Bab 03 - Kutukan

"Santai aja udah, Mel. Gue yakin kita datang di waktu yang tepat, gak mungkin acaranya udah selesai, orang gue yang atur semuanya," tutur Anin menyelaraskan langkahnya dengan Mela yang tergesa di lorong menuju ruangan kerja keduanya.

Sebagai seorang Sekretaris Desa atau Carik, tentu tugas Anin bukan hanya menyangkut perihal administrasi surat-menyurat saja, melainkan melaksanakan urusan ketatausahaan seperti tata naskah, arsip, dan ekspedisi. Melaksanakan urusan umum seperti penataan administrasi perangkat desa, penyediaan prasarana perangkat desa dan kantor, penyiapan rapat, pengadministrasian aset, inventarisasi, perjalanan dinas, dan pelayanan umum.

Sementara Mela, bertugas sebagai Pengadministrasi Keuangan, atau Bendahara.

"Iyaaa, iya, Bu Sekdes," sahut Mela agak malas, ia masih kesal dengan ulah Anin yang tadi menakut-nakutinya.

Anin hanya tertawa ringan saja mendengar jawaban sahabatnya, ia sebetulnya tidak begitu fokus dengan apa yang akan dikerjakannya hari ini, sebab perkataan Nenek Diah yang akan mengajak Anin pergi mengunjungi rumah pamannya cukup mengganggu pikirannya. Mungkinkah ia akan 'diobati' seperti saat ia kecil dulu? Atau ada hal lain yang akan nenek dan pamannya lakukan? Berbagai pertanyaan terus menggaggu konsentrasi Anin. Namun begitu, Anin akan berusaha tetap tenang dan profesional.

Ia bahkan tetap melempar senyum ramah pada rekan-rekan kerjanya yang lain saat ia melewati bilik meja kerja mereka, tapi entah kenapa rasanya hawa pagi ini terasa lebih dingin seakan menusuk kulit hingga masuk melalui pori-pori. Entah ini hanya perasaan Anin saja, atau memang AC di dalam ruangan suhunya dinaikan? Karena di luar tidak hujan, bukan?

"Nin, beneran sepi lho, ini kita gak salah masuk ruangan, kan?" tanya Mela merasa heran, "dingin banget lagi!" imbuhnya seraya melipat kedua tangan di dada.

"Iya." Ah, ternyata Mela pun merasakan hal yang sama.

Anin dan Mela memberhentikan laju langkah mereka; melihat sekeliling ruangan yang memang ternyata sangat sepi, hanya ada 3 orang staff wanita dan juga Kepala Seksi Keamanan yang merupakan seorang pria dewasa kisaran usia 40-an tahun saja yang menduduki mejanya. Namun anehnya, pria itu terus melamun dengan wajah yang pucat.

"Selamat pagi, Mbak Anin, Mbak Mela!" sapa ketiga staff pada kedua perempuan yang baru datang itu.

Setelah menjawab sapaan para rekannya, Anin pun mengajukan pertanyaan, "Cuman kalian berempat aja, nih? Yang lain pada ke mana? Apa udah kumpul di aula?"

Mendengar pertanyaan Anin barusan sontak saja Mela menyikut lengan Anin, namun Anin tidak begitu menghiraukannya lantaran harus segera pergi untuk mengontrol kesiapan acara.

"Kalau tidak ada yang dikerjakan, kita langsung kumpul ke aula aja, yuk! Udah siang." Anin segera beranjak dari sana, meninggalkan orang-orang yang masih memasang wajah ketakutan dan tegang. Karena semua rekan kerja Anin ini mengetahui bahwa wanita cantik itu memiliki penglihatan yang sensitif terhadap hal-hal ghaib.

"Mbak Mel ...," rengek ketiganya berjalan mendekati Mela.

"Udah, gak usah dipikirin! Kita susul Mbak Anin aja!"

Mela dan ketiga orang itu pun segera pergi dari sana.

Wajah Mela sebetulnya tak kalah tegang dan panik, ia khawatir jika orang-orang akan terus ketakutan dan menganggap sahabatnya ini gila, seperti waktu mereka Sekolah Dasar dulu. Anin kerap kali dijauhi teman-teman sebayanya lantaran dianggap aneh dan tidak waras, sebab tak jarang Anin kecil mengobrol dan tertawa sendiri.

Untuk menuju aula, Anin dan yang lainnya harus melewati lorong panjang bercabang yang menghubungkan antara ruang kerja, kantin dan juga tempat yang akan mereka tuju. Bangunan ini memang cukup luas, di dalamnya bahkan terdapat taman kecil berisi tanaman hias dan juga pohon besar yang menembus langit-langit bangunan.

Seperti yang diduga Anin sebelumnya, hari ini memang suasana kantor memang terasa sedikit mencekam. Hantu-hantu yang biasanya diam di tempatnya, kini berkeliaran ke sana kemari. Bahkan jumlahnya jauh lebih banyak dari yang biasa Anin lihat. Tetapi anehnya, para makhluk itu tidak berani mendekati Anin, tak satu pun dari mereka yang berani mengarah pada Anin, melainkan sibuk sendiri seolah mencari tempat persembunyian baru yang mereka rasa lebih aman. Seperti sedang ketakutan karena dikejar syaiton.

"Apa sih, ni para makhluk pada heboh begini, masa ada hantu dikejar hantu?" heran Anin. Di saat ia fokus memperhatikan keadaan, Anin dikejutkan dengan bunyi ponselnya sendiri.

Dezahan Bang PN: "Selamat pagi, Cantik! Mau cium dulu nggak sebelum aku berangkat kerja? Mumpung lagi seksi-seksinya nih bibirku, udah aku pakein pelembab bibir juga."

Anin berdecak sebal setelah membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke ponselnya, laki-laki yang ia temui di aplikasi kencan online itu begitu rutinnya menyapa Anin dengan dibumbui sesuatu yang mengarah ke hal-hal 'panas'. Baru saja Anin hendak menyimpan kembali benda pipih itu ke dalam tas kerjanya, suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar.

Jari-jari lentik Anin pun dengan segera memeriksanya.

Dan betapa terkejutnya Anin saat ia melihat sebuah foto yang ternyata dikirim oleh orang yang sama. Alih-alih mengirimkan foto bibir seksi seperti yang laki-laki itu katakan, Anin malah dikirimi gambar setengah badan tanpa busana. Perut kotak-kotak dengan bulu-bulu halus milik pria dewasa terpampang di layar ponsel Anin.

Melihat dari permukaan kulit perutnya yang basah, sepertinya laki-laki itu baru selesai mandi.

"Wow, roti sobek!" seru Anin dengan mata yang masih tertuju pada gambar menggiurkan itu. Anin adalah seorang wanita dewasa dan normal, ia tentu tidak bisa berbohong dan menyembunyikan ekspresi kagumnya.

"Apa yang sobek, Nin?" Mela dan ketiga rekannya tadi sudah berada di belalang Anin, gadis berambut bondol itu memicingkan mata kala Anin buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Daster nenekku, biasalah ... udah minta dijadiin keset, nanti aku beliin yang baru," sahut Anin asal.

Mela tak menjawab, ia hanya mengangguk-ngangguk saja mendegar penjelasin Anin.

Keempat gadis kini telah berada di aula desa, tempat di mana acara pelantikan kecil-kecilan ini akan dilaksanakan. Tidak seperti pelantikan penyerahan jabatan pada umumnya yang diadakan dengan meriah dan suka cita, hasil dari pemilihan umum di antara beberapa kandidat yang biasanya diselenggarakan. Calon pimpinan mereka yang baru ini ditunjuk langsung oleh mendiang Kepala Desa sebelumnya, sebelum wafat beberapa waktu yang lalu, yang tak lain ialah ayah dari calon Kepala Desa yang sekarang.

Pihak keluarga pastinya masih berkabung, dan Anin memutuskan untuk membuat acara sesederhana mungkin.

"Semua persiapan udah selesai, kan?" tanya Anin pada rekan-rekannya yang sudah berkumpul.

"Udah, kok, Mbak. Tapi Pak Panjinya masih di perjalanan, jadi ...."

Tak sampai selesai laki-laki berusia 30-an tahun itu berbicara, Anin tiba-tiba mengangkat satu tangannya untuk meminta perhatian.

"Ada telepon, aku angkat dulu sebentar," kata Anin meminta izin. Laki-laki itu mengangguk mempersilakan.

Tak sampai 5 menit Anin berbicara dengan seseorang di seberang sana, ia segera kembali dan mendekati Mela dengan wajah panik.

"Mel, gue harus pulang sekarang, darurat."

"Lho, kan acara gak bisa dimulai kalau gak ada Lo, Nin. Yang ngasih sambutan sebelum pengambilan sumpah jabatan, siapa?"

"Gue serahin semua ke Lo, ya, Mel. Gue beneran harus pulang. Tolong sampein permintaan maaf gue ke semua, ya. Bilang aja Neneng Sekdes lagi sakit perut!"

"Gak bisa gitu, dong, Nin. Itu Pak Panjinya aja baru dateng!" Mela menunjuk seorang pria berbadan tinggi yang diikuti beberapa orang di belakangnya mengenakan seragam khusus memasuki mimbar aula.

Akan tetapi, saat Mela menoleh. Anin sudah tidak ada di sampingnya. Ya, sepetinya Anin sudah siap kena teguran dan berurusan dengan pimpinannya yang baru. Mela sendiri hanya mengusap dadanya saja, menenangkan diri menghadapi sahabatnya yang mangkir dari tugas. Akan tetapi, ia yakin bahwa Anim memiliki alasan yang kuat. Entah apa itu, Mela tidak tahu.

"Malangnya Anin, Cucu Nenek yang cantik itu terkena imbas dari kesalahan yang Kakek dari kakeknya Anin lakukan di masa lalu. Saya kurang yakin kalau Nenek Diah tidak tahu mengenai hal itu, mendiang suami Nenek pasti sudah memberitahukan semuanya, kan?"

"Anin, cucuku ...."

Anin menahan napas, saat ia hampir menyentuh kenop pintu rumahnya. Posisi daun pintu yang tak tertutup seluruhnya membuat Anin bisa mendengar percakapan yang keluar melalui celah pintu, namun ia belum tahu dengan siapa neneknya itu berbicara. Anin hanya diberitahu oleh pamannya untuk segera pulang, sebab neneknya kedatangan seorang dukun kenalan sang paman. Mungkinkah yang di dalam sana adalah dukun yang dimaksud paman Anin?

"Kalau tetap dibiarkan, makhluk itu bisa saja mencelakai Anin. Jalan satu-satunya ialah Anin harus menikah dengan laki-laki yang memiliki keturunan berdarah biru. Dan itu bukan sesuatu yang mudah."

Tangan Anin meremas ujung baju kerjanya mendengar kelanjutan dari perkataan orang tersebut.

Terpopuler

Comments

KANG SALMAN

KANG SALMAN

ya mana tau hujan apa enggak.
awak kan gak ada di kantor desa.🤣🤣🤣

2023-10-26

1

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌

syarat nya itu gak nahan

2023-10-26

1

〈⎳ HIATUS

〈⎳ HIATUS

Aku tanam bunga mawar aja ya, biar eonnie lebih cemungud maaf nggak bisa bawa bunga bank 🤣

2023-10-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!