Butuh waktu kurang lebih tiga jam Dara mencapai kota di mana adiknya menimba ilmu naik bus. Semua yang dirasakan saat ini tidak bisa dia ungkapkan. Turun dari bus dalam keadaan perut lapar, siang ini dia tidak makan sesuap nasi. Lemas dan tak bertenaga tetapi dia dipaksa selalu kuat untuk ibunya.
Dari tempat dia turun menuju kontrakan yang dia tinggal bersama sahabatnya yang satu kota dengan Dara anak dari Sokinah. Dia menelpon Ika, tetapi tidak ada jawaban dari semua panggilannya. Lalu dia memanggil ojek yang berada di dekat sana. Menunjukkan alamat yang akan dia tuju.
"Di sini ya Mbak?" tanya sopir ojek tersebut.
Dara sekilas memeriksa benarkah ini tempat yang dimaksud, baru saja menengok ke sana kemari ternyata ada Qia teman sekamar Ika."Iya Pak benar, saya turun di sini saja," ujar Dara sekaligus membayar.
"Qia ..." panggil Dara dan Qia pun menoleh ke arahnya.
Qia membelalakkan matanya melihat Dara tepat di depannya. "Kak Dara, sendiri Kak?" tanya Qia canggung.
Dara mengangguk dengan senyumannya. Matanya mengedarkan ke segala penjuru, tempatnya sepi Ika pasti sedang kuliah. "Bagaimana kabar kalian, sehat?" tanya Dara.
"Sehat Kak, mari masuk dulu Kak masak iya kita mengobrol di luar," ajak Qia dengan senyum yang dipaksa.
Dara mengikuti langkah Qia yang masih melihat-lihat suasana tempat tinggal adiknya.
Terdapat enam kontrakan yang bebas bisa cewek dan cowok. Ada yang sangat ramai sekali satu kamar di paling ujung, pasti semuanya anak kuliahan. Dara kagum melihat mereka bisa sampai merasakan pendidikan tinggi. Sambil menunggu Qia yang katanya mengambilkan minum, Dara memandangi dirinya.
Andai saja dia tidak putus sekolah pasti sekarang sudah merasakan wisuda. Apakah boleh dia menyalahkan takdir yang diberikan tuhan untuknya? Meskipun bisa Dara tidak pernah melakukan itu, Yundari menganggap anaknya ini adalah anugerah bagaimana bisa Dara tidak menikmati setiap luka dan bahagia yang hadir setiap hembusan yang dia rasakan. Ibunya saja yang penuh derita masih bisa bertahan, goresan yang dirasakannya tidak dapat dibandingkan.
"Ini Kak minumnya, maaf tidak ada yang berasa kami hanya minum air putih saja," ujar Qia.
Dara meminum beberapa teguk minum yang telah dibawakan Qia untuknya. "Kamu sendiri? di mana Ika?" tanya Dara.
"Ika sedang pergi Kak, biasanya pulang malam." jawab Qia hati-hati.
Mendengar jawaban Qia belum ada rasa curiga lagi Dara masih berpikir bahwa Ika kuliah dan banyak kegiatan di kampus. "Kalau kuliah memang sering pulang malam? Kasihan Ika pasti sangat lelah menghadapi pelajaran setiap hari," ungkap Dara.
"Iya Kak benar, Kakak di sini mau lama?" tanya Qia lagi.
"Belum tahu, Kakak sangat ingin menemui Ika. Selain rindu ada hal penting yang mengganjal di benak Kakak," kata Dara.
"Bagaimana jika aku sampaikan saja, Kak, apa saja yang perlu diberitahu pada Ika? Apakah Kak Dara sudah menghubunginya sampai Kakak repot harus ke sini?" ungkap Qia yang mulai tidak tenang.
"Alasan Kakak kemari karena Ika tidak bisa dihubungi, Kakak kira sedang banyak kesibukan dan khawatir lagi dia sakit tidak memberitahu. Banyak pikiran Kakak saat ini, jadi harus bertemu langsung dengan Ika agar semuanya jelas," jawab Dara.
Qia tidak bisa berbuat apa pun, dia mengajak Dara untuk istirahat di kamar, akan tetapi Dara memilih untuk membersihkan badannya terlebih dahulu. Dara membuka lemari milik adiknya dengan tujuan meminjam bajunya. Dara tidak menyangka jika adiknya bisa membeli baju yang bagus-bagus dan tas yang kelihatan mahal. Dia melihat baju yang sangat memancing perhatiannya sangat cantik. Tapi jika dia yang memakainya pasti tidak pantas, baju hari-harinya saja tidak ada yang sebagus ini. Setelah puas dengan barang-barang adiknya dia pergi ke kamar mandi.
Keluar kamar mandi, Dara tidak sengaja mendengar sedikit percakapan Qia entah dengan siapa. Pendengarannya tidak salah kalimat terakhir yang diucapkan Qia adalah cepat pulang. Apakah dia berbicara dengan Ika cepat sekali dia mengangkat telepon, mengapa panggilan Dara dan Yundari tidak pernah diangkat?
Qia terperanjat melihat Dara sudah ada di belakangnya. "Kak Dara, maaf aku kaget," ucap Qia memegang ponselnya erat karena hampir terjatuh.
"Kayak melihat hantu saja jadinya Qi, kamu bisa tidak menghubungi Ika?" tanya Dara menatap Qia.
Entah mengapa raut wajah Qia berubah seperti takut akan sesuatu, Dara merasakan jelas ada yang mencurigakan. Apakah Qia sedang menyembunyikan sesuatu, ada hal yang tidak ingin diketahui oleh Dara.
"Sebentar ya Kak biasanya aku kirim pesan dulu, takutnya ada kelas ponsel Ika berdering bisa ditegur dosen dan membuat suasana tidak nyaman di dalam kelas," sahut Qia.
"Iya kamu kirim pesan dulu tidak apa-apa, semoga dia sedang istirahat biar Kakak saja yang ke sana," balas Dara sambil memperhatikan gerak-gerik Qia seperti orang bingung.
Tidak ada balasan dari Ika, Qia memperlihatkan layar handphonenya ke Dara memang benar. Memutuskan untuk menunggu dia menghubungi pamannya untuk menanyakan bagaimana kabar sang Ibu. Paman bilang kondisinya baik-baik saja, Dara lega tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan pamannya akan menjaga sampai Dara pulang kembali, sehingga Dara menjelaskan bisa saja Ika datang malam di kontrakan. Paman pun tidak keberatan untuk menemani Yundari sampai besok.
"Jangan pulang, Nak. Ibu berusaha tidak akan tenang di rumah. Kamu harus bertemu dengan Ika," terdengar suara sayu Yundari.
Pamannya tidak sengaja menekan pengeras suara sehingga dapat terdengar olehnya. Panggilan berakhir, Dara mulai berpikir apakah dia harus menginap malam ini. Berarti dia harus izin kembali kepada majikannya, Nia. Dengan berat Dara memutuskan untuk bermalam menunggu kedatangan Ika.
Dara memasak sedangkan Qia pamit keluar untuk menemui temannya. Qia sebenarnya tidak nyaman kehadiran Dara, apalagi memang ada yang tidak bisa dia ungkapkan tambah membuat rasa bersalahnya. Hampir larut malam, Ika belum juga terlihat. Mata Dara hampir terpejam di tempat duduknya terbuka, karena mendengar suara mobil berhenti tepat di depan kontrakan. Dara mengintip melalui jendela, tidak mungkin itu Ika.
Bentuk tubuhnya memang mirip dengan adiknya, tetapi cara berpakaiannya sangat berbeda. Ika tidak pernah memakai baju dan bawahan yang terbuka seperti apa yang dilihatnya. Bahkan berjalan dengan seorang pria yang lebih tua dari umurnya. Dara memijat pelipisnya dan memastikan kembali, dia belum juga menampakkan wajahnya malah mengobrol entah apa yang sedang dibicarakan.
Ketika hendak menoleh ke arah Dara tangan pria itu menariknya, menggenggam kedua tangannya. Anehnya tidak ada perlawanan meskipun mereka hanya berbicara, mengapa terlihat sangat dekat. Munculah dalam benak Dara apakah mereka mempunyai hubungan? Dara tidak sabar melihat wanita itu kemudian menelponnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments