09 Maret 2014,
Aku baru saja pulang dari sekolah, usiaku baru saja menginjak 13 tahun. Dimana aku menjadi siswi kelas kelas 8 di sekolah menengah pertama.
"NUR PULANG!" Teriakku pada semua orang rumah.
Mamah menggelengkan kepalanya sembari sibuk memasak makan siang. "Ucapin salam Nur kalau masuk bukan teriak-teriak gak jelas kayak gitu," ucap Mamah.
"Iya Mah, Assalamualaikum Mamahku Sayang," ucapku sembari cengengesan dan menyalaminya.
"Malah cengengesan, Waalaikumsalam. Sana ganti baju terus makan siang," suruhnya.
"Nanti ajalah Mah, masih capek. Mau tiduran dulu bentar," ucapku nyelonong masuk ke kamar tanpa mendengarkan ucapan Mamah setelahnya.
Aku masih bersantai bahkan hingga dhuhur sudah mulai terlewat, aku belum juga bergegas makan siang.
Suara motor Bang Daffa baru saja terdengar masuk ke halaman rumah. Tapi suara motornya terdengar lebih riuh jika itu hanya satu.
Aku mengintipnya dari jendela kamar. "HAH.... Kok banyak temennya Bang Daffa? Mana gw belum makan lagi," gumamku terkejut.
"Assalamualaikum," salam beberapa teman Bang Daffa yang ikut dengannya ke rumah.
Dari ke-7 temannya hanya 2 orang perempuan sisanya laki-laki termasuk Bang Daffa. Mereka satu persatu bersalaman pada Mamah dan Bapak yang ada di rumah.
Aku terdiam di kamar, memikirkan caranya untuk pergi ke dapur tanpa rasa malu. "Mereka da dimana ya?" gumamku mengintipnya.
Aku mengganti seragam dengan celana pendek dari Bang Daffa dengan kaos santai yang sedikit kedodoran.
"Lari aja kali ya! Daripada laper kan," tekadku mulai bulat.
Aku dengan cepatnya berlari ke dapur tanpa melihat ke arah ruang tamu. Untungnya mereka berkumpul disana, setidaknya aku tidak terlalu terlihat karena lemari yang menjadi penghalang ruang tengah dan ruang tamu.
"Mamah kenapa gak bilang kalau mau ada temen-temennya Bang Daffa sih?" tanyaku berbisik.
"Orang tadi kamu yang gak mau dengerin Mamah, malah nyalahin sekarang. Udah laper?" tanya Mamah membuatku mengangguk.
"Yaudah pisahin dulu lauknya ke piring, terus bantuin Mamah bawa ini ke ruang tamu ya!" pinta Mamah malah menyuruhku menemui mereka.
Aku berjalan di belakang Mamah membawa sepiring gorengan dan cemilan lainnya untuk mereka.
"Ini siapanya Daffa, Mah?" Tanya seorang teman laki-laki Bang Daffa.
"Adiknya, panggil aja Nur," terang Mamah memperkenalkanku. Aku hanya tersenyum pada mereka lalu segera kembali ke dapur karena malu.
setelahnya, Aku makan siang seorang diri disana karena Mamah memilih ke rumah nenek disebelah.
"Mamah malah tinggalin aku, heran! anaknya malu juga," gerutuku sembari terus melahap makanan.
"Adik Lo cantik ya!" gumam seorang teman Bang Daffa yang ku dengar.
"Udah gak usah bahas lagi dia. Dia malu tadi juga," ucap Bang Daffa menghentikannya.
Teman laki-laki Bang Daffa lebih sering bermain ke rumah, bahkan ada yang sampai menginap.
Aku mulai terbiasa dengan keberadaan mereka yang hampir setiap hari berkunjung ke rumah walaupun hanya sekedar main game bersama.
Malam ini,
Kita sedang asik berkumpul sembari menonton tv. "Temen-temen Bang Daffa udah kayak anak yang dibuang tau gak," ujarku tiba-tiba membuatnya langsung menoleh.
"Lah emangnya kenapa?" tanya Bang Daffa.
"Iya tiap pulang sekolah kesini, emangnya gak puas maen di sekolah? Padahal rumah mereka juga deket-deket tuh," ucapku.
"Ya terserah Abang dong! Gak punya temen kan kamu makanya cemburu," ledek Bang Daffa.
"Kalian ini berisik terus, berantem aja sekalian," ucap Bapak yang sudah capek mendengar kita tidak pernah akur setiap harinya.
Kita berdua langsung terdiam sebelumnya. Tapi tetap saling menatap sinis tanpa omongan.
"Iya juga sih, Mamah ngerasa temen kamu itu sekarang sering kesini ya Daf," ucap Mamah.
"Tuh kan Mamah aja bilang kayak gitu," ucapku merasa didukung oleh Mamah.
"Nur .... Udah deh! Lagian Bang Daffa mau bawa temennya ataupun enggak, kan gak bikin rugi kamu ini. Dia juga gak nyuruh kamu ngapa-ngapain kan," ucap Bapak ingin tenang.
"Tuh kan, kata Abang juga apa, ngalah daritadi biar gak dimarahin Bapak," bisik Bang Daffa merasa puas.
Siang di hari berikutnya,
Aku berangkat ke sekolah kembali untuk mengikuti salah satu ekstrakurikuler. Sedang santainya berjalan tiba-tiba seseorang menawariku untuk menumpang dengannya.
"Ayo saya anter ke sekolahnya!" ajaknya membuatku langsung menoleh. Aku memang mengenalnya, dia salah satu teman Bang Daffa yang sering main ke rumah.
"Gak apa-apa Bang, aku bisa jalan sendiri aja kok," ucapku menolaknya dengan halus.
"Ayo bareng aja! Lagian sejalan juga," ajaknya untuk kedua kalinya.
Akhirnya aku mengalah dan ikut bersamanya. Dia melajukan motornya cukup pelan dan menikmati perjalanan.
Sesampainya di sana,
"Makasih ya Bang udah nganterin," ucapku sembari tersenyum.
"Iya gak apa-apa, lain kali kalau mau latihan pake celananya yang panjang. Nanti masuk angin, kan latihannya sore," pesannya tiba-tiba.
"Iya Bang, makasih nasehatnya," ucapku tersenyum lalu masuk ke sekolah.
"Dianterin siapa Nur barusan?" Tanya guruku.
"Oh itu temennya Bang Daffa, Pak. Kenapa gitu?" tanyaku.
"Gak apa-apa, Kayak pernah liat aja. Dikira pacar kamu," ujarnya.
"Bukanlah Pak, masa dia mau sama Nur," jawabku sedikit malu-malu.
Setahun sudah berlalu,
Aku pertama kalinya dekat dengan seseorang. Hari-hariku mulai berubah setelah mengenalnya.
Namanya Septian Pamungkas, Laki-laki yang usianya sama denganku namun berada di kelas berbeda.
Kita mulai dekat karena sering bertemu saat ekstrakurikuler. Dia mulai mendekatiku dan aku merasa tertarik padanya karena dia terlihat baik.
perilakunya yang begitu menyenangkan membuatku dengan mudahnya terpikat oleh Septian.
Tapi di penghujung tahun kelulusan ini, peringkat-ku turun drastis hingga aku berpikir mungkin berpacaran dengan Septian adalah suatu hal penyebabnya.
Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, aku memutuskan hubungan dengan Septian secara sepihak. Tidak tahu dia akan menerimanya atau tidak yang jelas hari itu aku benar-benar terpuruk.
Aku merasa selama ini Septian berperan sebagai penyemangatku. Tapi ternyata selama menikmati waktu bersamanya aku terlalu jauh dari hal yang harus aku lakukan.
Setelah masuk SMA, aku berharap untuk tidak pergi ke sekolah yang sama dengannya tapi ternyata salah. Dia memilih sekolah yang sama denganku.
Suatu hari setelah pembagian kelas, aku merasa lega karena dia tidak sekelas denganku.
Hari demi hari, dia mulai kembali mengajakku mengobrol. Lebih sering menghubungiku dan hubungan kita menjadi lebih baik kembali setelah kelulusan kemarin.
Aku juga meminta maaf padanya karena sudah memutuskannya secara sepihak kemarin.
Aku memutuskan kembali dengannya. Tidak ada salahnya untuk menerima dia di kesempatan kedua ini.
Pulang sekolah sudah tiba, aku berjalan dengan beberapa temanku yang sering pulang bersama.
Septian memarkirkan motornya di depanku dan tersenyum. "Ayo aku antar pulang!" Ajaknya.
"Maaf Septian, tapi aku gak bisa. Orang rumah bakal marah kalau kamu anter aku," ucapku menolaknya dengan lembut.
"Bilang aja kamu gak mau aku antar karena motorku jelek-kan?" tanya Septian malah berpikiran seperti itu.
Aku menggelengkan kepalaku cepat. "Enggak sama sekali Septian. Itu semua salah," ucapku membantahnya.
Septian langsung pergi begitu saja dengan wajah kesalnya. "Pacar kamu pasti kesel itu, wajah dia merah banget barusan," tutur temanku.
"Biarin ajalah nanti juga baik lagi," kataku sedikit cuek walaupun rasanya tidak ingin seperti ini.
Sepulang dari sekolah, Septian sama sekali tidak menghubungiku. Aku hanya terdiam di kamar seharian ini.
Mamah masuk ke kamar karena khawatir. "Neng gak apa-apa?" tanya Mamah melihatku sedang menangis.
Aku langsung mengusap air mataku dan tersenyum padanya. "Gak apa-apa kok Mah, Neng cuman lagi pusing aja sama tugas. jadi kesel karena gak bisa," ucapku beralasan.
"Minta bantuin tuh sama Abang kamu, dia pasti bisa," ucap Mamah.
"Iya Mah nanti aku tanyain," ucapku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Chocoday
kakaknya pengalaman jangan-jangan /Grin/
2023-11-20
0
BLUE SKY
pinter banget bikin alasan
2023-11-19
0
BLUE SKY
dih malu anak orang
2023-11-19
0