujar seorang Suster sembari tersenyum ramah.
"Baik, Sus," jawabnya sedikit terkejut dengan cepat tangannya netranya yang basah.
Airin hanya mengangguk sebagai jawaban. “Silakan, Nyonya.” Sang Suster berjalan lebih dulu.
Airin menoleh sekilas menatap ke arah sang suami sebelum beranjak dari tempat duduknya. “Mas, semoga ini kabar baik,” imbuhnya sebelum melangkah pergi.
Mengikuti langkah Perawat, Airin hanya bisa menghela napas panjang, sesekali terlihat bibirnya mengatup rapat, menahan semua perang batin yang dirasakannya. “Nyonya,” tegur Perawat saat Airin menabrak sang Suster.
“Maaf.” Airin malu.
Sang perawat hanya tersenyum ramah sebelum membuka pintu ruangan. “Silakan Nyonya.”
Memasuki ruangan Dokter, tubuh Airin tiba-tiba gemetar, kakinya terasa berat untuk melangkah. “Nyonya Airin, silakan masuk!” titah sang Dokter sembari duduk.
Airin menarik kursi yang ada di depannya berusaha duduk dengan tenang meskipun saat ini batinnya tengah berperang menanti penjelasan sang Dokter. Cukup lama Airin duduk, tetapi sang Dokter tidak kunjung memberi penjelasan seperti apa kondisi Wiksa, suaminya. “Apa? Nyonya sudah siap mendengarnya?” Sang Dokter mengejutkan.
“Sa-saya, sudah siap Dok,” jawabnya dengan suara bergetar.
Sang Dokter kemudian membuka berkas catatan kesehatan yang ada di depannya, membaca hasil diagnosa yang tercatat. Sang Dokter menatap sekilas wajah Airin sebelum berbicara. “Maaf, jika hasil diagnosa kami tidak sesuai dengan harapan Nyonya, setelah kami melakukan beberapa pemeriksaan CT Scan, MRI dan Elektro Ensefalogram serta beberapa pemeriksaan lainnya ....” Sang Dokter menghentikan ucapannya sesaat menatap wajah Airin yang cemas serta wajahnya yang mulai berkeringat.
“Nyonya ....”
“Iya, Dok,” jawab Airin gugup.
“Apa? Nyonya siap mendengar kabar paling buruk pun?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
R.F
semangat kak
2024-01-13
1
Syhr Syhr
Aduh, ikut deg deg an aku
2023-12-22
1
𝕸𝖆𝖗𝖞𝖆𝖒🌹🌹💐💐
duh jangan2 wiksa amnesia🥺
2023-11-18
1