Bab 02 - Mata Batin

Rumah yang ditinggali Anin ini sebetulnya hanya diisi oleh dua orang saja, yakni dirinya dan juga sang nenek yang usianya sudah menginjak angka hampir 70-an tahun. Tapi, percayalah! Meski usia Nenek Diah sudah memasuki tutup usia, maksudnya lanjut usia, akan tetapi kondisi kesehatan Nenek Diah masih tetap bugar dan sehat.

Anindya Widura, gadis berusia 27 tahun itu memang sudah ditinggalkan ayah dan ibunya sejak ia berusia 10 tahun.

Sejak saat itu, Anin dirawat dan dibesarkan oleh Nenek Diah, ibu dari sang ayah. Anin adalah putri satu-satunya, dulu sebenarnya ia pernah hampir memiliki adik, namun ternyata Tuhan berkata lain, sebab bayi yang saat itu masih di dalam kandungan sang ibu, meninggal setelah mamanya Anin jatuh terpeleset di depan kamar mandi.

Anin sendiri berprofesi sebagai sekretaris desa di daerah yang ia tinggali, berkat kecerdasan yang ia miliki, gadis pemilik rambut panjang sepinggang itu berhasil lulus dan menyandang sarjana administrasi publik dengan beasiswa penuh di salah satu fakultas di Jakarta.

Kalau gambaran hidup Anin terkesan kesepian dan tidak memiliki teman, tentu itu salah besar. Selain Mela yang selalu setia mengganggu ketenangannya setiap hari, para makhluk tak kasat mata pun turut menemani keseharian Anin.

Sosok cungkring bertangan panjang yang selalu mengagetkan Anin di kamar mandi, pocong yang ada di samping kulkas di dapur Anin, ada juga kuntilanak penunggu pohon nangka yang berada di dekat rumah kosong yang sering Anin lewati ketika hendak berangkat bekerja. Termasuk hantu remaja bermata merah, berjenis kelamin laki-laki yang selalu memperhatikan Anin dari kejauhan.

Sebetulnya, dulu Anin sempat dibawa ke orang-orang yang mengerti akan hal-hal ghaib seperti itu guna menutup mata batin Anin agar tak lagi bisa melihat makhluk-makhluk astral, mulai dari ustadz dekat rumah nenek Anin, Pak Ustadz guru ngaji Anin, sampai orang pintar kenalan pamannya. Semua usaha sudah orang tua Anin coba, namun nyatanya semua usaha yang dilakukan tersebut tidak membuahkan hasil.

"Udah, gak apa-apa. Mungkin ini sudah takdir putrimu, yang penting mereka gak mengganggunya, Bang," jelas paman Anin pada mendiang ayah Anin saat itu.

Ya, kala itu gangguan yang didapatkan Anin hanya sebatas dinampakkan wujud saja setelah gadis itu didatangi mimpi berulang tersebut. Namun ini adalah pertama kalinya bagi Anin mengalami hal yang benar-benar diluar nalar. Ada yang mengatakan 'jika di bagian tubuhmu ada lebam kebiru-biruan tanpa sebab, itu artinya ada makhluk halus yang menyentuhmu'.

Apakah ini juga yang dialami oleh Anin? Tapi ..., bukankah itu hanya di mimpi saja? Atau mungkinkah sebenarnya yang Anin kira mimpi belaka itu adalah kenyataan?

...*...

...*...

Anin kini sudah selesai bersiap, lalu menghampiri neneknya yang sedang berada di dapur. Sedangkan Mela sudah menunggu Anin di depan rumah, tepatnya di atas motor miliknya. Sepertinya gadis berambut bondol itu sudah mulai hilang kesabaran karena terlalu lama menunggu sahabatnya.

"Nek! Nenek! Anin mau salim, mau berangkat kerja sekarang!" seru Anin mencari neneknya. Biasanya ini adalah jam-jamnya Nenek Diah berada di dapur, memasak air menggunakan kompor jaman dulu dengan bahan bakar kayu. Meski sebetulnya Anin sudah menyediakan kompor gas agar memudahkan sang nenek, namun Nenek Diah menolak dengan alasan 'tidak nyaman'.

Saat Anin fokus mencari keberadaan neneknya, ia dikejutkan dengan benda jatuh dari samping kulkas di belakangnya.

Bruk!

Pikir Anin, itu pasti ulah Mamang Pocong yang selalu setia berdiri di sana. Namun setelah Anin menengok ke belakang ternyata di sana sudah ada Nenek Diah yang baru keluar dari sebuah ruangan kecil yang berada di pojok kanan dapur. Ruangan itu ialah tempat di mana sang nenek menyimpan hasil panen padi. Itu kata Nenek Diah, lantaran Anin dilarang memasuki ruangan tersebut. Jadi Anin percaya saja.

"Berangkat sekarang, Neng?" tanya Nenek Diah dengan lembut pada cucunya, ia berjalan agak membungkuk dengan baskom berisi beras di tangannya mendekat ke arah Anin.

"Iya, aku kesiangan, Nek," sahut Anin seraya mengulurkan tangan kanannya untuk salim yang kemudian disambut oleh sang nenek.

"Gak sarapan dulu? Nenek udah buatkan telor ceplok kesukaan kamu, Neng." Tangan Nenek Diah menunjuk ke arah meja makan di belakang Anin, di mana ada beberapa makanan yang ditutup tudung saji di atasnya.

"Nanti aja, ya, Nek. Istirahat siang nanti aku pulang ke rumah," kata Anin menolak dengan halus. Sesekali ia melihat ke arah belakang sang nenek, di mana si Pocong tengah manggut-manggut tanpa sekalipun mau mengangkat wajahnya. Entahlah, Anin tidak mengerti mengapa demikian. Mungkin sebelum meninggal Pocong tersebut memiliki sifat introvert, sehingga terbiasa menunduk dan jadilah malu-malu pocong.

Baru saja Anin hendak undur diri dari hadapan sang nenek, akan tetapi Anin teringat kembali dengan lebam kebiru-biruan di bahunya setelah ia bermimpi buruk itu lagi tadi malam, haruskah Anin menceritakannya pada Nenek Diah?

Namun, di saat Anin menimbang-nimbang keputusannya, tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan pertanyaan sang nenek.

"Neng, dia datang lagi, ya? Sekarang udah mulai ganggu, ya?" kata Nenek Diah dengan suara yang teramat pelan dan tertata.

Sontak saja Anin terkejut mendengar penuturan neneknya, padahal Anin saja belum memberitahukannya pada siapa pun, termasuk neneknya. Lalu, dari mana Nenek Diah mengetahuinya?

Melihat gurat keheranan dari sang cucu, Nenek Diah pun kembali bersuara, "Udah, kamu jalan sana! Nanti sepulang dari kelurahan, ikut Nenek mengunjungi rumah pamanmu, ya. Udah lama kita gak ke sana, kan."

Meskipun masih diliputi perasaan heran sekaligus penasaran, namun Anin memilih untuk mengiyakan kemudian berangkat kerja bersama sahabatnya, Mela.

"Lha, kok sepi, Mel. Bukannya hari ini kita ada acara pelantikan kades baru?" Anin mengatakan itu setelah ia memberhentikan motor matic serta helm yang ia lepas kemudian disimpan di atas kaca sepion motor miliknya ketika sudah sampai di depan gedung kelurahan tempatnya bekerja. Waktu yang Anin tempuh hanya memakan kurang lebih 15 menit saja dari rumahnya.

Begitupun dengan Mela, gadis itu melakukan hal yang sama. Namun, Mela tampak santai mendengar penuturan Anin, seolah sudah tahu dengan apa yang telah terjadi.

"Udah kelar kali, Nin. Noh lihat, kita udah datengnya telat, gak ikut acara terpenting pula. Semua gara-gara lo yang tidurnya udah kayak orang pingsan!" gerutu Mela memuntahkan kekesalannya. Satu tangannya menunjuk-nunjuk jam yang melingkar di tangan kirinya.

Anin tak terima disalahkan, ia memberengut kesal. "Lho, kok gue sih disalahin. Ini semua tuh gara-gara lo, Mel! Coba aja kalau tadi malam lo gak ngajak gue begadang buat main aplikasi kencan online sampe tengah malam, gue pasti bangunnya gak kesiangan, mana lo minta dianterin pulang jam 1 malam pula, udah ngajak sesat, nyusahin lagi!" cerocos Anin.

Jarak rumah Anin dan Mela memang tidak begitu jauh, mereka masih dalam satu kelurahan yang sama, namun sahabatnya itu pastinya ketakutan jika harus pulang seorang diri.

Mela turun dari motor, kemudian mendekat ke arah Anin. Sepertinya Anin minta diingatkan kembali apa yang terjadi tadi malam.

"Eh, Anindya Widura anaknya Bapak Mahmudin!"

"Muhidin," potong Anin mengoreksi kesalahan Mela menyebut nama mendiang ayahnya.

"Iya itu pokoknya!" Mela mengibaskan tangannya, "kan yang berbalas chat di aplikasi kencan online itu lo, Nin. Gue sih bagian supporter aja. Lihat temen gue seneng ya gue ikut seneng lha!"

"Enak aja, yang balas kan jari-jari nakal lo, Mel. Bukan gue!" sanggah Anin.

"Kan sesuai arahan dari lo, Markonah!"

"Yeee dasar, Maemunah!" sahut Anin tetap tak mau kalah, "lagian nagapain sih lo ngenalin gue ke om-om mesum kayak dia, udah tahu dari namanya aja keliahatan banget ganjennya. 'Dezahan Bang PN', apaan coba?" ujar Anin mengeja pemiliki akun yang akhir-akhir ini sering mengirimnya pesan chat berisi hal-hal yang berbau vulgar.

Ya, itulah hasil pencarian Mela di aplikasi kencan online waktu itu. Kata Mela, akun itulah yang ketikannya paling tampan di antara yang lainnya.

"Mesum-mesum begitu yang penting ketikannya ganteng, kan, Nin."

"Terserah lo deh, Mel. Yang pasti gue gak mau ya sampe tuh orang minta ketemuan secara langsung. Males banget!" Anin memutar bala matanya pertanda ia benar-benar serius dengan perkataannya, "udah, ayo masuk! Malu noh dilihatin Mbak-Mbak Kunti di atas pohon belakang lo!"

"Eh, syaiton!" Mela berteriak seraya lari terbirit-birit memasuki gedung kelurahan, meninggalkan Anin yang tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan sahabatnya itu.

Terpopuler

Comments

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

wkwkwk🤣🤣🤣 eneng too, pocong 🙈🙈🙈

2023-10-26

0

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

ini lah gak enak, banyak kawan tapi makhluk astral🤦‍♀️

2023-10-26

0

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

wkwkwk🤣🤣🤣🤣 tutup usia, sungguh terlalu 🤦‍♀️🙄

2023-10-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!