"Aku pulang!"
Aku menutup pintu apartemen di lanjutkan dengan kegiatan melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. Mataku bergerak memeriksa sekeliling ruangan yang tampak hening dan sepi. Lantas, Aku bergerak menggeledah isi rumah saat aku tidak menemukan apa yang ku maksud.
Jadi, Ibu tidak di rumah?
Batinku, Saat hal pertama yang terlintas di pikiran ku adalah ibu.
Tentu saja, Ayah tidak ada karena beliau sedang sibuk bekerja dan kadang-kadang jarang sekali pulangnya karena lembur.
Aku sempat melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan ku juga jam dinding rumah hanya untuk memastikan bahwa waktu nya memang sama dan waktu sudah menunjukkan pukul 20.05 malam.
Ctak!
Bunyi suara jariku yang di jentikan.
"Ah, Aku ingat!" Pekikku tiba-tiba.
Baru saja aku ingat. Ibu sudah memberi pesan lewat percakapan pesan singkat padaku bahwa ibu pergi rumah teman lamanya karena di undang untuk acara syukuran kelahiran anaknya. Tapi pertama-tama aku sangat haus, Segera aku melangkahkan kaki ke dapur berniat untuk meminum segelas air putih dingin di kulkas. Ku lihat ada secarik kertas catatan kecil yang menempel pada pintu kulkas, Lantas aku mengambilnya.
'Di kulkas ada makanan, Nanti di hangatkan di microwave ya. - Ibu.♡'
Bibir ku melengkung membentuk garis senyum saat membaca pesan kecil tertulis dari ibu.
"Ibu... Aku sayang ibu, Hehe!" Aku menciumi kertas itu lalu memeluk kertas kecil itu di pelukan ku dengan tubuhku yang tiada hentinya bergerak ke kanan ke kiri seperti anak kecil.
Dengan semangat aku merogoh saku rok seragamku bermaksud untuk mengeluarkan ponselku dari sana memberi tahu ibu bahwa aku sudah di rumah.
Tetapi 5 menit kemudian.....
"Oh, Tidak!" Pekik ku, Meraba seluruh area tubuhku.
Benda itu tidak dapat ku temukan. Aku pun membuka blazer seragam ku, Berharap mungkin saja gara-gara ini masih menempel pada tubuhku jadi tidak teliti. Tapi nihil, Tidak juga aku temukan. Mungkin saja ada di dalam tas, Segera aku melepas tas ranselku, Berjalan ke arah meja makan kemudian mengeluarkan seluruh isi yang ada di dalam tas. Tetapi lagi-lagi nihil.
Tentu saja benda yang ku cari itu ponsel, Ponsel ku tidak ada. Mati aku. Aku bolak-balik mencari-cari ke dalam sepatu sampai ke area lantai berharap memang jatuh ke lantai rumah, Terpental dan masuk ke dalam kolong benda-benda perabotan di sana. Tetapi lagi-lagi yang ku temukan adalah nihil.
Sontak aku mematung sejenak seakan teringat dengan sesuatu hal.
"Ah!" Aku memekik menyadari ponselku tertinggal di sekolah.
Sungguh sial.
...----------------...
Napas ku terengah-engah, Kaki ku juga sangat lelah berlari secara bersamaan berlari melewati jalan tikus. Aku tidak peduli seberapa jauh nya jarak yang harus aku tempuh tetapi aku takut sekali kehilangan ponselku. Aku tahu, Sebuah barang memang bisa ku beli lagi ke yang baru dalam artian membeli itu gampang. Tetapi yang membedakannya adalah sejarah yang ada pada benda itu. Ponsel itu aku dapatkan dari hasil jerih payahku sendiri bekerja di minimarket sayuran langganan ibu tahun lalu, Tetapi sekarang aku sudah berhenti atas permintaan ayah.
Bukannya tidak mampu orang tua ku untuk membelikan tetapi aku hanya ingin mencoba berusaha sendiri dan pesan yang kudapatkan, Ternyata mencari uang itu melelahkan.
Aku berjongkok dan tertunduk lesu ketika sudah sampai tepat di depan gerbang utama sekolah yang sudah di gembok. Melewati gerbang belakang pun juga percuma saja. Lagi-lagi, Jalan satu-satunya adalah aku harus melewati lubang di pagar sekolah. Daripada hantu aku lebih takut manusia jahat yang sedang menunggu di sana.
"Dasar anak bodoh," Aku memukul kecil kepala ku sendiri menyadari betapa cerobohnya diriku ini.
"Oi, Dora! Sedang apa kau?"
"Apa? Siapa? Dora? Maksudnya aku?"
Aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang datang, Seorang siswa berambut blonde tapi sayangnya aku tak mengenalinya tetapi dia memakai seragam sekolah yang sama dengan ku. Tetapi tak lama mataku melebar saat tak sengaja melihat ke arah tangannya menggenggam benda yang ku cari.
Aku segera berdiri dan berlari menghampiri nya. "Ponsel ku, Dapat darimana?" Tanyaku, sumringah.
Dia melirik tangannya lalu menyodorkannya padaku dengan mudah. "Ruang seni," Jawabnya, Sementara ponsel itu sudah ada dalam genggamanku. "Aku sempat mengintip di jendela dan ada kalian berdua," Lanjutnya.
"Oh, Sion. Si anak pindahan yang menyebalkan itu? Iya, Kita sekelas dan satu bangku. Terimakasih, Ya," Ucap ku, Tersenyum pada nya.
"Kau mengenaliku?" Tanyanya tiba-tiba.
Aku menatap nya dalam beberapa detik lalu menggeleng. "Sayangnya tidak,"
"Serius?" Dia seakan tidak percaya.
Aku memiringkan kepala. "Tiba-tiba banget?"
Dia nampak berpikir sejenak.
"Terkadang ada kasus dimana; Pertama, Seseorang mengenali wajahnya tetapi tidak mengingat nama nya. Kedua, Seseorang mengetahui namanya tetapi tidak mengenali wajahnya. Seperti dia mengetahui nama itu dari orang-orang yang selalu menyebutkannya tetapi tidak tahu pasti bagaimana rupanya," Lanjut ku, Sedikit panjang lebar.
"Lalu kau yang mana?" Tanya nya.
Aku sedikit berpikir. "Kedua,"
Dia membuang wajah seraya membuang napas pendek seperti tidak percaya dengan jawaban ku. " Oh, Astaga! Kalau aku sebutkan juga kau pasti akan tahu siapa aku di sekolah. Walaupun ya, Jujur saja wajah mu lah malahan yang sedikit tidak asing bagiku. Aku pernah melihat mu beberapa kali dan itu selalu dengan kau yang fokus ke arah lain. Kau yang sejak tahun ajaran pertama selalu memiliki rambut pendek hingga sekarang Maka jangan heran aku memanggilmu dora dan juga itu karena aku tidak tahu nama mu,"
Sementara aku masih terdiam mendengarkan menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut nya itu.
Dia mengangkat kedua tangan nya ke udara.
" Oke, Baiklah! Jadi selama ini kau tidak tahu bagaimana rupa ku dan aku seperti benda mati untukmu. Betul, Kan?"
Jadi, Apa dia si murid populer itu? Yang namanya seringkali di sebutkan. Aku tidak yakin. Tetapi, Begini ternyata bentukannya dan dia tipikal yang banyak berbicara.
Batinku, Dalam diam.
"Terkadang saking aku tidak peduli nya dengan sekitar, Aku juga terlalu malas untuk mengetahui orang lain. Singkat nya aku tidak mau peduli dan aku tidak penasaran dengan siapapun. Termasuk padamu," Jelas ku padanya.
Dia mengangguk-angguk paham menatap ku. "Tetapi, Kau tidak merasa jantung mu berdebar ketika melihat ku?" Lalu dia sedikit mencondongkan wajahnya ke arahku seraya berbisik dengan sedikit cengengesan. "Maksudku, Biasanya para murid perempuan selalu merasa begitu padaku."
Aku memasang senyum sinis. "Kau pikir semua perempuan itu sama? Memiliki wajah tampan bukan berarti aku langsung merasa tertarik. Kau pikir kau penting bagiku?"
"Ti-tidak sih,"
"Bagi mereka kau tampan tapi bagiku kau itu biasa saja, Tahu! Selera perempuan itu tidak selalu sama,"
"Ba-Baiklah,"
Kenapa ekspresi wajah nya jadi begitu? Ada yang aneh, Kah? Apa perkataan ku yang terakhir itu membuat nya begitu? Apa itu menusuk perasaannya?
Batin ku, Alisku mengkerut.
Kalau kau berpikir dadaku seperti di tusuk? Kau benar, Dora. Kalimat mu yang terakhir itu membuat terlihat menyedihkan. Di tambah kau mengetahui nama ku tetapi kau tidak mengenali wajah ku, Bagaimana bisa jadi seperti itu? Jadi selama ini dia begitu? Tidak ada yang tidak mengenali wajah ku di sekolah tapi yang satu ini agak lain. Setidak peduli itu kah kau dengan sekitar, Mu? Manusia unik.
Batin, Siswa berambut blonde dalam diam.
Padahal baru sepersekian detik kalimat itu di dengarnya tetapi langsung saja menghantui telinga siswa berambut cokelat terang itu, Rasanya seperti menggema di telinga mya. Dan dia nampak seperti tenggelam oleh segelintir kalimat itu. Kalimat sederhana tetapi mampu membuat diri nya menjadi sedikit malu tetapi juga terasa di tusuk secara bersamaan.
"Jadi? Sebutkan nama ku,"
"Mendadak aku lupa, Maaf,"
"Apa-apaan itu? Kau sungguh lucu. Ringan banget kau bisa bilang begitu?"
"Ada kasus di mana orang juga bisa lupa namanya. Tadi penjelasan ku ketinggalan sedikit. Jadi maaf," Ucapku sembari menunjukkan cengiran bak kuda.
Dia membuang napas kasar serta mengacak-acak rambutnya frustasi lalu menatap ku dengan ekspresi nya yang aku juga bahkan tidak bisa di mengerti tetapi sepertinya dia merasa jengkel sendiri juga tidak habis pikir secara bersamaan padaku. Jujur saja, Aku memang lupa namanya aku hanya mendengar namanya sekelebat saja dan tidak pernah berniat untuk mengingat nya. Pandangan ku melihat ke sekeliling menjadi waspada bisa saja dia ini sedang iseng untuk hal lain dan kebetulan aku yang menjadi umpan nya di sini. Seperti dia ternyata diam-diam membawa teman-temannya lalu dengan sengaja bersembunyi terlebih dahulu di tempat lain, Walaupun lagaknya terlihat seperti orang biasa saja. Biasanya penjahat itu pandai menyamar dan mengelabui orang lain.
"Kau jangan macam-macam atau—"
"ATAU APA?!"
Seseorang menyergah ucapan ku dengan cepat juga lantang. Aku tahu aku mengenal suara ini, Ini suara Sion. Aku menoleh padanya yang berdiri beberapa meter dari kami, Dia berjalan ke arah kami dengan langkahnya yang cepat bersamaan dengan sorot matanya yang tajam nan menusuk. Dari kejauhan pun dapat ku rasakan aura mengerikan yang mendominasi di sekelilingnya. Seperti, Di setiap langkahnya itu membuat tanah ini bergetar dengan gambaran dia raksasa dan kami sang kurcaci yang tidak berdaya.
Yakin ekspresi wajah nya yang menyeramkan seperti itu di tunjukkan padaku? Tetapi sepertinya bukan.
"Kau lagi? Anak bajingan,"
Siswa populer ini, Dia memulai pembicaraan dengan sangat tidak ramah dan itu membuatku cukup terkejut.
"Dan kau lagi? Anak haram,"
Dan aku jauh lebih terkejut ketika Sion mengucapkan kata itu sehingga kedua mataku menjadi terbelalak.
"Kau?"
"Kau?"
Ucap mereka secara bersamaan.
Jujur saja melihat interaksi mereka yang seperti ini membuat ku menjadi kebingungan sendiri. Sembari menatap mereka secara bergantian di saat itulah pikiran ku mulai sibuk mencerna perkataan yang mereka luncurkan barusan, Anak bajingan dan anak haram. Baru bertemu tetapi sudah saling mengajak untuk berkelahi. Mereka berdua ini memang aneh lebih anehnya lagi mereka ini seperti musuh bebuyutan yang sudah lama tidak. Kening ku mengernyit, Tentunya berdiri di antara mereka berdua yang sedang perang mata ini berhasil membuat pelipis ku sedikit berdenyut. Lantas aku memijit pelipis ku walaupun kemungkinan kecil denyutan itu akan langsung mereda.
"Dunia memang sempit, Saking sempitnya aku harus bertemu lagi dengan anak bajingan seperti kau setelah sekian lama. Sungguh sebuah kejutan, Haha!"
"Tidak perlu banyak bicara dan tutup mulutmu, Dasar anak haram!"
Siswa populer yang namanya masih belum ku ingat dengan baik itu membuang napas pendek kemudian tersenyum sinis. Menatap Sion lalu melirik ku sekilas. "Kau tahu? Rasanya aku ingin sekali meremukkan wajah mu secara brutal di sini. Tetapi sayangnya aku sadar dia di sini. Jadi aku menahan diri untuk tidak melakukan itu karena aku tidak ingin dia terkejut dengan sapaan kita yang terlihat tidak ramah di matanya. Mungkin nanti akan aku coba mengingat sewaktu dulu aku sempat kalah dari mu,"
Maksudnya adalah aku? Karena aku di sini? Dan apa itu? Tidak bertemu lagi setelah sekian lama? Jadi, Maksudnya mereka itu sudah saling mengenal? Kenapa terlihat rumit?
Batin ku, Dalam diam.
Suasana pun berubah menjadi lebih serius dan menegangkan.
"Aku sama sekali tidak takut pada gertakan mu yang terdengar konyol itu. Aku tidak peduli pada ocehan mu atau apapun yang keluar dari mulut mu, Itu tidak berharga bagiku. Kau sudah mengambil apa yang ku miliki dan jangan harap kau bisa merebut nya dari ku. Jika kau melakukannya lagi? Seperti nya panggilan anak haram dengan berkelakuan sampah menjijikan memang cocok untuk mu sama seperti wanita itu. Tidak akan aku biarkan yang satu ini jatuh ke tangan mu," Sion menarik tangan ku hingga aku berdiri di belakang tubuhnya.
Apalagi ini? Lagi-lagi begini. Yang satu ini yang apa maksudnya Sion? Aku, Kah? Anak ini bisa begini juga ternyata.
Batin ku, Frustasi.
Siswa si populer itu tampaknya menatap ku dalam kurun waktu beberapa detik kemudian beralih menatap Sion. Sementara Sion, Dia sama sekali tidak membiarkan tatapan matanya yang itu terlepas dari siswa si populer itu, Tatapan dingin nan menyeramkan. Tangan nya yang kuat itupun masih memegangi lengan ku seolah-olah aku tidak boleh terlepas dari nya sedikitpun. Sungguh, Rasanya aku ingin kabur dalam situasi seperti ini tetapi sepertinya itu pun tidak akan mudah jika ada peluang. Kau tahu? Terkadang di situasi seperti ini pikiran ku menjadi terbius rasanya terjebak dan aku paling tidak suka terlibat dengan hal seperti ini.
"Kau seyakin itu, Hah? Sampai-sampai sudah menandai nya lebih dulu begitu,"
"Dan kau lupa dengan bagaimana latar belakang mu itu? Jadi, Seharusnya kau sudah memahami apa yang ku maksud,"
"Kau pikir dia itu barang menandainya seperti itu?"
"Dan kau pikir apa dia juga menolak tindakan, Ku?"
Aku tidak tahu, Tetapi rasanya mulut ku ini seperti terbungkam dan hanya bisa terdiam walaupun aku mendengar dengan jelas perdebatan mereka sementara dapat ku rasakan tangan Sion berpindah menggenggam kuat jari-jemariku.
"Kau berlaku curang,"
"Aku berlaku adil,"
"Tetapi aku yang lebih dulu melihat keberadaannya di sekolah,"
"Sayangnya aku yang berdekatan dengannya lebih dulu bahkan sebelum ini terjadi. Dan kau tahu? Kami memiliki satu momen di mana itu menjadi pembuka pertemuan kami dan tentu saja itu bersifat rahasia,"
Aku yang mendengar penuturan Sion sedikit terkejut, Mengerutkan alis. "Apa? Kapan?"
"Ck, Oke-oke aku kalah! Aku kalah! Tapi lebih baik kau jujur saja. Kau itu sedang takut, Kan? Akui saja, Kenapa di persulit begitu? Omongan mu terdengar memuakkan bagiku,"
Sion tersenyum sinis dengan tatapan matanya yang mengintimidasi tetapi juga tenang. "Takut? Kepadamu?" Aku tekankan sekali lagi, Aku tidak takut padamu yang terlahir dari rahim seorang perebut,"
"Ah, Kalian! Sudah, Cukup! Bisa tolong berhenti? Apa-apaan, Sih? Kalian seperti anak-anak, Kalian tahu? Mau sampai kapan?" Aku berdiri di antara mereka berdua bermaksud untuk melerai perdebatan mereka yang seperti tidak ada ujungnya itu. Aku menatap wajah mereka bergantian yang sepertinya terkejut dengan tindakan ku.
"Dora, Tapi dia yang lebih dulu bukan aku. Dia lah yang memulai keributan ini,"
"Apa-apaan, Kau? Ku sumpal mulutmu! Jangan harap Jurin berpihak padamu,"
"Hei, Kalian! Astaga! Tolong hentikan!" Aku berusaha keras menghentikan mereka yang akan memulai keributan lagi.
"Tuh! Lihat? Memang dia yang begitu. Kau tidak sadar? Kau lah yang menyebalkan dan selalu begitu. Dasar es hidup!"
"Dan itu adalah kalimat yang seharusnya keluar dari mulut ku untukmu. Dasar manusia yang tidak tahu malu dan cerewet!"
"Apa-apaan maksud mu? Tidak tahu malu katamu dan apa itu? Aku juga cerewet katamu?"
"Fakta harus di terima bukan di hindari,"
"Kau—"
"Terima—"
"DIAAAM!!!"
Seketika suasana menjadi hening hanya ada suara napas ku yang tersengal-sengal akibat sesudah mengeluarkan suara tinggi.
"Do... Ra?"
"Jurin?"
"Berhenti atau.....?" Mereka terdiam menunggu apa yang akan keluar dari mulut dengan seksama. "ATAU KALIAN SEMUA AKAN AKU SERET DI DEPAN KANTOR POLISI! AYO, CEPAT! KITA PINDAH KE SANA! SINI KEMARIKAN TANGAN KALIAN!" Aku menarik tangan mereka berdua dengan kekesalan ku yang sudah meluap-luap kemudian menjewer telinga mereka berdua.
"A-ampun Dora! Sa-sakit, Aku berani bersumpah ini sangat sakit! Telinga ku bisa copot! Kau mau telinga ku hilang satu?"
"A-aw! Jurin, Tolong lebih pelan sedikit untuk menjewer telinga ku. Ini terlalu keras,"
"Kalian, Ya! Memang menyebalkan. Sangat menyebalkan. Ayo! Ayo buat keributan lagi!" Aku menjewer telinga mereka lebih keras.
"Ti-tidak!"
"Ti-tidak!"
Jawab mereka serempak. Mereka sempat untuk saling memandang tidak lama kemudian mereka berdua memasang ekspresi jijik.
"Kau jangan ikut-ikutan kata-kata ku," Gerutu siswa si populer tersebut.
"Kau pikir kata-kata begitu adalah milikmu?" Timpal Sion.
Dalam beberapa detik mereka hening saling memandang tetapi kemudian mereka memulai keributan lagi.
"Dasar anak bajingan!"
"Dasar kau si anak haram!"
"Awas kau ya, Anak bajingan!"
"Aku tidak takut pada anak haram sepertimu!"
"HEEEEEEEH! CUKUP!" Pekikku.
"I-Iya Dora!"
"Baiklah!"
...----------------...
Pada akhirnya akupun pulang bersama nya, Tentunya dengan Sion. Dia bersikeras ingin mengantarkan ku pulang selamat sampai rumah sehingga kami menaiki bus bersama, Dengan dia yang mengalah memberikan tempat duduk di bus ketika hanya tinggal tersisa satu saja karena kebetulan sedang ramai penumpang. Dan sebenarnya aku ini tidak kenapa-kenapa, Kaki ku tidak bermasalah sama sekali. Aku bisa berjalan sendiri dari pemberhentian halte di dekat tempat tinggal ku, Tetapi nyatanya lagi-lagi dia ini tetap bersikeras memaksa untuk menggendong ku sampai ke sana.
Jujur saja, Ada sedikit perasaan malu padaku saat di gendong olehnya, Entah kenapa.
"Aku bisa jalan sendiri,"
"Itu tidak di izinkan,"
Bahkan dia juga bersikeras untuk ikut turun di pemberhentian halte bus yang sama padahal dia seharusnya sudah turun lebih dulu di pemberhentian halte bus sebelumnya.
"Aku bisa pulang sendiri,"
"Aku tahu, Kau ini memang bisa pulang sendiri karena kau sudah besar. Tapi sebagai laki-laki harus melakukan apa yang memang sudah seharusnya di lakukan dan itu yang sedang coba aku lakukan. Walaupun kepergian mu ini atas keinginan mu sendiri. Melepaskan perempuan yang pulang sendirian malam begitu saja bukanlah pilihan bagus, Paham? Merepotkan saja,"
Dan bisa-bisanya aku juga memakai hoodie miliknya. Ini cukup besar untuk tubuhku tetapi dapat menghangatkan tubuhku di udara yang cukup dingin ini.
"Apa? Ih, Ini tidak dingin kok,"
"Udara cukup dingin. Cari cara lain kalau mau cepat mati. Aku tidak ingin mengubur mu,"
Begitulah perdebatan kecil di antara kami dan dengan aku yang akhirnya menyerah menurut pada perkataan nya. Di sisi lain aku juga merasa sebal padanya mengingat percakapannya yang terakhir itu tentang kematian ku. Dia malah menyuruhku untuk mencari cara lain kalau mau cepat mati, Dia ini laki-laki yang bermulut tega.
Aku ingin memukul mu, Tahu!
Batinku, Dari balik punggung nya.
Di sepanjang perjalanan hanya keheningan yang tercipta menyelimuti kami juga pijakan sepatu Sion yang menyapa jalanan aspal yang sepi. Di sepanjang perjalanan itu pula aku hanya terdiam menatap jalanan yang lenggang, Pikiran ku terhanyut akan kejadian tadi.
Mau gimanapun di lihat-lihat dari interaksinya sih walaupun terkesan tidak ramah tapi sepertinya mereka saling kenal, Deh.
Batinku, Melamun.
Tak lama aku menguap. Aku rasa aku sedikit mengantuk.
"Aku izinkan untuk bersandar pada bahuku,"
Dia ini seperti tipe lelaki yang peka dan pengertian tanpa harus banyak omong. Sayangnya, Aku merasa malu sedikit sehingga aku hanya terdiam menatap bahu nya.
"Kenapa?" Tanyaku, Saat mendadak dia berhenti dan sedikit menoleh padaku.
"Kenapa? Merasa jijik?"
Aku yang mendengar nya seketika panik, Tanpa basa-basi mendaratkan kepalaku pada bahunya juga mengeratkan pelukan tangan ku di lehernya lebih erat. Lucunya, Setelah aku menuruti kata-katanya itu barulah dia melanjutkan langkahnya lagi. Dia berusaha membuat ku merasa nyaman, Sepertinya. Hidung ku berdekatan dengan lehernya sehingga dapat ku rasakan aroma lembut dari tubuhnya, Bahkan hoodie milik nya pun begitu wangi. Aku seperti menyerahkan diri pada aroma yang menyeruak itu, Tanpa sadar aku sudah sangat merasa nyaman dan ingin berlama-lama seperti ini.
"Masih dingin?" Tanyanya padaku.
"Tidak," Jawabku singkat.
"Urusan mu apa dengan dia? Apa yang kalian lakukan tadi sebelum aku datang?"
Pertanyaan yang dia lontarkan itu lebih mirip seperti seorang pacar yang sedang mode posesif dan itu berhasil membangunkan jiwaku.
"Si murid yang tadi?" Aku bertanya balik bermaksud untuk memastikan.
"Hm," Jawabnya singkat.
"Ponselku tertinggal di sekolah, Kebetulan dia yang menemukan ponsel ku dan kita tidak sengaja bertemu di sana dengan tangannya yang membawa ponselku. Kau sendiri?"
"Ada barang yang ketinggalan tapi nanti saja. Mungkin besok,"
"Oh," Aku mengangguk kecil.
Lagi-lagi, Aku terhanyut. Entah kenapa bahu nya sungguh membuatku merasa nyaman. Aku ingin menempel terus di sini. Dia juga tidak kunjung menyuruhku untuk menyudahinya atau semacam respon seseorang yang mulai merasa risih dengan sesuatu hal.
"Sion?"
"Hm?"
"Kau tidak kedinginan?"
"Tidak,"
"Bohong,
"Kau pikir aku pecundang?"
"Iya dan itu kau,"
"Jangan berisik!"
"Apanya?"
"Bibir mu,"
"Hitungan ke 0 aku jatuhkan tubuh mu,"
"Eh, eh! I-Iya, Aku diam!"
"Bagus,"
"Ih, Kau? Kau galak banget jadi orang! Kau juga menjengkelkan di tambah kau juga sangat menyebalkan. Aku heran kenapa murid-murid cewek di sekolah terpesona dengan ku? Padahal mereka tidak tahu kalau kau ini galak, Uh!"
Dan sebenarnya diam-diam Sion tersenyum saat mendengar celotehan kecil nya Jurin. Terkesan lucu baginya bagaimana telinga nya itu mendengar suara jurin yang sedang kesal itu.
"Lagi kau berisik? Aku akan—"
"Iya, Iya! Tuan Sion sang paduka raja. Aku diam, Nih!" Aku menenggelamkan kepala pada bahu nya lebih dalam.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments