Pulang sekolah Alexa ikut dengan Alex. Ia terpaksa mau nebeng dengan kakaknya karena Alden sedang sibuk di kampusnya. Bibirnya sudah mayung membuat Alex menggeleng.
Tiba di rumah mereka langsung ke kamar masing-masing. Alex cepat ganti pakaian dan ke dapur makan. Setelah makan, dia ke rumah sebelahnya.
"Assalamualaikum!" ucapnya.
"Wa'alaikumsalam!"
Alexa mendengar suara Sie yang menjawab salamnya. Di sana ia melihat Sie sedang asyik bersandar di sofa dengan camilan di tangannya.
Alexa mendekati Sie. "Adek sudah pulang enggak?" tanyanya kepada Sie. Dibalas gelengan oleh anak kecil itu.
Alex meninggalkan Sie. Berjalan ke kamar Alden. Kamar Alden tidak pernah terkunci membuat ia bebas masuk ke sana. Alexa menatap meja belajar Alden.
Ada tiga bingkai kecil di sana. Foto pertama bersama keluarga besar mereka, foto kedua Alden bersama orang tua dan saudaranya. Di foto terakhir ada di dan Alden. Bibir Alexa tersenyum senang.
Ia berjalan ke balkon kamar Alden. Langsung ia melihat kamarnya sendiri. Alexa duduk di bangku panjang di balkon Alden.
"Lama banget pulangnya," gerutu Alexa. Ia memutuskan berbaring di sana.
***
Ia melangkahkan kakinya ke parkiran mobil. Kelansya baru saja selesai. Ia mampir sebentar membeli beberapa camilan untuk adik-adiknya. Biasa Sie kalau dia pulang nagih oleh-oleh.
Kimmi
[Adek, Kimmi lagi di bengkel. Tiba-tiba motor Kimmi kempis.]
[Kirim alamatnya.]
Alden segera ke alamat yang dikirim Naya kepadanya. Ia memutar mobilnya. Lumayan jauh sampai membuat ia dan adiknya tiba di rumah setelah magrib.
Sie melompat senang melihat kakaknya datang. Ia segera menyambut Alden. "Adek, mana camilannya?" tagihnya. Alden menyerahkan kantong hitam kereseknya.
"Jangan makan banyak-banyak. Nanti, nafsu makan Sie menurun," pesan Alden. Sie mengangguk dan kembali ke sofa. Ia langsung duduk di pangkuan Galen.
Alden naik ke atas menuju kamarnya. Masih gelap gulita. Ia menekan skalar lampu. Tap! Ruangannya terang menderang.
Alis Alden bertautan melihat balkon kamarnya terbuka. Seingatnya dia menutupnya. Alden menyimpan tasnya dan berjalan ke balkon.
Ia menghela napas melihat Alexa tidur di sana. Meringkuk seperti janin. Dengan pelan Alden mengangkat tubuh Alexa. Meletakkan di atas kasurnya.
Alden segera mandi dan mengenakan kaus rumahannya. Tidak ada tanda-tanda Alexa bangun. Sudah hampir masuk Isya. Alden mendekat dan menepuk bahu Alexa.
"Mphus, bangun," panggil Alden. Ia suka memanggil Alexa kucing karena ketika Alexa marah dia akan bar-bar dan ketika diam dalam mode kalemnya, seperti anak kucing.
"Mphus! Fiuhhh!" Alexa membuka matanya saat Alden meniup matanya. Ia merengut kesal dan menarik bantal. Memeluknya erat.
"Enggak baik tidurnya kelamaan. Shalat dulu. Belum makan juga nanti maag kamu kambuh," ujar Alden.
"Aku menunggu lama banget. Dari jam 3 sore sampai—" Alexa melirik jam dinding, "jam 6:56." Bibirnya sudah mayung.
"Aku 'kan bilang kalau liat kamar aku lampunya tidak menyala aku belum pulang. Kalau siang bisa tanya Bunda aku pulang atau belum. Ke kamar kalau enggak ada aku, artinya belum pulang," jelas Alden.
"Au ah. Bete sama kamu," kesal Alexa.
"Umur kamu berapa, sih?" tanya Alden. Ia tersenyum geli karena sepupunya masih labil sekali.
"18 tahun," jawab Alexa.
"Sie berapa?" tanya Alden lagi.
"6 tahun," jawab Alexa kembali.
"Kamu beda usia dengan Sie, tetapi kalau merajuk sama," goda Alden membuat Alexa bangkit dan memukulnya.
Alden meminta Alexa pulang ke rumahnya. Untuk Shalat dan nanti dia akan ke sana.
***
Selesai Shalat, Alden pergi ke rumah di sebelahnya lewat samping karena di tembok itu ada gerbang kecil menuju rumah Alexa.
Namun, dia tidak sendiri karena Sie merengek ikut. Ia sudah tahu adiknya akan ke mana. Pasti ke kamar Alex.
"Adek, Sie ke kamar Tono dulu," ujarnya membuat Alden mengangguk.
Ia masuk ke kamar di sebalah kamar Alex. Terlihat Alexa masih mengenakan mukenanya. Ia tersenyum lebar melihat Alden.
"Duh, lihat kamu masuk ke kamar aku berasa kayak lagi liat suami masuk kamar," ujar Alexa membuat Alden menatapnya datar.
"Kamu selalu bahas nikah, nikah. Belajar dulu. Nah, mana tugas kamu." Alden meminta buku tugas Alexa. Dengan cemberut Alexa memberikan buku tugasnya.
"Alexa apa ini?!" tanya Alden terkejut, "Kenapa nilai kamu 70?"
"Otak aku cuma sampai 70 saja," ujar Alexa memelas. Alden menggelengkan kepalanya. Ia menarik Alexa ke arahnya.
"Ini sejarah. Kamu harus belajar sejarah. Jangan tahunya main hp," omel Alden.
"Aku enggak bisa mengingat masa lampau. Kata Bunda, masa lalu harus dilupakan. Jangan diingat apalagi diungkit," jawabnya.
Alden mengusap kasar wajahnya. Kalau bertanya dengan bundanya dijamin nilainya akan di bawah rata-rata. Menurut yang ia dengar dari ayahnya, bundanya selalu ngasal.
"Belajar sini. Enggak ada main hp lagi. Hp kamu aku sita," ujar Alden marah.
"Kenapa enggak buat sejarah baru saja, Al?" tanyanya.
"Sejarah baru apa? Kamu mau ada peran dunia ketiga?" tanya Alden kesal.
"Sejarah cinta kita. Biar nanti anak cucu kita bisa kita ceritakan," jawab Alexa cepat.
"Sekali kamu ngomong ngasal aku pergi saja keluar negeri. Percuma tinggal di sini. Kamu rajin belajar saja enggak. Apa nurut kata kamu yang malasnya kebangetan," ujar Alden membuat Alexa murung. Matanya berkaca-kaca.
Alden menoleh dan melihat Alexa. Ia sedikit salah tingkah membuat Alexa hampir menangis. Dengan cepat ia menarik Alexa duduk di dekatnya. Ia mengusap kepala Alexa seperti ia mengusap Moci kucingnya.
"Nanti habis belajar kita jajan, ya," bujuk Alden.
"Janji?"
"Insha'Allah." Alexa tersenyum. Membuat Alden bernapas lega.
"Tapi, aku beneran mau nikah sama kamu," ujarnya membuat Alden memasang wajah datarnya.
"Kita sepupuan," kesal Alden.
"Kata Ayah boleh. Daddy juga enggak masalah. Sah-sah saja karena Mom dan Ayah bukan saudara kandung. Banyak malah di luar sana, sepupu kandung nikah," ujar Alexa.
"Walau boleh malas nikah sama kamu," ujar Alden cuek membuat Alexa menatapnya kesal.
"Kamu jangan-jangan punya pacar?" tanya Alexa penuh selidik.
"Enggak ada, Xa. Masa iya aku pacaran." Alden memang tidak mau pacaran. Baginya cinta, ya, halalkan.
"Kalau begitu kita nikah saja, ya, ya, pleasee," rengek Alexa.
"Malas. Dengar, ya, Mphus. Menikah itu bukan perkara mudah. Ada tanggung jawab di dalamnya. Jujur saja, aku belum mampu memikul beban seberat itu. Aku masih belajar, Mphus. Aku kerja hanya karyawan biasa. Gaji pas-pasan."
Alden menatap Alexa serius, "Ketika menikah. Bukan Ayah lagi yang biayai kuliah aku dan kebutuhanku. Aku harus bisa melakukan sendiri untukku dan untukmu."
"Bukannya selama ini kamu sendiri yang biayai kuliah kamu?" tanya Alexa.
"Iya. Tapi, masih banyak kebutuhan lain. Kebutuhan dapur, dan juga kebutuhan kamu."
"Aku bisa cari uang sendiri, Al. Jangan biayai aku. Cukup halalkan aku," ujar Alexa.
"Sentil, nih, bibir kamu," ujar Alden.
"Cium saja," ujar Alexa sambil tertawa.
"Dasar gila!" kesal Alden.
"Huwaa padahal ingin rasain apa yang dikatakan Bunda," ujar Alexa.
"Bunda bilang apa?" Mata Alden memicing. Alexa terlalu dekat dengan bundanya sampai tertular otak polos bundanya.
"Bikin adek-adek," cicit Alexa.
"Ck," decak Alden. Ia menyentil bibir Alexa.
"Aldeeeen sakit! Kasar banget, sih."
"Makanya kalau ngomong saring dulu." Alden membuka buku Alexa,"Belajar sekarang. Baca dan tanya. Harus ada pertanyaan." Alexa mengambil bukunya dengan malas.
***
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments