CHAPTER 2

"Welcome back to your home, my boy."

Suara itu menggema, mengisi setiap sudut ruangan yang terlihat mewah dengan langit-langit yang menjulang tinggi dan sejuk. Lantainya dipoles dengan marmer import, memberikan cahaya dan kilauan eksklusif yang memantul dari lampu gantung berbentuk kristal besar yang terletak di atas langit-langit.

Pintu utama rumah terbuka lebar, membuat cahaya hangat dari dalam memancar keluar. Sebuah siluet seorang pria tampak di ambang pintu, dan dengan langkah berat, dia masuk kedalam rumah, sebelum pintu di belakangnya kembali tertutup dengan lembut.

Seorang pelayan, dengan segera mengambil alih tas kerja yang sempat pria itu tenteng, lantas membiarkan sosok itu terus berjalan hingga menerima pelukan hangat dari sang ibu yang sudah menunggu kepulangannya.

"Gimana kerjaan kamu hari ini?" tanya wanita berkacamata itu, setelah melepaskan pelukan keduanya, pandangan wanita itu tertuju pada anak semata wayangnya dengan lembut, tetapi terlihat sangat tegas.

Pria itu hanya mengedikan bahu dengan menampilkan senyuman yang ia poles setulus mungkin, tangannya bergerak mengendurkan dasi panjang yang terasa mencekik leher.

"Yah, seperti yang mama lihat sekarang," jawab pria itu, kemudian berjalan menjauh guna mendaratkan tubuhnya pada sofa yang terlihat empuk di hadapannya.

Pria itu meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, akibat bekerja seharian. Jabatan barunya sebagai direktur utama, di umurnya yang baru menginjak 28 tahun, ternyata bukanlah hal yang mudah, ia harus bekerja lebih keras daripada tahun lalu. Meski perusahaan yang ia kelola adalah perusahaan resmi milik keluarga, tetapi tetap saja, ia harus memenuhi tanggung jawab dan bekerja lebih ekstra untuk terus memajukan perusahan yang berjalan di bidang furniture ini.

"Lantas bagaimana dengan Lady? Apakah kalian sudah bisa bekerja dengan baik, sebagai bos dan sekretaris?"

Wanita itu turut mengambil posisi duduk disamping anaknya, membuat sang empu bergerak, guna memperbaiki duduknya agar lebih tegap dan nyaman. Kemudian ia menoleh menatap lawan bicara yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu respon darinya.

Terdengar helaan nafas yang cukup panjang, sebelum akhirnya ia berkata. "Ma, Jangan membahas dia sekarang. Aku capek, jadi izinkan aku pergi ke kamar untuk membersihkan diri."

****

Srekk!!!

Maya mendongak, saat beberapa lembar kertas yang tertata rapi di sodorkan kearahnya dengan kasar.

"Raffi delacroix, laki-laki yang baru-baru ini diangkat sebagai seorang CEO di perusahaan besar yang didirikan oleh kakeknya. PT Delacroix utama" ucap seorang gadis berkuncir kuda, tatkala mengingat artikel-artikel yang baru saja ia cari di Media Sosial.

"Lo yakin, mau jadiin dia target? Lo gak takut jatuh cinta beneran sama dia, secara gue lihat-lihat dia tampan juga, " sambung Emellyn, sembari membuang puntung rokok ke sembarang arah.

"Ck! Cinta lo bilang? Sorry, tapi bagi gue cinta tu gak ada, cinta cuma bullshit. Dan satu lagi, money number one, cinta bisa belakangan. Ngerti lo!"

"Dengan segala cara yang ada dipikiran lo, lo bener-bener sahabat gue yang gila. Otak licik lo itu emang gak pernah berubah." Emellyn bertepuk tangan, raut wajahnya penuh ketakjuban yang tak dapat lagi dijabarkan oleh kata-kata.

Mendengar itu, membuat Maya berdiri dari duduknya, lalu bergerak mendekat pada Emellyn yang masih setia menatapnya dari dekat jendela. Sesampainya di sana, ia langsung bersedekap dada, lantas menyeringai. "Itu tak tik, Emellyn sayang."

"Dan lo inget ini, Kancil bukan hewan yang licik. Tapi dia hewan cerdik!" imbuhnya dengan mengetukkan telunjuk tepat di pelipis.

****

Maya yang baru saja hendak masuk kedalam rumah, terpaksa harus kembali mengurungkan niatnya, ia menghela nafas saat mendengar kedua orang tuanya tengah beradu argumen di dalam sana.

Sesekali gadis itu meringis saat mendengar salah satu diantara mereka melayangkan tamparan terhadap lawan, tetapi hal itu sama sekali tak menggugah emosi dalam dirinya untuk ikut masuk, atau bahkan sekedar memisahakan keduanya.

"Apa? Itu urusanku, kamu cuma laki-laki gak tau diri, yang numpang hidup sama aku, Mas."

"Mana tanggung jawab kamu sebagai suami?"

"Kamu cuma bisa morotin uang hasil jerih payahku. Kamu ambil semua tabungan ku, cuma buat judi gak guna itu."

Sudah pasti itu Mia yang berteriak, suaranya sangat keras dan melengking layaknya orang kesetanan.

Plak…!!!!

"Brengsek! Dasar Wanita gak tau diuntung! Nggak anak, nggak ibu sama-sama gak bisa menghargai suami!"

Terdengar sebuah tawa yang mengudara, setelah Burhan selesai mengucapkan kalimat itu.

"Menghargai kamu bilang? Apa yang perlu aku hargai dari kamu, Mas?"

Setelah menahan diri untuk tidak masuk kedalam rumah, akhirnya Maya memilih masuk dengan memasang earphone pada kedua telinganya, toh hal seperti ini juga sudah menjadi makananya sethari-hari, jadi wajar saja bila ia bisa sesantai seperti sekarang ini.

"Itu, Lihat dia anak kamu! Jangan cuma mabok-mabokan bisanya, ajarin juga anaknya sopan santun."

Reflek Maya menghentikan langkahnya, tanpa menoleh ia meremas kuat ujung bajunya, berusaha menyalurkan segala rasa emosi yang meletup begitu saja. Begitu pula dengan Mia, wanita paruh baya itu menoleh, mengikuti arah yang dimaksud Burhan, suaminya.

"Dia anak kamu juga, kalau kamu lupa itu! Seharusnya kamu juga punya hak sepenuhnya buat ngajarin sopan santun ke dia." hardik Mia, dengan menunjuk Burhan tepat di wajahnya, "Lain kali intropeksi diri, Mas. Bukan cuma mencaci orang, bisanya!"

"Stop! Maya bilang stop" Maya yang sedari tadi diam, kini turut bersuara juga. Wanita muda itu memekik, berusaha mengambil atensi dua orang paruh baya yang berada tak jauh darinya.

Setelah dirasa kedua atensi berhasil ia dapatkan, wanita itu kembali membuak suara, dengan dada yang naik turun tak karuan, serta urat-urat leher yang terlihat menonjol. "Kalian berdua itu sama aja, dan kalian bukanlah orang tua, kalian itu hanya dua orang manusia yang sama-sama mentingin ego masing-masing."

"Maya muak sama kalian!"

Tanpa ba-bi-bu lagi, wanita muda itu segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan dongkol yang luar biasa. Sepertinya jalan yang ia pilih sudah benar, ia harus segera keluar dari lingkungan toxic ini.

"Gue harus bisa dapetin lo secepatnya, tuan Raffi delacroix."

****

Tanpa mau berpikir lebih lama lagi, tepat di hari ini, Maya akan menjalankan segala aksi yang sudah ia rencanakan di hari kemarin.

Dengan memakai gaun selutut berwarna coklat muda, gadis itu berdiri di sebuah halte, yang berada tepat di depan gedung cakar langit yang berdiri megah dengan tulisan PT. DELACROIX yang nampak indah di atas sana.

Benar saja, tanpa menunggu lama seorang yang tampak gagah dengan setelan jas berwarna hitam, dengan potongan yang presisi dan bahan wol berkualitas tinggi keluar dari gedung. Dia adalah Raffi delacroix, Maya bergegas menghampiri pria itu, dan semuanya, berjalan dengan lancar, tetapi sayang … nampaknya pria itu, sama sekali tak menggubrisnyai, membuatnya berdecak kesal, karena rencana awalnya harus gagal.

Ternyata, mendekati CEO tampan itu, tidak semudah yang ia pikirkan. Sehari, dua hari berlalu begitu saja, tanpa membuahkan hasil apapun. Raffi tidak seperti pria-pria pada umumnya, ia tampak dingin dan sangat tertutup, membuat Maya harus memutar otak dua kali lipat dan mengubah semua rencana awalnya.

Hingga tepat di hari ke 15, seharusnya hari ini Maya harus pergi ke suatu museum yang juga akan dihadiri oleh Raffi delacroix. Tetapi alam sepertinya tampak tak mendukung, sebagai karyawan biasa dalam sebuah perusahaan, tentu ia harus menjalani segala perintah yang diberikan dari para atasannya, dan berbeda dari beberapa hari yang lalu, hari ini banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan dengan cepat, bahkan di waktu jam makan siang pun, ia masih harus bekerja.

Huft! Memang sangat melelahkan.

Sampai jam menunjukan pukul 8 malam, wanita muda itu, baru bisa lepas dari segala pekerjaannya.

Dengan cepat ia langsung bergegas untuk meluncur ke tempat tujuannya. Dan benar saja, acara sudah dimulai, saat ini museum penuh dengan para tamu undangan, susah payah Maya harus mencari jalan untuk masuk ke dalam sana.

"Akhirnya," ucap gadis itu dengan nafas yang tak beraturan.

Setelah dirasa nafasnya mulai kembali ke ritme semula, wanita itu segera menegakkan tubuhnya, dengan terus berjalan, matanya terus bergerak kesana kemari, guna mencari seseorang itu.

Dan ya … ternyata seorang Raffi delacroix baru saja keluar dari salah satu ruangan bersama beberapa rekannya. Saat hendak berjalan untuk mendekat, seorang dari arah yang berlawanan menabrak tubuhnya hingga tersungkur ke lantai.

"Aw! ****...," rintih Maya, saat merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Gadis itu berdecak, dengan tangan yang ia kibas-kibaskan karena debu yang menempel di sana. Lantas gadis itu menoleh kebelakang, yang sialnya pelaku yang telah menabraknya berlalu begitu saja, tanpa mau meminta maaf atau semacamnya.

"Ck! Dasar manusia gak berperasaan. Udah nabrak orang, gak bilang maaf lagi!"

Maya terus menggerutu kesal, hingga tanpa disadari ada seseorang yang sudah berdiri di sampingnya, dan entah sejak kapan ia berada di sana, yang jelas sosok itu telah mengulurkan tangannya, guna membantu Maya.

Maya yang tidak menyadari kehadiran laki-laki itu sempat dibuat kaget, dengan gerakan perlahan ia mendongak, menatap siapa gerangan pemilik tangan kekar yang terulur untuknya. Dan benar saja, saat ia berhasil menatap wajah itu sepenuhnya, membuat senyum terbesit dadi bibirnya.

Sepertinya, ia tidak perlu repot-repot lagi mencari keberadaan Raffi delacroix, karena dia sendiri yang sudah menghampiri dan kini pria itu sudah berada tepat di hadapannya.

"Sepertinya Anda butuh bantuan!" Ucap Raffi, dengan suara bariton khas miliknya. Tak kunjung mendapat jawaban membuat, ia mengangkat salah satu alisnya.

Maya yang sadar akan kelakuan bodohnya, langsung memejamkan mata, guna mengembalikkan titik fokus yang entah sempat hilang kemana. Kemudian dengan senang hati ia menerima bantuan itu.

"Terimakasih, Pak," ucapnya, sembari sedikit membungkukkan badan, setelah berhasil berdiri.

Raffi sendiri hanya membalasnya dengan senyum tipis-tipis, setelah dirasa cukup, ia memilih untuk beranjak dari tempatnya.

Maya sendiri terus menatap punggung besar itu yang mulai berjalan menjauh, dengan kembali tersenyum ia bermonolog, "Trimakasih, dan selamat bermain dalam permainan yang saya ciptakan."

*****

Hai ... Hai ... Hai.

Aku balik lagi nih!!!

Semoga kalian suka:)

Jangan lupa tinggalin jejak ya!!!

******

Oh iya, Sembari nunggu part selanjutnya, aku ada rekomendasi Novel yang bagus nih, dijamin nagih dan juga seru:). Jangan lupa mampir🤗🤗

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!