Bagian 2

Herman beserta istri dan kedua anaknya tampak tengah berkumpul di ruang keluarga sembari menonton televisi di ruang keluarga yang tidak terlalu besar namun tetap terasa nyaman.

Di desa itu, televisi menjadi hiburan yang paling familiar di sana, karena akses internet untuk bermain gawai sangatlah terbatas. Hanya bebera tempat dan waktu tertentu saja yang bisa mendapatkannya. Sehingga di saat waktu luang, Sahara lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku ataupun melukis sebagai hobinya.

“Bapak mau ngomong sama kalian semua,” ujar Herman mengambil remot tv untuk mengatur volumenya.

Elisa, Sahara dan Tiara lalu melirik ke arah Herman dengan tatapan penasaran. Tidak biasanya Herman berbicara serius seperti itu.

“Ada apa pak?” Tiara bertanya.

“Jadi gini, pak Surya ingin melamar Sahara untuk dinikahkan dengan anak nya, Raden.”

“Heuh? Kak Sahara mau dijodohkan sama anaknya pak Surya?” Tiara tampak begitu terkejut.

“Sahara pengen kuliah pak, Sahara belum mau nikah,” ujar Sahara dengan tegas.

“Pak Surya akan menguliahkan kamu di Jakarta. Pak Surya sudah sangat baik sama keluarga kita. Jadi ini saatnya kita untuk balas budi.”

“Memangnya gak ada cara lain buat balas budi pak?” Elisa bertanya dengan tatapan sendu. Tentu ia tidak ingin putrinya menjadi korban dalam hal balas budi keluarga mereka.

“Tapi bapak gak enak menolak lamaran pak Surya buk.”

Sahara lalu bangkit dari duduknya, berlalu masuk menuju ke kamar nya sembari menangis. Melihat hal itu, Tiara langsung menyusul kakak nya.

“Sabar ya kak Ra,” Tiara menepuk pundak Sahara mencoba menenangkan. “Pasti bapak juga serba salah.”

“Iya Tia, kakak juga ngerti, tapi kakak belum mau nikah, kakak baru aja lulus SMA, dan rencananya kakak mau lanjut kuliah dan gapai cita-cita kakak, terus kerja buat ningkatin ekonomi keluarga kita .”

“Mudah-mudahan aja nanti ada jalan keluarnya ya kak.”

“Iya, semoga aja Tia.”

Di sekolah, saat semua murid menghabiskan waktu mereka untuk melakukan berbagai macam kegiatan, Sahara hanya duduk melamun di dalam kelas, ia tengah bergelut dengan isi pikirannya sendiri.

Luna, teman dekat Sahara yang melihat sahabatnya itu menjadi sangat pendiam hari ini, pun menghampirinya.

“Ra, kamu kenapa sih dari tadi aku liatin kamu ngelamun terus. Kamu kayak lagi bingung gitu, emang kamu lagi mikirin apa sih, sini cerita sama aku!”

Sahara dan Luna sudah lama bersahabat. Bahkan, mungkin sejak mereka masuk PAUD, sehingga apapun yang terjadi, mereka selalu ada untuk saling membantu dan menguatkan.

Sahara menghela nafasnya lalu menatap ke arah Luna yang duduk di kursi sampingnya.

“Iya Lum, aku bingung banget. Bapak mau jodohin aku sama anak pak Surya yang punya perkebunan tempat bapak bekerja,” jelas Sahara dengan nada sendu.

“Heuh, yang bener Ra? kamu kan SMA aja baru mau lulus masa udah mau nikah aja?”

“Kagetnya jangan kenceng-kenceng kali Lun, nanti ada yang denger, untung aja dikelas cuma ada kita berdua. Kalo yang lain sampai denger, gimana coba penilaian mereka ke aku?”

“Kaget Ra,” Luna mengusap dadanya yang sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali.

“Tapi biasa aja, jangan teriak gitu.”

“Iya maaf…”

“Aku sebenarnya juga belum mau nikah! Aku masih mau fokus kuliah buat ngejar cita-cita aku, terus dapet kerja yang bagus, terus nanti uang nya buat bantu bapak sama ibuk. Tapi bapak gak bisa nolak, gak enak sama pak Surya.”

“Eumm…susah juga ya Ra. Tapi ngomong-ngomong anaknya pak Surya kan ganteng Ra, terus keluarganya pak surya juga tajir. Nanti kalo kamu nikah sama anaknya otomatis kamu juga bakal kecipratan kali Ra kekayaannya pak Surya.”

“Aku gak mau bergantung sama orang lain Lun, aku mau membantu orang tua Ku dari keringat Ku sendiri.”

“Hmm…iya deh Ra…”

Satu notifikasi muncul di ponsel milik Sahara. Ternyata ada pesan masuk dari ayahnya, Herman.

“Pesan dari siapa Ra?” Luna tampak kepo.

“Dari bapak Lun, bapak nyuruh aku datang kerumah pak Surya yang di perkebunan, tapi nanti kalo udah pulang sekolah.”

“Ohh, ya udah, mau ditemenin gak?”

“Gak usah Lun, aku bisa sendiri kok.”

Sementara itu, Raden datang ke rumah nya yang di Adonara bersama ibunya, Gayatri. Desa Adonara sendiri terletak di tepi bukit yang menyajikan pemandangan indah yang sangat luar biasa. Jaraknya sekitar empat jam dari ibu kota.

Surya sudah tampak menunggu didepan rumah. Raden dan Gayatri keluar dari mobil berjalan masuk menuju ke dalam.

Raden melepaskan kaca mata hitam yang melekat di wajahnya. Kebetulan cuaca saat itu sangatlah terik yang membuat kelopak matanya menyipit untuk menyesuaikan intensitas cahaya.

“Ada hal penting apa sih Pa, kok harus ngomongnya disini segala?” tanya Raden yang sudah berada di teras rumah.

“Masuk dulu, kita ngobrol di dalem aja.”

Raden dan ibunya pun masuk ke dalam lalu mereka duduk di kursi sofa. Surya dan Gayatri saling lirik.

“Ada apa  Pa, bikin penasaran aja.”

“Kamu gak mau istirahat dulu? Siapa tau kamu capek habis nyetir jauh.”

“Enggak Pa, mending sekarang papa ngomong langsung aja biar aku gak makin penasaran.”

“Baik, jadi gini Den, papa mau ngejodohin kamu sama Sahara anak pak Herman.”

Mendengar hal itu, kening Raden langsung berkerut.

“Apa? aku gak salah denger kan, papa mau jodohin aku sama si Sahara yang tomboy, dekil itu, tapi alasannya kenapa Pa?”

“Sekarang Sahara sudah berubah Den.”

“Berubah gimana?”

Raden masih ingat dengan jelas waktu dulu Sahara masih SMP, gayanya persis seperti laki-laki, ngejar-ngejar layangan, dia bermain di sawah jika tidak di kali. Dia ingat betul karena dulu Raden sering datang ke perkebunan dan sering melihat Sahara yang menemani bapaknya mengurus perkebunan.

“Papa capek Den ngeliat kamu keluyuran, kuliah gak bener, masa depan gak jelas.  Papa harap dengan kamu menikah kamu akan berubah.”

“Tapi kenapa papa gak nanya aku dulu mau atau enggak.”

Gayatri hanya bisa diam melihat perdebatan ayah dan anak itu. Jujur saja kepalanya sudah sangat pusing. Ia sudah tahu bahwa Raden pasti akan menolak.

“Ma, tolong aku dong Ma! Tolong bilangin ke papa kalo aku ga mau Ma,” Raden menatap Gayatri dengan memelas.

“Kali ini mama setuju sama papa, karena ini demi kebaikan kamu juga.”

Raden menghela nafas jengah, berlalu dari hadapan orang tuanya, pergi keluar rumah. Ia diam di depan rumah sembari mendumel yang tidak jelas. Kemudian Ponsel Raden berdering, ada telepon dari Nicho.

“Halo Den, lo dimana? nanti malem kita jadi keluar kan?”

“Malem ini gak bisa, gue lagi di Adonara.”

“Ngapain lo disana?”

“Gue lagi pusing nih.”

“Pusing kenapa bro?”

“Bokap gue tiba-tiba mau jodohin gue sama anak mandor di perkebunan. Dan asal lo tau, tuh cewek enggak banget deh, dan jauh banget dari tipe gue. Penampilan sama kelakuannya kayak cowok, mana dekil lagi.”

“Kasian amat lo, keliatan banget elo nya kagak laku sampai harus dijodohin segala sama bokap lo.”

“Sialan lo! gue lagi pusing tapi lo malah ngeledekin gue.”

“Hehe, sorry. Gue cuma becanda kok.”

“Bilangin aja sama yang laen, gue ga bisa datang karena ada urusan.”

“Eh bentar Den, nih Rizki sama Devon dateng, gue loudspeker ya. Rizki, Devon tau gak sih, si Raden sekarang lagi di Adonara, dia mau dikawinin sama bokap nya, sama anak mandor bokapnya.”

Rizki dan Devon langsung tertawa.

“Ahh, bangsat lo pada malah pada ngetawain gue.”

“Kayak Siti Nurbaya aja lo Den.”

“Bukan kayak Siti Nurbaya, tapi karena bokapnya tau si Raden gak laku, hahaha.”

“Sembarangan lo semua. Liat aja gue gak bakal nyerah, gue bakal ngebatalin perjodohan ini. Dah ah, percuma gue ngomong ke kalian semua.”

Raden langsung menutup telepon nya.

Sahara tiba di rumah Surya dengan menaiki ojek. Seragam SMA nya masih melekat di tubuhnya karena ia belum sempat pulang dan langsung ke rumah perkebunan sesuai permintaan Herman.

Mata Raden melirik kedatangan gadis muda berambut panjang nan indah itu.

“Ini cewek siapa, rasanya familiar gitu, gue kayak pernah ketemu, tapi dimana ya?”

Surya keluar dari dalam rumah dan menyambut kedatangan Sahara.

“Eh Sahara  udah dateng.”

“Iya pak.”

Sahara menghampiri Surya lalu mencium tangannya dengan hormat.

Raden hanya menatap Sahara dari atas sampai bawah, dia kebingungan melihat perubahan Sahara. Ia tidak menyangka Sahara  yang dulunya tomboy dan dekil sekarang sudah  berubah drastis.

“Kok bisa ya Sahara jadi terlihat feminim, kulitnya juga putih bersih, body-nya langsing.  Tapi gue akan tetap gak mau dijodohin!”

“Raden sini! Ini Sahara,” Surya mencoba memperkenalkan.

Raden dan Sahara pun bersalaman sembari memperkenalkan diri.

“Yaudah kalian ngobrol aja. Ra, bapak kedalem dulu ya.”

“Iya pak.”

Lalu Kedua laki-laki dan perempuan yang masih canggung itu mengambil posisi di kursi teras.

“Kamu tau kan kalo kita mau dijodohin?” tanya Raden membuka percakapan diantara mereka. Ia berlipat dada untuk menunjukkan arogansinya untuk mengintimidasi Perempuan yang ada di depannya itu.

“Iya kak, saya udah tau.”

“Terus kamu mau?”

“Enggak kak.”

“Kamu gak nolak?”

“Udah kok, kakak sendiri gimana mau apa enggak?”

“Ya enggak lah.”

“Udah nolak?”

“Udah, tapi papa tetep mau ngejodohin kita. Aku harap kamu mau bantu aku supaya rencana perjodohan ini batal.”

“Kakak usaha sendiri aja, saya capek baru pulang sekolah aku mau pulang, assalamualaikum.”

Sahara lalu pergi meninggalkan Raden yang keheranan. Ini adalah pertama kalinya Raden mendapat sikap seperti itu dari seorang gadis, karena biasanya para wanita diluar sana selalu mengejar untuk dapat berbicara dengannya. Namun Sahara malah meninggalkannya begitu saja disaat ia belum selesai bicara.

“Gila, ini cewek sombong amat.”

Raden mengusap wajahnya kemudian bangkit  masuk kedalam rumah dengan perasaan kesal yang bertambah.

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!