CHAPTER 4

"Lo serius? Ceo itu ngajakin lo kenalan?" tanya Emelly dengan raut tak percaya. Bahkan wanita sampai menangkup kedua pipi Maya, hingga sang empu merasa kesakitan.

"Lepasin!" perintah Maya, tak segan-segan ia menyentak kasar kedua tangan besar itu dari wajahnya, kemudian melirik tajam ke arah sahabatnya itu, "Ya serius lah, ngapain juga gue bohong!"

"Terus-terus, habis ini lo mau gimana lagi?"

Bukannya menjawab pertanyaan Emelly, Maya justru bergerak menjauh dari wanita itu. Dengan bersedekap dada ia menatap hamparan langit malam dari jendela kamar Emelly yang masih dibiarkan terbuka.

"Raffi bukan pria sembarangan," gumamnya mulai bermonolog.

Emelly sendiri segera menyalakan rokok yang sedari tadi ia pegang, dan mulai menghisapnya dengan perlahan, sembari menunggu kalimat-kalimat yang akan Maya lontarkan.

"Dia bukan pria hidung belang, yang mudah tertarik dengan wanita **** dan menggoda."

Maya mencoba mengingat bagaimana wajah datar dan tatapan dingin yang selalu pria itu tunjukan kepada khalayak ramai. Bahkan disaat tersenyum pun, sama sekali tak ada sorot bahagia dari wajahnya yang simetris dan rahang yang tegas itu.

"Jadi, maksud lo … lo mau pindah target gitu?" tanya Emelly, dengan kedua alisnya yang terangkat secara bersamaan.

Sejenak keduanya terdiam, memberikan jeda yang biasa disebut dengan hening. Sebelum akhirnya Maya menjentikkan jarinya, lantas wanita itu berlari dan membisikkan sesuatu tepat di telinga Emelly.

Layaknya film-film di layar kaca saat dalam adegan romantis, Emelly menoleh dengan teknik slow motion, menatap wajah Maya yang ternyata tengah nyengir kuda, menampilkan deretan gigi-gigi putihnya yang tertata rapi.

"Lo … nggak lagi salah ngomong kan?"

Dengan mantap Maya menggeleng, "Nggak! Gue serius."

"Gila, itu kriminal tolol. Kalau sampai rencana lo itu ketahuan sama mereka, terus identitas asli lo kebongkar dan dianggap pembohongan publik, bisa-bisa lo dijeblosin ke penjara sama mereka, mau lo mendekmdi penjara?"

"Yaelah, lebay amat lu jadi manusia. Sok-sok an ngerti kriminal. Emang kelakuan lo yang suka ngasih miras ke pelanggan lo, sampai mereka mabuk itu bukan kriminal namanya?"

Emelly tak menjawab, gadis itu justru menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal. "Iya juga sih, tapi kan … itu pekerjaan gue njir!"

"Udahlah, lakuin aja yang gue perintahin. Kalau lo berhasil bikin identitas palsu buat gue, dan rencana gue lancar, terus gue jadi orang kaya, lo juga bakal dapet jatah, tenang aja."

Maya tak peduli soal resiko besar yang harus ia tanggung, yang terpenting sekarang ia harus bisa menjalankan rencananya dengan baik. Sebelum memutuskan untuk pulang, ia menepuk pundak Emelly dengan tatapan penuh harap.

"Doain gue ya! Kan lo anak yatim piatu, siapa tahu do'a lo diijabah sama Tuhan."

Mendengar itu, membuat Emelly reflek melebarkan pupil matanya. Menatap gadis bodoh yang masih setia menepuk bahunya.

"Sinting lo!" umpatnya sinis, yang justru membuat Maya terkikik geli.

"Lah, kok marah? Kan lo emang yatim piatu."

sial! Sepertinya mulut Maya memang tidak pernah makan bangku sekolahan.

Emelly terkekeh kecil, netranya menatap Maya dengan ekspresi meremehkan. "Hello, mendingan juga gue, meskipun mereka sudah nggak ada, tapi dulu mereka sayang banget sama gue!"

"Daripada lo, orang tua utuh tapi gak pernah nganggep lo anak!"

****

Siang itu, Dalam lantai kantor yang ramai, Maya bergerak dengan anggun. Tubuhnya mengikuti postur sempurna, punggung yang lurus, dan langkah-langkah yang selaras. Mata cemerlangnya tetap terfokus ke depan, tidak pernah berkedip ke lantai yang dia pijak. Dan dibalik setelan blazer yang rapi, ia berjalan dengan penuh keyakinan memasuki kawasan lobby perusahaan Delacroix.

Langkah itu berhenti tepat di bagian resepsionis, kedua ujung bibirnya terangkat membentuk lengkungan yang indah, saat seorang office coordinator bernama dada Shinta menyambut kedatangannya dengan ramah.

"Selamat datang di PT Delacroix! Bagaimana saya bisa membantu Anda hari ini?"

Maya mengangguk, masih dengan senyum yang terus mengambang sempurna, ia menjawab, "Saya dari perusahaan Jaya Abadi, dan ingin bertemu dengan Direktur Raffi Delacroix."

"Apakah Anda sudah memiliki janji dengan beliau?"

"Ya, tentu." Singkat, padat dan jelas. Begitulah cara Maya menjawab, tetapi hal itu sama sekali tak menghilang kan keanggunan dari wajah cantiknya.

"Baiklah saya akan segera menghubungi beliau, untuk memberitahunya bahwa Anda sudah datang. Silahkan tunggu sebentar di area duduk, terimakasih!"

Maya pun beranjak, sesuai yang diperintahkan wanita itu. Mata Maya menelisik setiap sudut ruangan, menikmati penghiasan artistik yang menghiasi dinding-dinding, dari lukisan-lukisan elegan hingga patung-patung yang mencerminkan estetika perusahaan. Sentuhan hijau juga terlihat dalam bentuk tanaman indoor yang memberikan kesegaran dan kehangatan alamiah.

Hingga kesadarannya dikembalikan oleh Shinta yang menyuruhnya untuk segera naik, menuju ruangan Direktur utama. Sesampainya disana, Maya langsung mengetuk pintu, hingga seorang dari dalam menyuruhnya untuk masuk.

Sebelum masuk, gadis itu menghembuskan nafas panjangnya, berusaha menetralkan rasa panas dan dingin yang menyerang dalam satu waktu.

"Silahkan duduk!" perintah Raffi dengan suaranya yang terdengar tegas di telinga Maya.

Setelah duduk tepat di hadapan sang Direktur utama, wanita itu segera memberikan sebuah dokumen yang harus ditandatangani oleh beliau.

Raffi terkekeh singkat saat melihat wajah Maya, membuat Maya mendongak dengan senyuman.

"Kenapa pak, apakah ada yang salah dengan dokumennya?" tanya Maya sedikit was-was. Pasalnya jika memang ada masalah, ia tidak akan paham karena ini tugas Nadira, yang ia ambil alih secara paksa.

Raffi menggeleng. "Kamu masih ingat saya?"

Kini giliran Maya yang mengangguk, "tentu, Pak. Kita sempat berkenalan malam itu."

Raffi kembali terkekeh dan sialnya Maya justru terhanyut di dalam sana. Garis rahang yang tegas, sorot mata tajam, juga rambut gelap yang tertata dengan rapi, seakan menjadi daya tarik yang dimiliki oleh seorang CEO ini. Tanpa menghiraukan Maya yang masih menatapnya, Raffi segera mengembalikan dokumen itu.

"Terimakasih sudah mau datang kesini," Raffi menutup ucapannya lantas bersalaman dengan Maya.

Namun, baru saja Maya hendak keluar ruangan. Jam yang berada di atas meja, sudah lebih dulu berdenting, dan mengambil alih atensi keduanya. Raffi yang sadar akan tatapan penuh tanya dari wanita dihadapannya segera berucap. "Jam makan siang."

"Kalau kamu nggak sibuk, bisa kita makan siang bersama! Yah, itung-itung buat bangun personal branding perusahaan yang saya kelola."

Tentu saja, wanita itu langsung mengangguk, lagi pula kesempatan tidak datang dua kali bukan?

"Tentu saya bisa, asalkan itu tidak merepotkan" jawab Maya, dengan senyum yang terus mengembang.

****

Kini mereka berdua telah berada di salah satu restoran mewah yang biasa Raffi gunakan untuk menikmati makan siangnya. Meja-meja dari kayu eksotis dengan detail ukiran yang halus ditempatkan dengan jarak yang cukup antara satu sama lain, memberi privasi kepada setiap tamu. Linen putih murni yang lembut menutupi setiap meja, dan perabotan empuk yang dirancang dengan indah, semakin membuat suasana menjadi elegan dan menenangkan.

Di bagian belakang restoran, dinding kaca yang besar menghadap ke taman yang indah, membiarkan cahaya alami mengalir ke dalam ruangan. Taman itu dirancang dengan indah, juga ada kolam kecil dan beberapa tanaman tropis yang membuat aliran air mengalir dengan tenang.

"Kamu suka makanannya?" tanya Raffi setelah berhasil menelan suapan pertama dari tangannya. Dan ya, ini adalah pertama kalimya pria itu membuka sura untuk berbasa-basi.

Maya yang ditanya, segera mendongak menatap Raffi dengan sedikit tersenyum. "Enak Pak, sekali lagi terimakasih."

"Panggil aja Raffi , kita lagi gak di jam kerja."

Maya yang mendengar itu merasa sangat puas, ia tidak akan pernah lupa kepada misinya, dan sepertinya, misi itu akan berjalan dengan sempurna.

"Eh bentar pak!" gumam Maya, Wanita itu menghentikan Raffi yang hendak kembali memasukan nasi ke dalam mulutnya. Raffi yang bingung hanya bisa menyerngit heran.

Maya kembali menampilkan senyumnya saat melihat ekspresi Raffi yang mungkin bisa dibilang sangat menggemaskan. Wanita itu menunjuk ujung bibirnya guna memberitahu Raffi bahwa ada sebutir nasi dan saus yang menempel di sana.

Raffi yang paham pun, segera mengambil tisu dan hendak membersihkannya, tapi bukannya bersih saus itu justru meluber kemana-mana. Membuat Maya harus turun tangan.

"Permisi ya pak!" pinta Maya dengan mengangkat jari lentik untuk membersihkan kotoran itu dengan telaten, dan tanpa disadari, hal itu berhasil membuat tubuh Raffi tercekat seketika, entah apa yang terjadi, tetapi pria itu berhasil merasakan kelenjar hangat yang mengalir di darahnya.

Hingga deheman singkat dari Maya, berhasil mengembalikan kesadarannya lagi. "Maaf, saya kurang fokus!"

Maya tak berniat menggubrisnya, dan lebih memilih kembali fokus menikmati sepiring makan siang yang ada di hadapannya.

"Oh iya, jadi di bagian apa kamu bekerja di perusahaan itu?"

Uhuk … uhuk.

Maya menepuk dadanya pelan, saat merasakan nasi yang dikunyah langsung masuk begitu saja dan menyumpal di tenggorokan. Membuat Raffi dengan cepat memberikannya air.

"Kamu nggak papa?" tanya Raffi, mencoba memastikan keadaan wanita di hadapannya.

"Ya, saya baik-baik saja. Tadi hanya sedikit kaget," jawab wanita itu dengan raut dibuat setenang mungkin.

Lantas, ia menghembuskan nafas panjangnya saat melihat Raffi yang masih menatapnya dengan alis yang dinaik turunkan, menunggu jawaban.

Maya berdehem, sebelum berkata, " Saya hanya sebagai karyawan biasa, dan saya hanya bekerja disaat ada yang perlu bantuan saya."

Nampak tidak paham dengan jawaban yang Maya berikan, Raffi menyerngitkan dahi, berusaha mencerna semua itu.

Maya yang paham akan raut itu segera terkekeh. "Jadi gini pak, saya bukan karyawan tetap di sana, saya pergi bekerja hanya untuk menggantikan salah satu teman saya, jika dia tidak bisa hadir."

Raffi mengangguk, penjelasan Maya terdengar aneh di telinganya, tetapi ia tetap mencoba percaya, karena ia tahu bahwa setiap perusahaan tidak harus mempunyai peraturan yang sama.

"Oke, jadi pekerjaan tetap kamu sebagai…"

"Sebagai pelukis." Dengan spontan wanita itu menjawab, "ya … dari kecil saya suka sekali melukis, dan sekarang saya sangat bersyukur karena lukisan yang saya ciptakan sudah bisa dikenal hingga mancanegara," sambungnya dengan menampilkan semburat penuhkebahagiaan.

Seketika membuat, Raffi bertepuk tangan karena takjub. "Jadi…"

Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, suara dering dari ponsel Maya lebih dulu menyela. Sekilas Maya melirik ponsel dan menemukan nama Haris tertera di layar ponsel miliknya. Gadis itu memutuskan untuk sedikit menjauh saat menerima telepon.

"oke-oke, gue balik sekarang!" gumamnya dibuat sepelan mungkin, agar hanya bisa ia dan seorang dari seberang yang bisa mendengarnya.

Setelah selesai, dengan tergesa-gesa Maya kembali menemui Raffi, kemudian mengambil tas miliknya dan bergegas pamit untuk segera pulang.

"Maaf, ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan. Saya ijin undur diri, dan semoga kita bisa bertemu lagi dilain waktu."

TERIMAKASIH BAGI YABG UDAH BACA:)

JANGAN LUPA TINGGAKIN JEJAK KALIAN:)

SEE YOU NEXT CHAPTER....

***

Sebelum lanjut, aku ada rekomendasi cerita lagi nih, dijamin seru, jangan lupa mampir juga:)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!