"Ya."
Bintang tengah membantu Enggar di rumah makannya. Bintang sebenarnya lulusan universitas negeri di Indonesia. Ya, dia mendapat predikat cumlaude.
UI, kalian pasti nggak asing dengan universitas kebanggan negara kita ini. Bukan tidak mau dia bekerja di instansi atau perusahaan, hanya saja dia lebih memilih membantu ibunya untuk sementara waktu.
Juga, dia masih penat karena baru menyelesaikan program magisternya. Ada beberapa tawaran yang masuk padanya untuk menjadi dosen di universitas swasta, tapi dia belum mau menerimanya.
"Tang, lo nggak pengen apa kerja pake seragam kayak gitu?" tanya Heni saat melihat PNS melintasi rumah makan mereka.
"Apa enaknya kerja begitu, Hen. Harus dikejar waktu juga tekanan dari atasan."
"Sayang tahu, ijazah lo," ucap Heni prihatin. "Gue aja kalau ada kesempatan pengen kuliah, Tang."
Heni anak yatim piatu, adiknya masih ada dua di bawahnya. Beruntung mereka sudah remaja, jadi Heni bisa bekerja. Meski gajinya tidak banyak, tapi makanan yang dibuat oleh Enggar selalu disisihkan untuk mereka.
"Ya, Tang. Ibu lebih seneng kamu punya penghasilan sendiri. Daripada di sini cuma dapat uang jajan doang dari Ibu."
"Hem, ya udah. Besok Bintang lihat-lihat dulu tawaran yang masuk ya, Bu. Kalau Bintang jadi dosen, Ibu setuju?"
"Apa pun pekerjaan kamu, Ibu selalu setuju. Tapi ingat, bekerjanya harus pake hati juga ikhlas, ya."
Bintang mengiyakan ucapan Enggar. Benar, setiap melakukan sesuatu harus selalu dengan hati juga ikhlas. Ada pepatah yang mengatakan, cintai pekerjaanmu maka dia akan mencintaimu.
"Tang, sebentar lagi anter pesanan ke rumah sakit yang biasa."
"Aku kayaknya lagi malas, Hen. Kamu aja, ya. Aku mau nemeni Ibu di sini."
Heni tidak menolak, dia justru senang bisa bekerja di luar. Dia bangsa pembosan yang melihat itu-itu aja.
"Lumayan, bisa sekalian cuci mata," gumamnya dengan kekehan kecil. Dalam hati dia bersorak kegirangan.
"Udah beres. Sekarang, lo bisa anter ini. Ingat, utamakan keselamatan, ya."
Heni mengangguk mengerti, sekarang dia sudah bersiap mengantar makanan ke rumah sakit. Bintang sibuk memikirkan akan mengambil pekerjaan apa.
"Bu, jadi dosen banyak duitnya nggak, sih?" tanya Bintang pada Enggar.
"Kamu mau kerja itu yang menghasilkan uang atau ingin bekerja dengan hati?" Enggar masih menata beberapa makanan di etalase.
"Pengennya dua-duanya, Bu." Bintang iseng buka lowongan pekerjaan dari aplikasi ponsel. Tertera nama rumah sakit yang biasa mereka mengantar makanan.
"Bu, Rumah Sakit Harapan lagi buka lowongan kerja. Apa aku coba lamar di sana aja, ya?"
"Terserah kamu, Bintang. Di mana pun kamu kerja, kamu tetap jadi bintangnya. Sesuai nama kamu." Enggar mencubit pipi anak semata wayangnya gemas. Bintang nyengir.
Tiba-tiba panggilan di gawainya berdering. Ia menyapu layar.
"Halo."
"Dengan Bintang Pricilla?"
"Ya, saya sendiri."
"Kami ada penawaran kerja untuk Anda sebagai dosen di Universitas Prima. Salah satu dosen di sini merekomendasikan Anda."
Bintang tampak bingung, siapa yang merekomendasikan dia bekerja di sana. Perasaan dia nggak punya teman yang seorang dosen, atau jangan-jangan ini penipuan?
"Maaf, mungkin Anda salah," ucap Bintang.
"Anda benar Bintang Pricilla, kan?" tanya seseorang dari seberang sana.
"Ya."
"Salah satu dosen kami bernama Resti. Dia yang merekomendasikan Anda. Jika Anda berkenan, besok silakan datang ke kampus. Jl. Percobaan No.13 jam sembilan pagi," jelas pria itu dari sambungan telepon.
Resti teman satu kampus dengan Bintang, dia juga mendapat predikat yang sama saat wisuda. Keduanya menempati posisi cumlaude.
Bintang langsung menyapu layar telepon, menghubungi Resti. Dia penasaran, sudah lama ia tidak mendengar kabar dari Resti.
"Halo, Resti."
"Eh, Bintang. Tang, gue rekom lo ke universitas tempat gue kerja. Semoga lo diterima, ya."
"Ya ampun, Res. Aku tuh masih malas loh kerja di instansi. Terikat waktu juga pekerjaan."
"Yah, sayang banget. Padahal di sini lagi butuh tenaga pendidik. Gajinya juga besar, Tang. Mana kerjanya nyantai. Lo yakin nggak mau terima?" ucap Resti yang tengah mengapit ponselnya di bagian pipi juga bahu. Tangannya sibuk memasukkan beberapa barang yang berserakan di mejanya.
"Gimana ya, Res?" Bintang bingung memikirkannya. Mungkin lebih baik, minta doa restu ibunya dulu sebelum mengambil keputusan.
"Dipikirin dulu, Tang. Kalau kamu kerja di sini 'kan lumayan, setengah hari udah bisa bantu ibu kamu. Jamin nggak nyesel, deh terima tawaran dari sini," bujuk Resti yang sudah dua tahun bekerja di sana.
"Aku minta izin Ibu dulu, ya."
"Oke. Bye" Panggilan diakhiri, Heni kembali dari mengantar kateringan.
"Tang, dua dokter ganteng yang kemarin makan di sini kerja di Rumah Sakit harapan."
"Mana aku tahu, Hen."
"Yee, aku kasih tahu kamu. Mereka berdua kerja di sana. Datangnya juga barengan kayaknya," jelas Heni yang memang melihat keduanya datang bersamaan dengan memarkir mobil bersebelahan.
Boros bensin sebenarnya mereka berdua. Tapi, mau bagaimana lagi. Aksa punya janji untuk menemui Keisha. Safar juga pulangnya nggak tentu, kadang cepat, kadang lama bahkan pernah beberapa kali nggak pulang.
"Lo jadi mau ketemu Keisha?" tanya Safar saat mereka berjalan berdampingan.
"Mau nggak mau," jawab Aksa tidak semangat bahkan wajahnya begitu tertekan. Safar menepuk pundaknya.
"Sabar. Kalau nggak lo bawa cewek siapa aja yang lo temuin, gandeng tangannya trus minta pura-pura jadi pacar lo."
Aksara menoleh, alisnya menungkik tajam. Dia percaya nggak percaya sama ucapan Safar. Apa yang dibilang Safar masih masuk akal menurutnya.
"Lo yakin berhasil?" tanyanya memastikan dan menghentikan langkah. Safar tertawa terbahak-bahak.
"Lo percaya sama apa yang barusan gue bilang? Huahaha. Lo yang gila kalau gitu? Yang gue bilang barusan cuma cerita yang pernah gue baca di aplikasi novel. Haha. Tapi, kalau lo mau coba bisa, sih. Siapa tahu beruntung," ucap Safar lagi sembari tertawa nyaring dan melangkah menuju ruangannya.
Aksara masih menimbang-nimbang. Mungkin jika terdesak, dia akan menggunakan alternatif itu. Aksara tidak marah, dia masih memandang lekat punggung lebar Safar.
"Lo mau sampe kapan diem di situ?"
Aksa berlalu begitu saja setelah mendengar ucapan Safar. Safar dianggap angin yang cuma bisa dirasa nggak bisa dilihat kecuali angin ****** beliung.
"Dasar bocah!" umpat Safar. Dia mengambil jas dokternya yang tergantung namanya. Dengan penuh bangga dan susah payah ia mendapatkan gelar itu.
Sebenarnya dia masih penasaran soal Bintang. Padahal, baru kemarin dia bertemu dengan gadis berparas ayu itu. Tapi, ingatan
soal Bintang terus menari-nari di pikirannya.
"Emh, Bintang," ucapnya menopang dagu dengan kedua tangan. Bukannya bersiap untuk mengunjungi pasien, Safar malah sibuk melamun.
"Dokter Safar, ini jadwal kunjungan Anda," ucap perawat berambut pendek itu.
"Kateringan dari tempat biasa sudah datang?" tanyanya, bukannya bertanya soal kondisi pasien malah bahas katering. Perawat itu mengerutkan keningnya, dia bingung dengan sikap Safar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Efvi Ulyaniek
dokter safar jg suka nih kayae
2023-11-20
0