Dulu, ketika Kakek dari mendiang suami Nenek Diah masih hidup, beliau dikenal sebagai seorang dukun sakti mandaraguna. Laki-laki paruh baya yang biasa disapa dengan panggilan Mbah Emis itu memiliki campuran darah Bugis dan juga Sunda.
Pada waktu itu, daerah yang ditinggali Anin ini sedang kesulitan dengan adanya sebuah pohon besar tinggi menjulang yang tidak bisa ditebang, padahal para warga berniat untuk membangun sebuah bangunan yang akan dijadikan balai desa.
Sudah berpuluh-puluh kali mereka berupaya, mencoba mengayunkan kapak dan juga perkakas tajam lainnya secara bergantian, namun ternyata semua benda-benda tersebut tidaklah mampu membuat permukaan kulit dari pohon besar tersebut lecet sedikitpun.
Mulanya, mereka mengira kemungkinan salah satu penyebabnya adalah pohon besar tersebut memiliki akar yang sangat kuat. Namun, mereka akhirnya menyadari alasan lain mengapa pohon besar itu sangat sulit untuk ditebang. Para warga percaya, bahwa pohon besar bernama pohon kepuh itu rupanya memiliki kekuatan mintis yang begitu kuat, sebab setiap orang yang maju untuk menawarkan diri membantu dalam penumbangan pohon, mereka malah kesurupan. Ada pula yang sampai jatuh sakit, bahkan meninggal dunia secara tragis.
Hingga akhirnya, para warga meminta pertolongan kepada Orang Pintar yakni Mbah Emis yang saat itu datang ke kampung tersebut setelah lama merantau ke seberang pulau guna memperkuat ilmu perdukunannya, tanpa menunggu lama Mbah Emis pun menyanggupi permintaan para warga. Dan dalam waktu singkat, Mbah Emis yang terkenal sakti itu berhasil menumbangkan pohon kepuh tersebut dengan menggunakan kesaktiannya.
(Ilustrasi gambar pohon kepuh. Sumber, google)
Keberhasilan Mbah Emis tersebut tentu disambut gembira oleh para warga.
"Terima kasih banyak, Mbah. Kami akan mengingat kebaikanmu!" kata para warga.
Namun sayang seribu sayang, di balik kesuksesannya itu, Mbah Emis harus melakukan perjanjian khusus dengan makhluk halus penunggu pohon kepuh tersebut.
Anin duduk tenang di samping neneknya, seraya mendengarkan cerita dari seorang dukun pria berusia 50-an tahun yang dibawa oleh pamannya sendiri.
"Menurut penerawangan saya, sosok penunggu pohon kepuh yang ditebang waktu itu adalah Genderuwo. Dia bersedia untuk pindah dan mengizinkan Mbah Emis menebang tempat tinggalnya tersebut, dengan syarat ... harus ada keturunan dari Mbah Emis yang merawat sosok tersebut, dalam artian dijadikan pengikutnya," tutur sang dukun dengan ekspresi yang begitu serius.
"Sebentar, Pak!" kata Anin seraya membenarkan tempat duduknya menjadi lebih maju, "Jadi, sosok yang sering datang ke mimpi saya itu adalah Genderuwo yang waktu itu membuat perjanjian dengan Mbahku?"
Sang dukun pun mengangguk pelan, kemudian berkata, "Selama ini dia selalu ada di sekitarmu, Mbak Anin. Nemenin masa kecil kamu sekaligus nunggu kamu hingga dewasa dan siap," tutur dukun itu lagi yang membuat Anin semakin tidak mengerti.
"Siap? Siap untuk apa?" batin Anin.
"Kamu harus secepatnya diobati, Neng. Biar gangguan yang kamu hadapi selama ini benar-benar hilang," kata paman Anin menimpali.
Anin terlihat menghela napas, ia tidak ingin percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan paman dan juga dukun di hadapannya ini. Dari penampilannya, laki-laki bertubuh gemuk dengan pakaian batik yang nampak sudah usang tak terawat itu memang terasa sekali kesan mistisnya bagi Anin. Namun entah kenapa Anin merasa hal ini tidak bisa ia sepakati begitu saja.
"Neng, jangan melamun! Mikirin apa?" tanya Nenek Diah.
"Maaf, aku pamit bicara berdua dulu sama Nenek," ucap Anin kepada kedua pria paruh baya di hadapannya. Setelah mendapat izin, Anin segera membawa Nenek Diah menjauh dari ruang tamu menuju dapur.
Paman Anin hanya bisa tersenyum kecil saja melihat sikap kehati-hatian dari ponakannya.
"Nek, aku gak mau kalau harus diobati dengan cara aneh-aneh lagi kayak dulu waktu aku SMA. Nenek sendiri yang bilang kalau berurusan sama dukun itu musyrik, kan?"
Nenek Diah tersenyum lembut mendengar perkataan dari sang cucu, dengan perlahan ia pun berkata, "Iya, Nenek tahu. Allah adalah sebaik-baiknya penolong bagi hamba-Nya yang kesulitan, kita juga percaya bahwa Allah jugalah yang menciptakan Jin dan Manusia, langit dan bumi beserta isinya. Jadi, hal-hal yang berkaitan dengan dunia ghaib itu pastilah ada, dan kita hanya bisa berusaha untuk menghadapinya. Nenek gak mau kamu kenapa-napa, Neng!"
Mendengar perkataan neneknya, Anin sempat tak tega melihat raut kecemasan yang tercetak jelas di wajah yang sudah dipenuhi dengan keriput itu. Akan tetapi, Anin tetap kukuh dengan pendiriannya.
"Kalau Nenek ingin aku segera menikah, pastinya aku akan berusaha kabulkan, tapi aku gak mau kalau harus disuruh mandi kembang lah, bikin sesajen aneh dan sebagainya. Anin gak mau!" tolak Anin dengan tegas.
"Kamu salah paham, Neng. Nenek juga gak mau ngelakuin ritual-ritul aneh lagi sama kamu, Nenek ngizinin pamanmu ke sini bawa dukun itu karena mau tahu aja, solusi yang dulu pernah kakekmu sampaikan benar atau tidak. Ternyata ucapan keduanya sama persis," ujar Nenek Diah menjelaskan.
"Jadi, Nenek udah tahu?"
Nenek Diah mengangguk, "Kakek pernah bilang, kalau calon suamimu itu yang memang akan mematahkan kutukan yang kamu tanggung, dan dia akan datang di saat usia kamu sudah memasuki angka 27 tahun," Nenek Diah menatap Anin lekat-lekat, "tapi Nenek baru tahu kalau laki-laki tersebut harus berasal dari keturunan berdarah biru, sedang kita ini hanya orang biasa, Neng! Kamu pasti capek, ya, dimimpiin makhluk itu terus."
"Udah, Nenek yang tenang, ya. Aku akan baik-baik aja, hem!" Anin mengusap kedua bahu neneknya, berharap hati sang nenek bisa jauh lebih tenang. Sebab raut kekhawatiran itu begitu kentara di wajah Nenek Diah yang sedikit menunduk.
Selesai bicara berdua dengan neneknya, Anin dan Nenek Diah pun kembali ke ruang tamu.
"Anin, Ibu. Benda-benda ini tolong diterima! Semuanya udah diisi mantra-mantra yang bisa melindungi Anin," ujar sang paman mengangsurkan beberapa benda kecil ke hadapan Anin di atas meja berbahan kaca. Ada cincin akik berwarna kehijau-hijauan, potongan kain berwarna putih yang sudah diikat menyerupai boneka, ada juga sebuah kantong plastik yang biasa digunakan untuk obat jenis pil yang isinya entah apa, Anin tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Melihat hal itu, Nenek Diah pun segera angkat bicara, "Nggak usah, Faisal. Anin gak butuh ini semua! Ibu percaya ... Gusti Allah akan selalu mejaga dan melindungi Anin. Terima kasih, udah datang jauh-jauh ke sini dan kasih informasi penting tadi. Itu udah cukup buat kami."
Paman Anin yang bernama Faisal itu nampak kurang senang dengan penolakan yang dilakukan ibunya, ia terdengar menghela napas kasar dan melirik Anin dengan tatapan yang kurang bersahabat.
"Nggak apa-apa, Nek Diah. Tapi, perlu kalian ketahui, bahwa pohon kepuh yang dulu ditebang oleh Mbah Emis itu ... tidak benar-benar tumbang, pohon itu sebetulnya sampai sekarang masih ada, tapi sudah tidak lagi tumbuh sebagaimana mestinya," ujar sang dukun membuat Nenek Diah, Pak Faisal dan juga Anin terkejut.
"Maksudnya ...."
Belum sempat Anin menyelesaikan pembicaraannya, dari luar sana, Mela datang dan turun dari motornya kemudian mendekati pintu rumah Anin dengan sangat tergesa. Wajahya nampak begitu tegang dan juga diliputi kecemasan.
Dengan napas yang masih terengah, Mela langsung membuka pintu lalu berkata, "Maaf mengganggu, itu .... itu ...!"
"Ada apa, Mel? Pelan-pelan aja ngomongnya!" kata Anin seraya menghampiri sahabatnya yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ayo kembali ke kantor, Nin. Itu ... orang-orang ...."
"Orang-orang kenapa, sih? Kamu tenang dulu, tarik napas ... tar-"
"Orang-orang di kantor pada kesurupan, Nin! Kita harus cari pertolongan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
KANG SALMAN
wuuaaah...kebelutan...eh...kebetulan ini.SI MALIK ALHASAN DATEEEENG....🤭🤭🤭
2023-10-27
1
KANG SALMAN
alhamdulillah neng...tepat.
allah adalah sebaik baik penolong.
insya allah....mulai hari ini akan jadi lebih baik.
2023-10-27
1
KANG SALMAN
wuaaaah....serrreeem.....
pohon kepuh ya....🤔🤔🤔
biasanya iya sih
2023-10-27
1