Aksa Galau

Aksara mandi dengan kegirangan. Tubuhnya yang atletis terguyur air dari shower, ia menarik napas lega.

"Ah, segarnya. Sungguh ini yang dinamakan kenikmatan yang hakiki."

Dia mengusap kepala dengan sampo, di kamar mereka masing-masing memiliki kamar mandi. Jadi, tidak saling sikut untuk membersihkan diri.

Safar pulang dan melihat mobil Aksa yang terparkir melintang. Ia jadi sulit untuk masuk. Dia keluar, dan mencari keberadaan Aksara.

"Dia pasti lagi mandi. Tuh anak emang kebiasaan, parkir sembarangan."

Safar melangkah masuk ke rumah, ia mengambil kunci mobil Aksa yang tergantung dan memarkirkannya dengan rapi.

"Astaga!" ucap Aksa kaget saat Safar berada tepat di depan wajahnya. Tatapannya mengerikan.

"Apa sih? Kok lihat gue kagak gitu," protesnya yang bergerak ketakutan. Aksa sudah mengenakan kaos dalam dan celana kolor.

"Berapa kali harus gue bilang, parkir yang bener!"

"Alah, itu kan tugas lo."

Bukannya merasa bersalah, dengan entengnya dia menyeduh teh. Safar yang kesal menyerobot gelas Aksara.

"Minuman gue!" teriaknya yang langsung ditenggak habis oleh Safar. Dia merasa bodoh amat mau lidahnya kepanasan atau gimana terserah yang penting pelampiasan dulu.

"Nyebelin banget sih, lo!" umpat Aksara. Dia mengambil satu gelas lagi, mengulang kegiatan yang tadi.

"Rasain. Emang enak!" Safar berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Aksara yang usil mematikan listrik dari saklar.

Kepala Safar yang masih penuh dengan sabun dan mata yang terpejam mencoba mengintip keadaan sekitar. Ia buka tutup kran, tapi tak setetes pun air keluar dari showernya.

"Aksa ...! Sialan lo. Hidupin listriknya!" teriak Safar. Si empunya ulah justru tertawa cekikikan. Safar mengambil bathrobe dan langsung keluar dari bilik.

Dia melangkah menuju meteran listrik yang ada di luar. Benar, memang Aksa tengah bersandar dengan menyilangkan kaki.

Aksa menggeser tombol on saat Safar berdiri di dekatnya. Sebelah tangannya berada di salah satu kantong celana kolornya.

"Rese' lo!" umpat Safar.

Aksa berlalu begitu saja. Ia seolah cuek dan melangkah menyisakan angin saat melintas dan wangi cologne yang ia gunakan tertinggal di indera penciuman Safar.

"Gue mau tidur. Jangan ganggu gue," katanya saat sudah berada di dalam rumah.

Bersyukur Safar masih punya banyak stok kesabaran menghadapi sikap Aksa yang kadang kekanakan.

"Tadi gue lihat Keisha di rumah sakit," ucap Safar sebelum Aksa masuk ke kamarnya.

"Hem."

"Lo masih lanjut sama dia?"

"Hem," ucapnya lagi sembari menaikkan kedua alis, dia malas menanggapi obrolan soal Keisha.

"Kalau nggak cinta dilepas aja. Tegas."

"Pengennya, tapi lo tahu Keisha gimana."

"Nggak tahu gue. Lo yang punya cewek," ucap Safar yang kemudian berjalan ke kamarnya meninggalkan Aksa yang masih menggantung tangannya di knop pintu.

"Jadi Kakak nggak guna banget, woi. Tua di umur doang!"

"Gue kebelet, Sa. Lo mau cium taik gue?" jerit Safar dari balik pintu kamarnya. Dia memang tengah sakit perut sepertinya.

Beberapa jam kemudian, Safar yang masih sibuk dengan laptop dalam pangkuan terlihat menoleh ke arah kamar Aksa yang pintunya berderit.

Aksa keluar sambil mengucek-ucek matanya. Dia berjalan menuju dapur tepat di belakang ruang tamu tempat Safar duduk sekarang.

"Belum tidur?" tanya Safar yang masih fokus melihat beberapa pekerjaannya di layar.

"Kebangun gue."

"Mimpi buruk?" tanya Safar lagi yang sebentar melihat ke arah Aksa yang duduk di sampingnya.

"Kepikiran omongan lo."

"Omongan gue yang mana?"

"Kak, gimana cara mutusin Keisha. Gue nggak mau dia doang yang cinta sama gue. Kesannya gue jahat nggak bales cintanya dia."

"Otak gue lagi lemot ini. Besok pagi aja gue kasih jawaban."

"Janji lo, ya?" Safar berdehem, matanya masih tertuju pada data pasien. Aksa kembali merebahkan diri di kasur empuknya, memang tubuhnya cukup letih hari ini.

Pagi, Safar mendengar kumandang azan. Dia tertidur di depan sofa masih dengan posisi semalam. Safar langsung menuju kamar mandi.

Meregangkan otot leher yang kaku karena posisi tidur yang kurang nyaman. Dia membersihkan dan melaksanakan kewajibannya.

Dua rakaat Subuh sudah ia lakukan, sekarang Safar memilih joging di sekitar rumah. Udara sejuk pagi hari memang selalu menjernihkan pikiran.

Kurang lebih satu jam dia berlari, ia bertemu Bintang yang baru saja pulang berbelanja. Mereka hanya sekadar menyapa, Bintang tengah buru-buru karena Enggar pasti sudah menantikan belanjaannya.

"Pagi Dokter Safar," sapa Bintang ramah.

"Pagi." Sudah hanya sebatas itu. Safar kembali melihat punggung Bintang yang kecil itu. Dia seperti tidak percaya kalau yang baru dilihatnya adalah Bintang.

"Itu tadi, Bintang? Kok dia lewat sini? Apa memang aku aja yang nggak sadar kalau dia setiap hari melintasi jalan ini, ya?" gumamnya sendirian lalu kembali melanjutkan dengan berjalan.

"Kak, lo udah punya solusi untuk gue?" tanya Aksa tiba-tiba.

"Lo kalau ada maunya aja panggil gue sopan, kalau nggak durhaka banget lo."

Aksara berjalan lengkap dengan sepatu sport juga hoodie warna abu. Aksa tidak menanggapi ocehan Safar, dia sudah terbiasa dengan itu.

"Serah deh. Gimana, udah ada solusi belum? Gue hari ini diminta Keisha untuk temuin dia. Pas ini timingnya."

Safara berhenti di tukang bubur pinggir jalan sekitar lingkungan rumah. Dia memesan satu mangkok untuknya sendiri.

"Kok cuma satu? Lo doang yang mau makan emangnya?" protes Aksa yang mengikutinya.

"Lo pesen sendiri, punya mulut kan?" Aksa menarik sudut bibirnya.

"Bang, satu lagi. Samain kayak punya dia." Abang tukang buburnya mengangguk paham.

"Gue sebenarnya malas ngurusin percintaan lo. Udah dari dua tahun yang lalu gue suruh lo tinggalin Keisha dan jujur sama perasaan lo, tapi lo bilangnya kasihan lah. Nggak tega, lah. Masa' baru jadian udah putus, lah. Sekarang, lo minta saran gue?"

Aksa memutar ulang memori di kepalanya. Lalu mengangguk membenarkan ucapan Safar. Ya memang begitu Aksa.

"Sekarang, saran gue lo cukup berdoa minta petunjuk sama Allah. Udah sesimple itu, Allah bakalan tunjukkin jalannya."

Dua mangkok bubur pesanan mereka datang. Safar tidak begitu suka kacang, jadi dia tadi bilang sama abangnya untuk nggak pake itu. Sedangkan Aksa, sangat suka umbi-umbian yang satu itu.

"Bang, kok nggak ada kacangnya?"

"Tadi Masnya bilang samain, punya Mas yang itu nggak pake kacang." Aksa hanya bisa menghela napas.

"Gue payah ngomong sama lo kalau udah bawa-bawa Tuhan. Berasa ngomong sama ustadz gue."

Safar menarik bibir ke dalam, lalu menyuapkan bubur ayam yang sudah menggugah nafsu makannya.

"Bang, di sekitar sini ada pasar, ya?" tanya Safar pada abang tukang bubur.

"Ada, Mas. Di sana," tunjuknya ke arah selatan. "Kalau pedagang kayak saya, biasanya memang belanja di sana. Harganya lebih murah dibanding yang di pojokan depan."

"Lo nggak tahu di sini ada pasar?" tanya Aksa yang keheranan. Mereka tinggal bersama dan di lingkungan itu dengan waktu yang sama sejak beberapa tahun lalu.

"Nggak tahu gue. Lo emang tahu?"

"Tahu. Dua tahun hidup di lingkungan ini, masa' lo nggak paham."

"Ck! Mana gue peduli soal begitu. Pantes aja Bintang tadi lewat sini."

"Bintang?"

Terpopuler

Comments

Efvi Ulyaniek

Efvi Ulyaniek

bintang tetangga annsama Aksa berarti Aksa kenal donk harusnya sama ibu bintang

2023-11-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!