Bab 2. Tragedi
Airin semakin merasa heran dengan sikap suaminya, mereka benar-benar menghabiskan siang hingga malam menjelang dengan kemesraan mereka. Airin tak mengira jika suaminya akan semakin bucin padanya. Namun, di balik semua sikap suaminya, terselip perasaan cemas di hati Airin, perasaan yang tiba-tiba membuatnya khawatir.
Dugaan Airin benar, setelah semalam suntuk hujan turun, pagi ini hujan kembali turun. Namun, sesuai kesepakatan yang mereka buat bersama mau tidak mau mereka harus kembali pulang, ada pekerjaan yang sudah menunggu mereka. Wiksa tak menunjukkan senyumnya sama sekali sejak melajukan mobilnya secara perlahan.
Hujan semakin deras membuat Airin semakin cemas dengan kondisi alam yang tidak mendukung. Berkali-kali Airin berusaha menenangkan hatinya, seakan ada firasat buruk yang saat ini sedang memburu dalam hatinya. “Mas, apa sebaiknya kita berhenti dulu hingga hujan mereda?” tanya Airin cemas.
Wiksa hanya melirik sekilas ke arahnya.
“Kita harus pulang Airin.”
Airin hanya mendengus, membuang semua rasa khawatir dalam benaknya. “Hati-hati Mas.” Suara Airin tertahan cemas, saat ini hatinya benar-benar merasa khawatir dan dadanya terus berdesir tidak nyaman.
Kekhawatiran Airin semakin menjadi saat hujan turun semakin lebat, di sertai angin yang kencang, Airin perlahan merapatkan tubuhnya di sisi Wiksa. “Mas, sepertinya cuaca makin memburuk kita berhenti dulu Mas, Airin takut,” lirih Airin.
Lagi-lagi Wiksa hanya melirik ke arah Airin, kemudian melambatkan laju mobil karena jalan di depannya mulai tergenang air cukup tinggi. Suara klakson terus terdengar silih berganti di tengah guyuran hujan lebat. “Argh ...." Wiksa kesal, memukul kemudi sedikit kencang, "kita terjebak banjir dan ....” Wiksa menghentikan mobilnya secara tiba-tiba suara decitan ban mobil nyaris tidak terdengar dan berganti dengan suara benturan keras dari arah belakang.
“Mas ....” Teriak Airin kencang saat merasakan ada sesuatu yang membuatnya terlonjak untuk sesaat, tangannya secara reflek meraih lengan suaminya.
"Mas ...." Airin makin erat memeluk erat lengan suaminya saat mobil terguncang dan bergerak aneh.
“Airin peluk Mas, Airin ....” Wiksa berteriak panik, suaranya yang kencang membuat Airin langsung memejamkan netranya.
Wiksa reflek melepas tangannya dari kemudi dan meraih tubuh Airin memeluknya erat, menyembunyikan kepala Airin di dadanya. Mobil bergerak tanpa kendali, meluncur terbalik di sisi jalan yang cukup curam. Wiksa makin erat memeluk Airin, hingga suara dentuman keras yang terdengar sebelum mereka tidak sadarkan diri.
“Mas ....” Airin tersadar, tangannya meraba tempat di mana dia berbaring, "Mas, Wiksa ...." Airin memanggil, tetapi yang terdengar hanya suara sirine ambulans yang meraung-raung meninggalkan tempat kejadian.
Di sisa rintik hujan yang membasahi tubuhnya, manik matanya menelisik menatap nanar apa yang sedang terjadi di depannya. "Ash ... aduh!" rintih Airin saat kakinya merasa ngilu untuk di gerakkan.
“Di mana ini?” lirih Airin sembari melihat sekujur tubuhnya.
“Mas ... Mas Wiksa!” teriak Airin keras saat menyadari jika suaminya tidak ada di sampingnya.
“Mas Wiksa ....” Airin berteriak kencang.
Mendengar teriakan yang cukup keras, petugas yang sedang berbicara langsung menghampiri dan berusaha menenangkan Airin yang terus berteriak memanggil nama suaminya. “Nyonya, sebaiknya Anda tenang, suami Anda sedang kami tangani dan di bawa ke rumah sakit terdekat begitu juga dengan Anda. Tenang Nyonya,” jelas sang petugas pelan.
“Mana, suamiku! Mana mas Wiksa!” teriak Airin semakin histeris.
“Pak, mana? Suamiku, tolong Pak. jelaskan apa yang terjadi, bagaimana kondisi suamiku?” tanya Airin memberondong saat menyadari jika saat ini keadaan terlihat kacau dan hiruk pikuk.
“Nyonya, tolong Anda tenang,” jawab petugas sembari menutup pintu belakang ambulans.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Airin terus memanggil nama Wiksa hingga dirinya tidak menyadari jika tubuhnya sendiri juga mengalami beberapa luka dan kakinya yang terasa ngilu. “Mas ....” Airin sembari menahan tangisnya membayangkan seperti apa kondisi sang suami.
Suara sirene yang meraung-raung tiba-tiba berhenti bersamaan dengan pintu belakang yang terbuka lebar. Tubuhnya perlahan di pindahkan di atas bed di dorong masuk ruang UGD. Airin yang sedari tadi merasa cemas dan khawatir akan kondisi suaminya hanya bisa terdiam saat tubuhnya di pindah di atas bed. Memasuki ruang UGD netranya seketika menelisik satu persatu ruangan yang tirainya terbuka, sesaat tubuh Airin tersentak saat melihat baju yang mirip dengan milik suaminya.
“Mas Wiksa,” lirihnya sembari berusaha turun dari bed.
“Nyonya, sebaiknya Anda tenang,” ujar perawat yang mendorongnya dan menempatkan pada ruangan yang lainnya.
Mengabaikan beberapa luka yang di dapatnya dengan sedikit kesulitan Airin turun dari bed, berjalan tertatih Airin menghampiri tubuh suaminya yang tergeletak di ruang UGD.
“Mas ....” Airin tak percaya melihat tubuh suaminya penuh luka dan kepalanya yang berdarah.
“Dokter, Suster ... tolong rawat suami saya, tangani dengan cepat!” teriak Airin histeris.
Mendengar keributan yang di timbulkan oleh Airin beberapa Perawat datang dengan tergesa bersama seorang Dokter, melihat ke arah Airin. “Dokter cepat bantu suami saya, rawat suami saya Dokter,” tukas Airin sembari menarik dan mengguncang tubuh Sang Dokter kuat-kuat bersamaan dengan tubuh Airin yang tiba-tiba jatuh di lantai.
“Cepat! Siapkan ruangan dan segera lalukan observasi untuk kedua pasien ini!” tegas sang Dokter samar-samar yang bisa Airin dengar sebelum dirinya benar-benar tak sadarkan diri.
Tersadar dari pingsannya, Airin mendengar suara-suara yang berbincang lirih telinganya, aroma khas rumah sakit perlahan mulai menyapa hidungnya. Airin mengerjap untuk beberapa saat, netranya perlahan memindai ruangan di mana dirinya berada. Sadar akan kondisi tubuhnya, ibirnya terkatup rapat, menahan tangis, saat mengingat kondisi terakhir suaminya, berbagai pikiran negatif kini sudah berkecamuk dalam kepalanya. Airin berulang kali berusaha meyakinkan hatinya bahwa suaminya selamat dan baik-baik saja, mengatur napas, berusaha untuk sedikit tenang saat melihat salah satu perawat masuk dan tersenyum hangat padanya.
“Siang Nyonya, alhamdulillah Anda sudah siuman,” ujar sang Perawat sopan dan berjalan mendekat, meletakkan alat-alat yang di bawanya.
“Sus, bagaimana kondisi suami saya?” tanya Airin tidak sabar.
“Suami Anda selamat, sekarang Anda juga harus di periksa dan mendapat perawatan juga,” jelas Sang Perawat tenang.
“Ash ....” Airin meringis saat ingin mengangkat kakinya.
“Nyonya, Anda tenang dulu, kaki Anda terkilir,” sang perawat sembari memeriksa detak jantung Airin dan tak lama mencatat dan mengambil tensimeter.
“Selamat, semuanya baik. Ada beberapa luka lecet dan sebaiknya Anda jangan banyak bergerak dulu,” terang sang perawat sembari tersenyum.
“Sus, antar saya ke ruangan suami saya, tolong Sus,” iba Airin tidak sabar.
Sang Perawat terdiam untuk sesaat melihat jurnal yang di pegangnya, “ Nyonya, kita tunggu keputusan Dokter, mungkin lima belas menit lagi Dokter akan datang melihat kondisi Nyonya,” Perawat sembari menutup jurnalnya dan memastikan sekali lagi kondisi Airin.
“Sus ... tolong, antar saya,” pinta Airin tak sabar.
“Sus, bisa ‘kan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
R.F
2like hadir semangat kak
mampir y
2024-01-10
1
💞Amie🍂🍃
GWS wiksa
2024-01-08
1
Syhr Syhr
Mudah²an Wiksa baik² saja, amiin
2023-12-20
1