Bab 4. Bu Mas Wiksa

Bab 4. Bu Mas Wiksa

“Iya, Dok. Saya siap,” jawab Airin berusaha tegar.

Dokter Frans kembali membaca kemudian menatap Airin sendu meskipun bibirnya tersenyum. Sang Dokter secara perlahan mulai menjelaskan apa yang sebenarnya tengah terjadi. “Kondisi suami Anda saat ini masih dalam keadaan koma, kepalanya terbentur sesuatu hingga mengalami cedera dan trauma, tetapi Anda jangan khawatir, suami Anda bisa di sembuhkan dan akan kita lihat reaksi apa yang akan terjadi pada ingatan suami Anda setelah sadar nanti, kami akan melakukan tindakan baru untuk memastikan diagnosa kami,” jelas sang Dokter hati-hati.

“Maksud Dokter?”

“Maaf, ini masih diagnosa awal kami, kami belum bisa memastikan dengan tepat karena kondisi suami Anda saat ini.”

Airin semakin menunduk, menahan gejolak dalam batinnya, ia tidak menyangka jika kecelakaan yang mereka alami akan berdampak pada kondisi suaminya. Wajahnya sedikit terangkat saat Sang Dokter memanggilnya dengan nada khawatir. “Terima kasih. Dok, saya baik-baik saja," jawab Airin dengan senyum di paksakan.

Setelah mendengar beberapa penjelasan dari Sang Dokter, Airin memilih segera beranjak dari duduknya dengan sopan berpamitan sebelum keluar dari ruangan. Berada di luar ruangan Airin masih berdiri di depan pintu, sedikit mendongak mencegah air matanya agar tidak jatuh . “Huufff ....” Airin berusaha membuang napas untuk meredakan gejolak batinnya.

Airin tidak bisa membohongi dirinya sendiri, menyusuri koridor rumah sakit dengan pikiran yang carut marut, tubuhnya sedikit terhuyung sebelum tiba di ruang rawat inap di mana suaminya tinggal beberapa hari ini. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu, perlahan Airin menarik gagang pintu membukanya perlahan, manik matanya menatap pasrah, melihat kenyataan jika suaminya saat ini masih tergeletak tidak berdaya seakan enggan terbangun dari tidur panjangnya.

Perlahan Airin menutup pintu, berdiri di depan pintu cukup lama, menatap sang suami sesaat bibirnya tersenyum getir, menahan semua rasa yang hanya dirinya saja yang mengerti. Berjalan mendekat di samping bed duduk tanpa semangat meraih tangan sang suami memegangnya erat bersamaan bibirnya terus bergerak mengucapkan kata lirih dengan khusyuk. “Mas. Bangun,” lirih Airin sembari mengecup tangan suaminya berulang kali.

Suara decitan pintu pelan yang terbuka membuyarkan semua kata demi kata yang Airin ucapkan, kepalanya sedikit terangkat, netranya seketika membola lebar saat tahu siapa yang masuk dalam ruangan. “Ibu ....” Airin berdiri dengan langkah tergesa menyambut dan memeluk erat wanita paruh baya yang ada di depannya. Tangisnya luruh dalam pelukan sang ibu, tanpa bisa berbicara satu kata pun, tergugu menumpahkan semua kesedihan yang beberapa hari yang hanya bisa dia pendam sendiri.

"Bu, Mas Wiksa," adunya pelan tanpa malu.

Melarai pelukannya tanpa kata, menatap menantunya dengan tatapan iba. “Sssttt ... sudah, jangan menangis, Ibu ada di sini Airin, Ibu minta maaf, jika baru datang,” tuturnya pelan, menyeka air mata menantunya yang terus jatuh.

“Ibu turut bersedih dan kenapa kamu baru mengabari Airin?”

“Maaf ...." Airin menunduk takut.

Melihat reaksi Airin sang ibu langsung meraih tubuh yang terlihat sedikit tidak terawat, membimbingnya penuh kasih dan mengajaknya duduk.

“Ibu, sudah paham Airin. Ibu sudah bertemu dengan Dokter yang menangani kalian,” jelas sang ibu menangkup wajah Airin yang menegang dengan tatapan kosong.

Tanpa banyak kata lagi sang ibu kembali memeluk, mengusap punggungnya beberapa kali. “Airin ... kamu istirahat saja. Biar Ibu yang menjaga suamimu,” tuturnya sembari duduk di samping bed bersama Airin penuh kasih.

Airin tanpa di minta segera menceritakan kronologi kejadian yang mereka alami. Mendengar cerita Airin sang ibu langsung meraih tubuh menantunya, merengkuh dalam dekapannya penuh sesal. “Maaf’kan, Ibu. Ibu merasa bersalah, di saat seperti ini Ibu datang terlambat untuk menemani kalian,” ujarnya bijaksana.

Hari demi hari mereka lalui berdua bergantian saling menjaga dan menemani Wiksa, waktu terus berjalan kini genap sepuluh hari Wiksa masih terlelap di tidur panjangnya. Namun, siang ini ada hal aneh yang Airin rasakan dan lihat. Berulang kali Airin mengusap netranya, berusaha memastikan dengan apa yang dilihatnya.

"Tidak mungkin," lirihnya sembari mengusap kedua matanya secara bergantian.

“Bu ....” Teriak Airin ragu.

“Bu, Mas Wiksa. Mas Wiksa, Bu. Mas Wiksa ....”

Sang ibu yang masih terkejut mendengar teriakan Airin hanya bisa menatap tidak percaya, langkahnya sedikit tergesa mendekat. “Airin, ada apa?"

"Mas, Wiksa Bu tadi ...." Airin tidak melanjutkan ucapannya, bibirnya terkatup rapat tidak percaya, hanya netranya yang terlihat serius pada tangan suaminya.

"Bu, lihat-lihat, tangan Mas Wiksa ...." Airin terus berujar dengan kata-kata yang sama, tidak percaya dengan semua penglihatannya.

Sang ibu terkejut sembari menatap lekat pada gerakan pelan Wiksa, netranya yang perlahan mengerjap dan jari-jemarinya perlahan mulai bergerak satu-satu. "Alhamdulillah! Airin suamimu ... Wiksa ... akhirnya kamu sadar Nak,” ujar sang ibu senang.

Airin dengan cepat menekan bel darurat yang berada di samping ranjang. Manik matanya semakin membola saat melihat suaminya perlahan mulai membuka netranya. “Bu, Mas Wiksa.”

Akan tetapi, tidak lama kemudian Wiksa kembali terpejam bersamaan Dokter masuk dan seorang Perawat tanpa mendengar penjelasan dari Airin maupun sang ibu, Dokter dan Perawat dengan cekatan langsung memeriksa Wiksa. Sang Dokter berhenti sejenak menatap Airin dan sang ibu bergantian. “Selamat, anak Anda dan suami Nyonya sudah tersadar dari tidur panjangnya,” jelas Sang Dokter senang.

“Alhamdulillah!” seru Airin tanpa sadar.

Sang Dokter kemudian mengajak sang ibu dan Airin berdiri sedikit menjauh, memberi ruang pada Perawat untuk menyelesaikan tugasnya. Percakapan serius terlihat dari wajah mereka bertiga dan sesekali melihat ke arah Wiksa. “Ingat pesan saya!” Sang Dokter kemudian memeriksa kembali catatan yang di berikan oleh Perawat dan kemudian meninggalkan kamar dengan wajah lega.

"Tolong awasi, pasiennya!" perintah Dokter Frans sebelum keluar dari kamar.

Airin dan sang ibu perlahan mendekat menatap wajah bingung Wiksa. Wiksa terus memindai ruangan kamar, jelas ada beribu pertanyaan yang terlihat di raut wajahnya tangannya terulur pelan memegang kepalanya. "Ash ...." Wiksa menyipitkan matanya, menatap lurus pada dua sosok yang berdiri di depannya tanpa kata.

"I-Ibu," sapanya pelan sembari memegang kepalanya.

"Wiksa ... kamu mengenali Ibu? Benar ini Ibu Nak."

"Ibu ...." Wiksa berucap ragu untuk sejenak.

"Wiksa, ka-kamu ingat Ibu?"

Wiksa mengangguk yakin, sekali lagi netranya berputar memindai ruangan. "Di mana ini?"

"Kita ada di rumah sakit," jawab sang ibu mendekat.

“Rumah sakit?” Wiksa masih dengan wajah bingung, kemudian menelisik memindai sekujur tubuhnya. “Kenapa dan apa ini?”

Sang ibu hanya terdiam menatap Wiksa lekat dan kemudian tersenyum. “Sekarang jangan bertanya apa pun dahulu,” jawab sang ibu pelan.

Wiksa hanya mengangguk sembari memegang kepalanya untuk beberapa menit. Netranya kini berpindah menatap ke wajah Airin, tetapi Wiksa langsung berpaling dan kembali menatap sang ibu penuh tanya. “Dia, Airin. Istri kamu,” jawab sang ibu pelan.

Wiksa kembali memegang kepalanya, menatap Airin dengan mimik aneh. “Istri?”

“Istri? Siapa kamu?” tanya Wiksa bingung dan langsung memegang kepalanya, “ash ... Airin? Aku tidak mengenal dan mengingatmu,” jawab Wiksa bingung.

Bagai di sambar petir di siang bolong, jawaban Wiksa sungguh meremukkan hatinya. “Aku, Airin. Mas.” Airin kekeh dan berusaha tenang.

“Airin? Hash, kenapa kepalaku sakit? A-aku tidak mengenal kamu!” tegas Wiksa.

“Mas ....” Panggilan Airin terputus, saat ini hatinya benar-benar tercubit perih saat suaminya tak mengakui dan mengingat siapa dirinya, Wiksa benar-benar melupakan siapa dirinya. Airin mengikis air matanya yang tiba-tiba luruh begitu saja di pipinya. Airin bisa melihat jika saat ini Wiksa tengah menatapnya heran dan penuh kebencian.

“Kenapa, kamu menangis? Apa kamu mengenalku dekat?” tanya Wiksa, menatap lekat Airin dengan tatapan hampa, “apa, kamu asistenku?” tanya Wiksa aneh.

Airin hanya terdiam, tangannya kembali menyusut air mata yang sudah membasahi pipinya. Napasnya terdengar berembus berat beberapa kali hingga tidak lama kemudian bibirnya terlihat tersenyum. ‘Apa? Aku mengiyakan saja praduga Wiksa,’ batin Airin bergolak.

Terpopuler

Comments

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Kasihan si Airin mah

2024-01-09

1

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Innalilahi

2024-01-09

1

Syhr Syhr

Syhr Syhr

Jangan diiyakan Airin, entar ada pelokor yang ngaku² jadi istri dari suami kamu

2023-12-23

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1. 21+ Kemesraan terakhir
2 Bab 2. Tragedi
3 Bab 3. Kondisi Wiksa
4 Bab 4. Bu Mas Wiksa
5 Bab 5. Dia istrimu
6 Bab 6. Wiksa aneh
7 Bab 7. Penolakan Wiksa
8 Bab 8. Airin cemburu
9 Bab 9. Tersisih
10 Bab 10. Jin iprit semakin berani
11 Bab 11. Kesabaranku hanya setipis tisu
12 Bab 12. Mas Wiksa
13 Bab 13. 21+ Kalian
14 Bab 14. 21+ Aku harus membatalkan
15 Bab 15. Aku baik-baik saja
16 Bab 16. Airin di culik
17 Bab 17. Tidak mendapat restu
18 Bab 18. Ibu setuju tapi dengan satu syarat
19 Bab 19. Saya setuju dengan syarat yang Ibu ajukan.
20 Bab 20. Akhirnya mereka melakukanya juga
21 Bab 21. Airin pingsan
22 Bab 22. Positif hamil
23 Bab 23. Kabar tidak menyenangkan.
24 Bab 24. Dia hampir kehilangan
25 Bab 25. Berubahlah Airin
26 Bab 26. Bertemu kembali
27 Bab 27. Tinggal bersama kami
28 Bab 28. Cerita sepenggal
29 Bab 29. Apa ceritamu bisa di percaya
30 Bab 30. Dia bukan anak Wiksa
31 Bab 31. Ada apa dengan kepalaku ini
32 Bab 32. Sedikit ... saja
33 Bab 33. Bawa aku pulang Dam
34 Bab 34. Bajumu lebih bau
35 Bab 35. Ada apa? Nyonya
36 Bab 36. Anda boleh pulang
37 Bab 37. Jaga rahasia ini
38 Bab 38. Apa? Kamu bisa
39 Bab 39. Lakukan demi Ibu
40 Bab 40. Saksi yang menghilang
41 Bab 41. Perubahan Wiksa
42 Bab 42. Wina kambuh
43 Bab 43. Wanita gila
44 Bab 44. Kita lihat, esok akan seperti apa
45 Bab 45. Gila! Kamu benar gila
46 Bab 46. Tentang Soni
47 Bab 47. Mereka pergi
48 Bab 48. Lima tahun kemudian
49 Bab 49. Pertanyaan Abbi
50 Bab 50. Abbi sakit
51 Bab 51. Bagaimana Airin
52 Bab 52. Beri aku waktu
53 Bab 53. Abbi menangis
54 Bab 54. Bertemu Dewi
55 Bab 55. Kejujuran Abbi
56 Bab 56. Kita jalan-jalan
57 Bab 57. Abbi yang penasaran.
58 Bab 58. Maafkan ibu
59 Bab 59. Jangan pisahkan aku dengan Abbi
60 Bab 60. Tolong ganti dengan perawat perempuan
61 Bab 61. Kejujuran Adam
62 Bab 62. Airin kalian ....
63 Bab 63. Oh, dia ....
64 Bab 64. Ini antara kita
65 Bab 65. Penolakan Abbi
66 Bab 66. Aku tidak ingin menemuinya
67 Bab 67. Pergi
68 Bab 68. Abbi di sana! Anakku di sana
69 Bab 69. Maaf 'kan Ibu Abbi
70 Bab 70. Boleh aku duduk di sini
71 Bab 71. Aku ikhlas
72 Bab 72. Hantarkan dia hingga peristirahatan terakhir
73 Bab 73. Ini Makam Uti
74 Bab 74. Adam sedang tidak baik-baik saja.
75 Bab 75. Ada apa?
76 Bab 76. Kejujuran Abbi
77 Bab 77. Jabatan Bapak bukan kaleng-kaleng
78 Bab 78. Tentang Adam
79 Bab 79. Ka-ka-kamu
80 Bab 80. Kamu pasti akan menuai karma
81 Bab 81. Aku yang lebih dulu datang Airin.
82 Bab 82. Benar cinta itu menyakitkan
83 Bab 83. Boleh kami masuk
84 Bab 84. Apa lamaran ini di terima
85 Bab 85. Mbah, apa? Keputusanku sudah tepat?
86 Bab 86. Ciuman ini bukti cintaku
87 Bab 87. Mbah Tun ada apa?
88 Bab 88. Adam awas
89 Bab 89. Airin kamu harus kuat
90 Bab 90. Tidak Airin
91 Bab 91. Terima kasih Ayah
92 Bab 92. Abbi ikhlas Ayah
93 Bab 93. Ada misi yang harus Abbi lakukan
94 Bab 94. Mbah mau cerita kan?
95 Bab 95. Mbak Murni
96 Bab 96. Benar 'kan?
97 Bab 97. Rencana berjalan
98 Bab 98. Apa Dam?
99 Bab 99. Yakin, kamu menolak
100 Bab 100. Terima kasih Ayah
Episodes

Updated 100 Episodes

1
Bab 1. 21+ Kemesraan terakhir
2
Bab 2. Tragedi
3
Bab 3. Kondisi Wiksa
4
Bab 4. Bu Mas Wiksa
5
Bab 5. Dia istrimu
6
Bab 6. Wiksa aneh
7
Bab 7. Penolakan Wiksa
8
Bab 8. Airin cemburu
9
Bab 9. Tersisih
10
Bab 10. Jin iprit semakin berani
11
Bab 11. Kesabaranku hanya setipis tisu
12
Bab 12. Mas Wiksa
13
Bab 13. 21+ Kalian
14
Bab 14. 21+ Aku harus membatalkan
15
Bab 15. Aku baik-baik saja
16
Bab 16. Airin di culik
17
Bab 17. Tidak mendapat restu
18
Bab 18. Ibu setuju tapi dengan satu syarat
19
Bab 19. Saya setuju dengan syarat yang Ibu ajukan.
20
Bab 20. Akhirnya mereka melakukanya juga
21
Bab 21. Airin pingsan
22
Bab 22. Positif hamil
23
Bab 23. Kabar tidak menyenangkan.
24
Bab 24. Dia hampir kehilangan
25
Bab 25. Berubahlah Airin
26
Bab 26. Bertemu kembali
27
Bab 27. Tinggal bersama kami
28
Bab 28. Cerita sepenggal
29
Bab 29. Apa ceritamu bisa di percaya
30
Bab 30. Dia bukan anak Wiksa
31
Bab 31. Ada apa dengan kepalaku ini
32
Bab 32. Sedikit ... saja
33
Bab 33. Bawa aku pulang Dam
34
Bab 34. Bajumu lebih bau
35
Bab 35. Ada apa? Nyonya
36
Bab 36. Anda boleh pulang
37
Bab 37. Jaga rahasia ini
38
Bab 38. Apa? Kamu bisa
39
Bab 39. Lakukan demi Ibu
40
Bab 40. Saksi yang menghilang
41
Bab 41. Perubahan Wiksa
42
Bab 42. Wina kambuh
43
Bab 43. Wanita gila
44
Bab 44. Kita lihat, esok akan seperti apa
45
Bab 45. Gila! Kamu benar gila
46
Bab 46. Tentang Soni
47
Bab 47. Mereka pergi
48
Bab 48. Lima tahun kemudian
49
Bab 49. Pertanyaan Abbi
50
Bab 50. Abbi sakit
51
Bab 51. Bagaimana Airin
52
Bab 52. Beri aku waktu
53
Bab 53. Abbi menangis
54
Bab 54. Bertemu Dewi
55
Bab 55. Kejujuran Abbi
56
Bab 56. Kita jalan-jalan
57
Bab 57. Abbi yang penasaran.
58
Bab 58. Maafkan ibu
59
Bab 59. Jangan pisahkan aku dengan Abbi
60
Bab 60. Tolong ganti dengan perawat perempuan
61
Bab 61. Kejujuran Adam
62
Bab 62. Airin kalian ....
63
Bab 63. Oh, dia ....
64
Bab 64. Ini antara kita
65
Bab 65. Penolakan Abbi
66
Bab 66. Aku tidak ingin menemuinya
67
Bab 67. Pergi
68
Bab 68. Abbi di sana! Anakku di sana
69
Bab 69. Maaf 'kan Ibu Abbi
70
Bab 70. Boleh aku duduk di sini
71
Bab 71. Aku ikhlas
72
Bab 72. Hantarkan dia hingga peristirahatan terakhir
73
Bab 73. Ini Makam Uti
74
Bab 74. Adam sedang tidak baik-baik saja.
75
Bab 75. Ada apa?
76
Bab 76. Kejujuran Abbi
77
Bab 77. Jabatan Bapak bukan kaleng-kaleng
78
Bab 78. Tentang Adam
79
Bab 79. Ka-ka-kamu
80
Bab 80. Kamu pasti akan menuai karma
81
Bab 81. Aku yang lebih dulu datang Airin.
82
Bab 82. Benar cinta itu menyakitkan
83
Bab 83. Boleh kami masuk
84
Bab 84. Apa lamaran ini di terima
85
Bab 85. Mbah, apa? Keputusanku sudah tepat?
86
Bab 86. Ciuman ini bukti cintaku
87
Bab 87. Mbah Tun ada apa?
88
Bab 88. Adam awas
89
Bab 89. Airin kamu harus kuat
90
Bab 90. Tidak Airin
91
Bab 91. Terima kasih Ayah
92
Bab 92. Abbi ikhlas Ayah
93
Bab 93. Ada misi yang harus Abbi lakukan
94
Bab 94. Mbah mau cerita kan?
95
Bab 95. Mbak Murni
96
Bab 96. Benar 'kan?
97
Bab 97. Rencana berjalan
98
Bab 98. Apa Dam?
99
Bab 99. Yakin, kamu menolak
100
Bab 100. Terima kasih Ayah

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!