"Ya, emang gue lagi gila. Tepatnya tergila-gila sama seseorang." Bintang senyum-senyum nggak jelas. Kepalanya ditoyor sama Heni.
"Serah lo deh, ya. Bantu Bu Enggar sono."
"Ya, ya. Bawel," ucap Bintang yang masih mengalungkan handuk di lehernya. Lalu melangkah ke kamarnya.
Ditempat lain, Aksara tengah sibuk dengan dunia kedokteran dan pasien-pasiennya. Memang, memilikki wajah tampan seperti aktor membuatnya jadi dokter idola.
Buktinya, sekarang dia tengah kena rayuan maut dari salah satu pasiennya yang sudah berumur sekitar lima puluhan.
"Ibu Maimunah, udah makan?" tanyanya saat memeriksa pasien wanita yang sudah beruban itu.
"Udah, Dok."
"Dokter udah makan?"
"Belum, Bu. Saya kan masih harus periksa pasien dulu."
"Makan dong, Dok. Biar dokter kuat. Kuat menjalani kehidupan rumah tangga bareng saya," godanya yang membuat Aksara tersenyum ramah tapi dipaksakan. Sedangkan suster yang di sampingnya tersenyum geli.
Aksara mendelik dari balik kacamatanya. Ya, saat bekerja Aksara mengenakan benda itu. Meski matanya minus hanya nol koma sekian.
"Sus, berikan domperidone sama obat tensi, ya. Ibunya ada mual kalau dari yang saya periksa."
"Baik, Dok."
Aksara melanjutkan mengunjungi pasien. Ia berpapasan dengan Dokter Safar. Mereka seperti orang tidak kenal. Padahal, keduanya tinggal satu rumah.
Entah apa alasan Aksara lebih memilih tinggal bersama Safar. Rumahnya besar dan dilengkapi dengan fasilitas yang serba tersedia.
"Masih ada lagi pasien yang harus saya kunjungi?" Perawat itu mengecek semua data pasien.
"Sepertinya sudah semua, Dok."
"Oke, kalau begitu saya bisa makan siang dulu."
"Ya, Dok. Tapi, Dok."
"Ya?"
"Makan siang untuk para staf lagi nggak datang hari ini. Ada insiden kecil katanya."
Aksara mengangguk paham, dia kembali ke ruangannya. Menggantung jas dokternya lalu bersandar di kursi kebanggannya.
Bermain games online tanpa peduli apa yang terjadi. Entah itu perut keroncongan atau kepala pusing, dia tetap main game favoritnya.
Tertera di layar Safar meneleponnya. Ia biarkan saja hingga beberapa kali. Panggilan telepon itu mengganggu kesenangannya.
Ceklek.
"Ayo makan siang," ajak Safar. Aksara bangkit, tapi mata dan tangan fokus di ponsel.
"Sa, lo bisa kesandung. Lihat jalan."
"Percuma ada lo!" Mulutnya enteng sekali berbicara. Udah kayak kereta api, nggak ada penghalangnya. Kalau ada yang ngalangi, tabrak.
"Enak bener hidup lo. Gue yang lebih tua, msa' ya gue yang jadi pesuruh lo." Safar hanya kejam di mulut saat bersama Aksara. Selebihnya dia selalu bertutur kata lembut kepada siapapun.
"Tugasnya yang lebih tua apa? Ngelindungin dan menyayangi yang lebih mudah, kan? Ya udah, itu tugas loh."
Safar malas berdebat sama bocah. Dia selalu menganggap Aksara anak remaja yang nakal padahal usia sudah lebih dari 25 tahun.
"Mau makan apa?" tanya Safar saat sudah berada di dalam mobil.
"Terserah. Kan lo yang ngajak."
"Oke. Tapi, lo nggak boleh protes. Deal?" Dia berdehem dan masih sibuk menatap ponselnya. Jemarinya terus bergeraka di sana.
"Merusak mata, Sa." Aksara menghentikan aktivitasnya dan menyimpan ponsel di dalam saku kemeja berwarna maroon.
Safar berhenti di rumah makan milik Bintang. Dia juga nggak tahu kalau rumah makan itu milik gadis yang ia jamin juga.
"Makan di sini aja, ya." Aksara memperhatikan rumah makan yang lumayan besar juga rapi. Sistem pengambilan makanan dilakukan oleh masing-masing pelanggan. Setelah cukup baru dihitung harganya.
"Lo yakin mau makan di sini?" tanya Aksara yang tampak tidak yakin dengan makanan di sana.
"Lo punya masalah sama makanan, kan?"
Aksara berdehem, lalu tanpa pikir panjang Safar langsung membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
"Makanan di sini jamin sesuai sama selera lo."
"Nggak yakin gue."
Safar meninggalkan Aksara dan membiarkannha untuk memilih ikut atau tinggal kelaparan di dalam. Memang bukan hal yang baru bagi Aksara kelaparan. Dia sudah terlalu terbiasa untuk hal itu.
"Anda?" kata Bintang mengawali pertemuan kedua mereka. Dia langsung mendekat ke arah Safar.
"Please, jangan bahas soal kejadian tadi pagi, ya Dok. Ibu saya nggak tahu soal itu," bisiknya yang membuat Safar tersenyum mengerti.
"Boleh saya makan di sini?"
"Oh, ya. Silakan, Dok." Bintang memberikan nasi juga piring pada Safar. Safar mulai memilih lauk.
"Lo?!" tunjuk Bintang saat Aksara masuk. Mereka saling terkejut.
"Lo ngapain?" tanya Bintang yang kemudian berjalan ke arah Aksara.
"Ya, lo yang ngapain. Mobil gue masih di carwash gara-gara lo."
"Salah lo sendiri!" ucap Bintang yang membuang wajah dan melipat tangan di depan dada.
"Gue bilangin nyokap lo, ya!" ancam Aksara yang sudah membuka mulutnya bersiap memanggil. Bintang langsung menutup mulut pria iti dengan kedua tangan dan membawanya keluar.
"Lo rese' banget, sih!"
"Lo yang mulai."
"Lo!"
"Lo!"
Keduanya terus aja bertengkar dan tidak ada yang mau mengalah.
"Bukannya sudah saya bilang, lebih baik berpacaran daripada bertengkar," katanya santai tanpa beban dan berlalu masuk ke rumah makan Bintang.
Aksara juga Bintang cengo, heran Subandi ada di mana. Mana merasa tanpa berdosa masuk ke pembicaraan keduanya.
Bintang masuk meninggalkan Aksara. Rambutnya sengaja ia kibaskan hingga mengenai wajah Aksara.
"Sialan, lo!" umpatnya kesal seraya menyapu wajahnya yang sakit.
"Lo kenapa?" ucapnya pura-pura peduli padahal, dia penyebabnya.
"Rambut lo! Sengaja banget, sih!" gerutunya yang kemudian melewati Bintang dengan menabrak bahunya. Gadis manis itu tersungkur ke depan.
Beruntunh Safar sigap dan menahan tubuhnya dengan punggung. Dia tidak mau dibilang kurang ajar karena menangkap Bintang dengan dadanya.
"Aksa, dewasa sedikit."
"Lo belain dia terus, sih," protes Aksara yang memang beberapa kali ia terkesan membela Bintang. Padahal, Safar berusaha mengingatkan Aksara.
"Makanya dewasa dikit."
"Ogah. Jadi dewasa itu nggak enak. Buktinya lo!" ucapnya yang kemudian mengambil piring yang disodorkan Heni padanya.
Safar hanya menggeleng heran bukan kepalang. Dia sudah nggak sakit hati lagi sama sikap Aksara yang semena-mena.
"Anda sama dia sebaya, Dok?" tanya Bintang yang bingung sama sikap Aksara.
"Menurut kamu?"
Mendengar sapaan lembut dari Safar, sungguh hati Bintang berbunga-bunga. Safar menjentikkan jari di depan wajah Bintang.
"Kok melamun?"
"Hehe. Maaf, Dok. Menurut gue kayaknya Anda lebih tua."
"Emang kelihatan, ya?" tanyanya memastikan. Dahinya sampai berlipat mencoba mencari jawaban dari Bintang.
"Hehe, nggak gitu, Dok."
"Tang, sini bantuin gue. Lo kok malah senyam-senyum di situ, sih. Ini lagi rame," panggil Heni yang merusak suasana hatinya. Ia menghentakkam kakinya sebal.
"Anda udah selesai makan, Dok?"
"Sudah." Suara azan berkumandang, Safar beranjak pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumah makan bintang.
"Tolong bilang sama Aksa tunggu di sini, ya. Saya mau salat dulu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments