Operasi Enam Jam

Pandangan Bintang terhadap Safar semakin berbinar. Safar benar-benar lelaki idaman yang sulit ditemukan akhir zaman begini.

"Ah, dia bener-bener idaman gue," ucap Bintang yang masih memandangi punggung lebar Safar.

Heni menarik daun telinga Bintang. Dia berteriak kesakitan. Heni baru akan melepaskannya saat sudah tiba di dalam.

"Mengkhayal aja terus! Lelaki idaman, lelaki idaman. Udah kayak lagu dangdut lo!" cibir Heni yang berusaha menyadarkan temannya.

"Ish! Suka hati gue, dong. Apa lo lihat-lihat?" tantang Bintang saat Aksara melihatnya sambil geleng kepala

Subandi mengebrak meja membuat semua yang di sana terlonjak kaget.

"Hei! Bukannya udah kubilang lebih baik pacaran daripada bertengkar!" ucapnya dengan mulut yang penuh makanan.

Bintang, Aksara juga Heni tampak memiringkan badan melihat sikap Subandi. Kemudian dia melempar kain lap ke atas meja dan bangkit buru-buru.

"Nganggu orang makan aja! Nafsu makan gue jadi rusak!" omelnya yang kemudian menyerahkan selembar uang lima pulih ribuan.

"Maaf untuk ketidaknyamanannya, Pak," ucap Enggar karena merasa anaknya bikin pelanggan nggak nyaman.

Subandi hanya berdehem kemudia keluar bersama salah satu anggotanya. Bintang memukul kepala bagian belakang Aksara.

"Eh, lo disuruh nunggu di sini."

"Ya, gue udah tahu. Safar salat, kan?"

"Bintang, yang sopan. Ibu nggak pernah ngajari kamu begitu."

Bintang tidak bisa melawan omongan Enggar. Dia kembali berjejer di samping Enggar juga Heni. Bintang mencuci piring, sedangkan Heni sibuk memeriksa lauk apa yang habis.

Safar kembali dari masjid, mereka berdua pamit. Safar menyapa Bintang juga sebelum akhirnya pulang. Sebab, dia menyampaikan amanahnya pada Aksara.

"Besok-besok gue nggak mau lo ajak makan di sini lagi," ucap Aksara yang sudah duduk di balik kemudi.

"Kenapa?"

"Anaknya yang punya rumah makan ini gila. Ogah gue makan di sini lagi. Kalau mau, lo yang beliin makanan untuk gue. Tapi harus di sini, jangan di tempat lain."

"Lo yang mau makan kok jadi gue korbannya."

Aksara diam dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Keduanya sudah berada di rumah sakit.

"Dokter Aksa, ada pasien yang mengalami gagal jantung dan harus segera Anda operasi," ucap salah satu perawat yang dengan terburu-buru menjemput Aksara di lobby.

Aksara berlari menuju tempat pasien. Tidak lupa perawat tadi memakaikan baju khusus juga sarung tangan untuknya.

Persiapan operasi di mulai, karena semua staf sudah menempati posisi masing-masing. Aksara memang dokter handal dalam bidangnya, hanya saja sikapnya yang kadang-kadang kekanakan kala di luar.

Enam jam sudah berlalu, terlalu sulit operasi yang dilakukan Aksara kali ini. Sebab, pasien memiliki riwayat darah tinggi, kolesterol juga diabetes.

Luar biasa pegal dan capeknya itu, berdiri selama dua jam saja sudah kebas. Ini sampai harus enam jam demi menyelamatkan pasien.

Aksara keluar dengan memijat pelan punggungnya. Ia terlalu lelah, mata juga sudah sayup kecapekan.

"Aksa," panggil seorang perempuan berpenampilan feminim. Aksara menoleh, ia menutup mata sebentar.

"Ada apa, Kei?" Gadis bertubuh ramping itu senyum-senyum dan langsunh memeluk lengannya. Aksa melepasnya lembut, tapi Keisha kembali melakukan hal yang sama.

"Aku kangen kamu, Sa."

"Aduh, Kei. Aku lagi capek banget ini, aku lagi malas ketemu siapa pun. Pengen istirahat."

Aksara berjalan lesu dan masih diikuti Keisha yang kini meletakkan kepalanya di bahu Aksa.

"Dok," sapa perawat yang melintas. Keisha senyum penuh bangga karena berhasil mendapatkan Aksa. Dokter tampan juga hebat.

"Kei, please. Aku mau istirahat. Kamu pulang aja, ya. Besok janji deh, ketemu," ucap Aksa yang menghindari Keisha. Cinta bukan prioritas di hidup Aksara.

"Janji, ya?"

"Hem."

Keisha mengecup pipi Aksa lalu pergi. Aksara mengelap pipinya, dia tidak terlalu mencintai gadis yang manja seperti Keisha.

Aksara merebahkan diri di ruangan khusus dokter yang memang disediakan tempat tidur juga kamar mandi.

Dengkurannya nyaring dan mengusik orang-orang yang ada di sekitar. Dia tidur tanpa melepaskan jas dokter dan sepatu miliknya.

"Dokter Aksa ngoroknya kenceng banget, ya," bisik salah satu perawat yang ada di tempat tidur bagian atas.

"Wajarlah, dia baru selesai operasi. Operasinya aja memakan waktu enam jam. Pasti capek banget."

"Ya, dia Dokter idaman gue," ucap salah satu perawat berambut pendek.

"Ya, gue juga idolain dia. Tapi, lebih fans sama Dokter Safar, muslim yang taat loh dia."

Aksara berdehem, dia mendengar semua obrolan kedua perawat ini. Keduanya diam dan turun perlahan meninggalkan ruangan.

Ketenangan tidur Aksa terganggu oleh suara berisik kedua wanita tadi. Kepalanya mendadak pusing karena ocehan yang tidak berbobot itu menurutnya.

"Ah, sial! Ketenangan tidur gue terganggu."

Dia berbaring lagi, kali ini menutup telinganya dengan bantal. Lagi capek-capeknya justru diganggu, siapa yang nggak sebel.

Aksa mulai memejamkan matanya, sekelabat bayangan Bintang muncul memenuhi otaknya. Dia kembali bangkit dan mencari keberadaan gadis itu.

"Gila, bisa-bisanya gue ingat dia. Argh! Cewek emang bikin pusing."

Aksara keluar dari sana, kembali ke ruangannya. Mata panda terlihat di wajahnya. Dia benar-benar lelah. Untuk berjalan saja dia sampai menempel di dinding.

"Lo kenapa?" tanya Safar yang baru saja selesai salat Magrib. Dia masih membawa sajadah kecil di genggamannya.

"Fans lo gangguin tidur gue."

"Haha. Fans? Ada-ada aja, lo."

"Serah lo, deh! Tuh, fans lo datang. Sambut, gih. Kasih tanda tangan," tunjuknya pada dua perawat yang tadi ada di ruangan istirahat dokter.

Safar tersenyum, ia tidak pernah menanggapi serius ocehan Aksara. Perawat itu menyapa dengan sedikit malu-malu karena ketahuan oleh Aksara mereka tengah memuji Safar.

"Dokter Safar, Dokter Aksa."

Aksata jutek dan hanya berdehem. Dia masih kesal soal tadi.

"Lo mau pulang nggak?" tanya Aksa.

"Pulang, tapi bentar lagi."

"Gue balik duluan." Safar berdehem, masing- masing memegang kunci rumah. Ya, karena hanya mereka berdua yang tinggal di sana.

Aksara berjalan menuju tempat parkir. Ia mencari keberadaan mobilnya. Petugas parkir langsung berlari kecil ke arah Aksa.

"Dok, ini kunci mobil Dokter. Tadi petugas doorsmeernya telepon-telepon tapi nggak diangkat."

"Oh, ya. Tadi saya lagi ada operasi, Pak. Makasih," ucapnya setelah menerima kunci mobil. Aksara langsung menancap gas untuk segera tiba di rumah.

Memarkirkan mobil asal di halaman rumah yang cukup luas tanpa pagar. Bangunan minimalis ini tidak tingkat dan hanya melebar dilengkapi halaman depan belakang.

Aksara langsung menuju kamar mandi. Meletakkan kunci mobil di tempat biasanya, hiasan untuk gantungan kunci tertempel di dinding.

Ya, itu semua Safar yang mengatur. Mereka berdua membagi tugas untuk mengurus rumah. Itu syarat yang diberikan Safar saat Aksara merengek meminta tinggal di rumahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!