Dengan langkah besar yang ia miliki, Raffi masuk kedalam rumah mewah milik keluarga Delacroix. Di sudut ruangan netranya berhasil menangkap kedua orang tuanya tengah asik bercengkrama, dengan secangkir teh panas di atas meja.
Lusion Delacroix (Mama Raffi), wanita paruh baya itu lebih dulu mengetahui kedatangan anak semata wayangnya. Tanpa pikir panjang, ia bergegas berdiri dan menggiring tubuh Raffi untuk turut duduk bersama mereka.
"Tumben udah pulang, gak lagi ada masalah kan?" sambut Fatir ( Papa Raffi) dengan pertanyaan yang justru terdengar mengintimidasi bagi anaknya itu.
Raffi menggeleng, "Semua aman, papa tenang aja, sejauh ini Raffi masih bisa meng-handdle semuanya."
Fatir meletakkan kembali cangkir yang ada di tangannya, dengan rasa bangga, Fatir menepuk pundak Raffi, yang mana anak itu memang selalu bisa diandalkan.
Melihat interaksi antara suami dan anaknya, membuat Lusi turut mengembangkan senyum manis yang ia punya. "Good job, my boy!"
Lusi yang kala itu mengingat sesuatu, semakin mengangkat kedua ujung bibirnya untuk tersenyum, dan Raffi yang menyadari itu reflek mendelik heran, tetapi dia enggan untuk bertanya sebelum wanita itu membuka suara.
"Kamu 'kan sudah berhasil menjalankan tugas di perusahaan, dan mama rasa umur kamu juga sudah matang untuk segera membangun hubungan yang serius dengan seorang gadis."
Raffi yang mengerti kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut, hanya bisa menghela nafas pasrah, dengan sesekali memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.
"Mama kamu benar! Kamu harus menikah secepatnya," sambung Fatir dengan mengalungkan lengan pada bahu anaknya, "Teman-teman papamu ini, sudah banyak yang menimang cucu, ayolah … kapan giliran papa?" sambung pria berkacamata itu, berusaha merubah raut wajahnya menjadi semelas mungkin.
Raffi sendiri hanya bisa menatap jengah kedua orang tuanya bergantian, lagi-lagi hanya helaan nafas yang lebih dulu terdengar. Mungkin, bagi Raffi akan lebih baik begadang guna membuat rencana untuk memenangkan tender dari pada harus membicarakan hal berbau pernikahan seperti ini.
"Ma … Pa! Ayolah, bicarakan saja soal lain. Toh kalian masih muda, jadi nanti saja memikirkan soal cucu atau apalah itu. Rafi belum siap!"
Kini giliran Fatir yang menghela nafas, lelaki paruh baya itu menepuk dadanya, berusaha memberi semangat "Huft … It's okay, sabar ya! Belum saatnya pak Fatir ini dipanggil oppa."
Jika Fatir bisa menerimanya dengan mudah, maka tidak dengan Lusi, "Nggak bisa! Kamu harus secepatnya menikah."
Raffi yang mendengar sontak menatap Mamanya tak percaya. "Tapi, Ma—
"Nggak ada tapi-tapian. Mama suruh Lady jadi sekretaris kamu itu nggak cuma-cuma Raffi. Papa sama Mama udah ngerencanain itu dari dulu, supaya apa? Supaya kamu bisa lebih dekat dengan dia, dan mama berharap kamu mau nerima dia jadi calon istri kamu!"
"Nggak, Ma. Raffi nggak mau di jodoh-jodohin." Pria itu mencoba mengelak dengan selembut mungkin, tetapi bukannya mereda, justru semakin memancing emosi Lusi untuk meledak.
"Apa kurangnya Lady, Raffi? Dia baik, cantik, pintar, dari keluarga terpandang dan yang paling penting kalian sudah kenal sejak kecil. Mama sama Papa juga udah kenal baik sama keluarga Lady, jadi apalagi yang kamu cari? Coba deh kamu buka hati kamu buat dia!"
"Cinta ma." Arvin turut berdiri, berusaha menatap netra Lusi lebih dalam, berharap mamanya itu mengerti apa yang ia maksud.
"Mau secantik apapun Lady, kalau bukan dia yang Raffi cinta, Raffi gak bakal bisa buka hati Raffi buat dia."
Raffi lebih dulu memutuskan kontak mata yang sempat terjadi, dan sialnya hanya rasa obsesi dan amarah yang berhasil ia temukan dibalik netra berwarna biru milik Lusi
"Cinta? Cinta itu datang karena terbiasa, Raffi sayang. Kalau kamu terbiasa sama Lady, pasti cinta juga akan muncul diantara kalian," tutur Lusi, kali ini dibuat selembut mungkin.
Namun, Raffi tetap kekeh dengan pendiriannya. Lantas kepalanya menggeleng dengan perlahan.
"Sekali Raffi bilang enggak, tetep nggak. Raffi udah dewasa, Raffi tau mana yang harus Raffi pilih."
Ini adalah kali pertama, seorang Raffi delacroix berani membantah sang Mama. Dan Lusi yang menyadari hal itu semakin dibuat naik pitam, tanpa sadar kedua tangannya sudah mengepal kuat di samping badan, ia juga merasakan gemeletuk hebat di antara gigi-giginya yang tertata rapi.
Raffi kembali melengos, menatap Fatir yang hanya diam, tak berniat ikut campur dalam urusan antara anak dan ibu ini.
Arvin kembali menghembuskan nafasnya yang terasa panas, membiarkan netra hitamnya bergerak menatap Fatir dan berhenti pada Lusi. "Maaf, Pa, Ma! Raffi gak ada niatan buat bantah kalian. Tapi Raffi gak bisa nerima Lady, karena Raffi sudah punya pacar!"
Lusi kembali membuka matanya dengan lebar, seakan ucapan Raffi berhasil menghantam jantungnya dan berhasil membuatnya syok berat.
Namun, saat hendak kembali bersuara, Fatir lebih dulu mengangkat tangannya, menginterupsi wanita itu agar tetap diam. Lantas ia menatap tegas ke arah Raffi. "Baiklah, Jika memang kamu sudah punya calon."
"Bawa dia bertemu kami, tepat di anniversary pernikahan papa dan mama yang akan digelar satu minggu lag."
Lusi yang turut mendengar itu seketika menyeringai, seakan menemukan senjata baru untuk menaklukan putranya. "Dan jika kamu gagal ataupun ketahuan bohong. Maka mau tidak mau, siap ataupun tidak, kamu harus menerima perjodohan dengan Lady."
****
Sumilir angin yang berhembus kencang, sama sekali tak menghentikan langkah Raffi yang terus berjalan menyusuri setiap sudut taman tanpa tujuan. Setelah meraup wajahnya penuh frustasi ia mendongak, menatap sebuah bulan purnama yang bersinar terang di atas langit sana.
"Bodoh! Bagaimana bisa kamu sebodoh itu, Raffi"
"Harusnya kamu mikir dulu, baru berucap!"
Pria itu terus mengumpat dan memaki-maki dirinya sendiri tanpa ampun. Bohong jika Raffi tidak ingin menarik kembali ucapannya. Sekarang ia sadar, seharusnya tadi ia tidak perlu ikut terpancing emosi atau bisa memilih masuk ke dalam kamar daripada harus melawan kedua orang tuanya, dan berakhir tragis seperti sekarang.
Bagaimana bisa ia membawa dan memperkenalkan wanita kepada keluarga besarnya dalam kurun waktu satu minggu? Bagaimana bisa ia mendapatkan pacar dalam waktu sesingkat itu?
Arrrrgggghhhh…
Tanpa sadar kakinya menendang sebuah batu kerikil yang berada di dekat kakinya, lalu entah apa yang terjadi. Tidak lama setelah itu, ia mendengar sebuah pekikkan seorang yang berasal tak jauh darinya.
Seketika hal itu membuat pikiran Raffi blank. Pria itu terus memutar tubuhnya, berusaha mencari asal muasal sumber suara tadi.
Hingga, seorang wanita berpakaian santai datang ke arahnya, wajahnya terlihat penuh emosi saat tangan mungilnya menyodorkan sebuah batu kerikil yang mungkin sempat pria itu tendang.
"Aduh, gimana sih Mas, kalau jalan ga usah pake nendang-nendang dong, sakit kepala saya kena batu ini," cerocos wanita itu tanpa mau mendongak walau sekedar melihat sang pelaku.
Karena yang ia tahu sekarang, seseorang itu telah melakukan kesalahan terhadapnya, entah secara sengaja maupun tidak, yang terpenting hal itu sudah berhasil mengganggu kegiatan melukisnya.
"M-Maaf, saya bakal ganti rugi. Saya bener-bener nggak sengaja!"
Saat suara bariton itu menyapu pendengaran si wanita, reflek membuat nya menyerngit, karena sangat tidak asing dengan suara itu. Perlahan tapi pasti ia meneliti tubuh yang berdiri tepat di hadapannya. Dari mulai sepatu hingga tepat saat kedua netra itu saling bertemu dalam garis yang sama … Mata itu melotot takjub.
"Pak Raffi, jadi ini ulah anda!"
Ya, wanita itu tak lain, dan tak bukan adalah Maya Gralind.
Nyatanya bukan hanya Maya yang dibuat terkejut, begitu juga sebaliknya, bahkan sampai sekarang Raffi masih belum menyangka bahwa wanita di hadapannya ini adalah Maya. Seorang Wanita yang beberapa kali ia ajak bicara.
"Sekali lagi maafkan saya, saya tidak sengaja!"
Maya tak peduli gadis itu membuang muka, menatap apa saja yang ada, asalkan jangan pria di hadapannya saat ini. Sesaat, Maya melupakan misi yang telah ia susun. Dengan bersedekap dada Maya kembali mendecak malas, ketika merasakan mood yang susah payah ia bangun, harus kembali anjlok begitu saja.
Entah apa yang terjadi, saat kedua netranya menatap Maya dengan intens, ia merasakan seperti seorang yang baru saja mendapatkan hidayah dari Sang Maha kuasa, Raffi menemukan ide yang bahkan tidak pernah terputar di otak jeniusnya.
Dengan kuat ia mencengkram bahu Maya, membuat gadis itu menatap ke arahnya dengan sepenuhnya. Maya yang kaget tiba-tiba ditarik seperti itu hanya bisa diam, dan tanpa ragu mencoba membalas tatapan Raffi, sampai pria itu berucap.
"Apa kamu bersedia, jadi pacar pura-pura saya?"
JANGAN LUPA TINGGALIN JEJAK KALIAN:)
TERIMKASIH:)
SEE YOU:)
*****
Oh iya, sebelum lanjut baca chapter selanjutnya. Mampir nih kesini. Dijamin ceritanya gak bikin kalian bosan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments