Aku menepiskan tanganku yang ditahan oleh Septian. "Maaf Septian!" ucapku langsung pergi begitu saja masuk ke kelas.
Setibanya waktu istirahat, Septian pergi ke kelasku dan menarik tanganku begitu saja. Dia membawaku ke parkiran yang terlihat cukup sepi untuk berbicara berdua.
"Lepasin Septian, Aku bukan anjing yang harus kamu tarik-tarik kayak gini!" protes-ku melepaskan genggamannya.
"Kita harus bicara Nur," kata Septian.
"Apa yang perlu dibicarain lagi Septian? Gak puas kamu udah biarin aku di bioskop seharian kemarin?" tanyaku dengan wajah yang mulai memerah.
"Nur, kemarin aku bener-bener lupa udah ada janji sama kamu. Maafin aku ya!" sesalnya memohon.
Aku menyeringai mendengarnya. "Gampang banget ya kamu minta maaf," tukas-ku.
"Nur itu hanya sedikit kesalahan yang aku buat kamu sampe segitunya marah sama aku?" ucapnya mulai emosi.
"Sedikit kata kamu? Oke, lupakan tentang semalam. Tapi masalah lainnya gimana? Aku nungguin kamu 3 jam di bioskop tapi kamu malah jalan sama wanita lain," ungkap-ku membuatnya langsung terdiam.
"KENAPA DIEM SEPTIAN?" Bentak-ku dengan mata yang sudah penuh dengan air. "Siapa kamu dia? Pacar? Selingkuhan?" tanyaku beruntun.
"Dia temen kelas aku, Nur," jawabnya.
Aku tersenyum getir mendengar pernyataannya. "Temen kelas? Tapi sampe pelukan ya! Erat banget hubungan pertemanan kamu," sanjungku.
"Maaf Nur! Tapi kamu salah paham, dia beneran temen aku," sesal Septian sembari memohon dengan meraih tanganku.
"Septian lebih baik kita gak usah punya hubungan lagi mulai sekarang," tutur-ku langsung pergi meninggalkan Septian kembali ke kelas.
"Nur, kamu kenapa?" tanya teman sebangku-ku. Aku hanya menggelengkan kepalaku menjawabnya.
Setelah kejadian itu, Septian lebih sering menungguku di depan kelas walaupun aku tidak pernah lagi meresponnya.
Sepekan sudah berlalu,
Bapak baru saja pulang dari luar kota setelah mengantar Kakek waktu itu. "Nur kemana Mah? Kan sekolah libur hari ini," tanya Bapak heran.
"Nur di kamarnya Pak, belum keluar kamar," jawab Mamah masih memasak sarapan.
Tidak lama dari itu, Aku keluar dari kamar dengan mata yang sembap karena sering menangis akhir-akhir ini.
Bapak menatapku aneh di hadapannya. "Nur mata kamu kenapa?" tanyanya membuatku langsung memalingkan wajahku.
"Begadang pasti Pak, Abang denger semalem kamu nangis karena nonton drama ya?" tanya Bang Daffa yang tiba-tiba duduk di sampingku.
"I- iya Pak, ini gara-gara Nur nonton drama semalem," jawabku dengan gugup.
Kita sarapan bersama setelahnya. "Nur mau ikut Abang gak hari ini?" tanya Bang Daffa membuatku menoleh aneh padanya.
"Tumben ajakin aku," tutur-ku.
"Tinggal jawab mau ikut atau enggak?" tanyanya dengan serius.
"Ayo! Kemana tapi?" tanyaku penasaran.
"Ada deh! Siap-siap aja dulu nanti kita pergi jam 9an," ujarnya sembari masuk kembali ke kamar.
Aku juga segera bersiap, takut Abang menunggu nantinya. Setelah siap, kita berdua pamit pergi.
"Nanti kamu diboncengnya sama temen abang ya?" pintanya di perjalanan.
"Kok gitu? Tau gitu gak bakal ikut aku," gerutuku di belakangnya.
"Gak usah nge-gerutu gitu," ucap Abang melarang-ku protes.
Motor Bang Daffa masuk ke halaman rumah yang cukup luas dan terlihat banyak tanaman bunga.
"Ini rumah siapa Bang?" tanyaku sembari melepas helm yang ku pakai.
Furqan keluar dari rumah itu. Dia memakai kemeja dengan kaos putih sebagai **********.
"Oh ini rumah Bang Furqan!" batinku.
"Gw kira gak jadi bawa dia," ucapnya menunjukku.
"Mumpung ada di rumah juga dia. Nangis mulu soalnya," usil Bang Daffa. Aku menatapnya tajam setelah itu.
"Yuk naik motornya sama aku sekarang!" ajak Furqan setelah menaiki motonya.
Aku hanya mengikuti perkataan mereka. Padahal masih belum tau kemana tujuan mereka sebenarnya.
Bang Daffa sempat mampir ke rumah yang tidak terlalu jauh dari rumah Furqan tadi. Seorang wanita cantik keluar dari rumah itu. Aku mengenalnya, namanya Asya. Dia kekasih Bang Daffa sejak setahun lalu.
"Pantesan pindahin aku, ternyata mau bawa pacarnya," gerutuku membuat Furqan terkekeh mendengarnya.
"Bang Furqan gak bawa pacarnya juga?" tanyaku dari belakang.
"Enggaklah. Kalau bawa pacar, Kamu mau dibawa siapa?" jawabnya.
"Ini sebenernya mau kemana sih kita?" tanyaku penasaran.
"Nanti juga kamu tau kalau sampe," jawab Furqan membuatku memutar bola mataku malas.
± 4 jam kemudian,
Sudah terdengar deburan ombak dengan lautan biru dari kejauhan. Aku tersenyum melihatnya.
"Wahhhh.... Kita mau kelaut ternyata, tau gitu bawa celana pendek," ungkap-ku dengan senangnya.
"Emangnya mau ngapain pake celana pendek?" tanya Furqan yang mendengarnya.
"Kan mau berenang, masa ke pantai pake gamis kayak gini. Kayak mau pengajian aja!" gumamku membuatnya lagi-lagi terkekeh.
"Yaudah gak usah berenang, lagian masa udah gede berenang. Badan kamu kecil nanti kebawa sama ombaknya gimana?" candanya membuatku mencubit pinggangnya pelan.
"Candaannya dijaga Bang," ucapku.
Sepanjang jalan aku hanya menikmati angin yang sejuk. "Nur," sapanya.
"Apa Bang?" sahutku.
"Gimana sama Septian setelah itu?" tanyanya penasaran.
"Udah putus sama dia," jawabku membuatnya tersenyum diam-diam. "Kenapa gitu?" tanyaku setelahnya.
"Gak apa-apa nanya aja," jawabnya singkat.
Sesampainya di pantai, aku langsung berlari menghambur pada ombak di depan sana. "Nur hati-hati ombaknya gede," teriak Bang Daffa.
"Iya Bang siap," teriakku.
"Emangnya Nur bawa baju ganti ya? Kok dia malah main air kayak gitu?" tanya Asya pada Bang Daffa.
"Bawa, tapi dianya gak tau. Tadi Mamah bawain baju gantinya, katanya dia pasti kesenangan main air kalau ke pantai," jelas Bang Daffa pada kekasihnya itu.
Furqan menyusul ku bermain air di pantai. "Jangan sampe basah semua bajunya, nanti masuk angin," peringat Furqan sembari merekam-ku dengan ponselnya.
"Bang Furqan fotoin aku dong!" pintaku menyerahkan ponsel padanya.
Dia tersenyum melihatku tertawa kali ini. "Daffa bener-bener tau kesukaan kamu, Nur. Dia Abang yang baik," gumamnya terdengar tidak cukup jelas karena deburan ombak.
"Bang Furqan barusan bilang apa?" tanyaku menghampirinya.
"Bukan apa-apa, udah belum ini fotoin-nya? foto berdua yuk!" ajaknya menggandeng bahuku tiba-tiba.
Seharian itu, Aku merasa senang dan melupakan banyak hal yang akhir-akhir ini menggangguku.
Sorenya, Bang Furqan mentraktir kita semua di restoran laut terdekat. "Ayo pesen aja! Kali ini biar gw yang bayar," ucap Furqan.
Aku masih terdiam melihat semua menunya tidak ada yang aku sukai. Bang Daffa yang tau aku tidak menyukai makanan laut melirikku.
"Makanannya biar Abang yang pesenin aja, kamu pasti suka," ujarnya diangguki olehku.
Kita masih menunggu pesanan yang belum datang karena pengunjung lumayan ramai. "Abang kasih tau Mamah kalau mau ke pantai?" tanyaku.
"Ya kalau gak kasih tau, Abang gak bakal di kasih izin buat bawa kamu," jelas Bang Daffa membuatku cengengesan.
Setelah makan malam selesai, Kita bergegas untuk pulang. Aku memakai kaos tipis yang dibawakan Mamah karena gamis tadi sudah basah karena bermain air.
"Dingin gak Nur?" tanya Furqan sedikit kencang.
"Dingin banget Bang, Bang Daffa sih beloon. Ini kan bajunya buat berenang yang gamis tadi harusnya dipake buat pulang, ini malah kebalik," gerutuku sembari mencela Bang Daffa.
Motor Furqan tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Dia melepas jaketnya dan memakaikannya padaku.
"Bang Furqan nanti kedinginan kalau pake kemeja doang," ucapku menolaknya.
"Gak apa-apa, aku kuat," ucapnya.
"Pake aja Bang, Nur gak terlalu kedinginan kok. Kan ke halang sama Bang Furqan," ucapku menolaknya karena tidak tega.
Bisa-bisa Furqan sakit masuk angin setelah pulang dari pantai hari ini. Furqan memakai kembali jaketnya yang sudah dia lepas tadi.
"Mana tangan kamu?" pintanya setelah melajukan motornya.
"Emangnya mau ngapain?" tanyaku bingung sembari menunjukkan tanganku melalui pinggangnya.
Dia memasukkan kedua tanganku pake saku jaket. "Eh Bang," ucapku tidak enak.
"Udah diem aja, Jangan dilepas lagi! Daripada kedinginan entar, bisa sakit kamu," peringat-nya membuatku langsung terdiam dan membiarkan tanganku di saku jaketnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments