Semalaman Dara hampir tidak bisa tidur, matanya terasa berat untuk dibuka. Melihat jam dinding sudah saatnya dia bersiap-siap. Tidak sengaja dia mendengar tangisan dari dalam kamar ibunya. Rasa khawatirnya langsung memuncak, takut apabila kejadian di masa silam terjadi lagi.
"Ibu ... kenapa Ibu menangis tersedu-sedu. Apakah ada yang sakit?" tanya Dara memeriksa tubuh ibunya.
Tidak ada jawaban dari ibunya, Dara memeluknya erat. Yundari memukul dadanya sampai Dara menghalangi pukulannya. Tidak tahu harus melakukan apa, sedangkan dia tidak mengerti apa yang sedang ibunya rasakan. Mengelus bahunya berharap dapat menenangkan. Ketenangan sepertinya sulit menghampiri kehidupan Dara.
Yundari yang sudah mulai tenang membuka suara. "Kenapa kamu tidak memberi tahu Ibu tentang adikmu?" tanya Yundari menghadap depan dengan tatapan kosong.
"Tentang apa Ibu?" balas Dara, semoga saja ibunya tidak mengetahui desas-desus yang tetangga mereka bicarakan.
"Ika di sana tidak belajar, kan? Dia sama seperti laki-laki gi … " ucapan Yundari terpotong, dadanya sesak jika mengingat mantan suaminya.
Dara menyangga tangan Yundari agar dapat naik ke atas kasur. Tidak ada yang bisa Dara lakukan selain memberikan obat yang biasa diminum. Menahan air matanya keluar di depan ibunya sangatlah sulit. Dara mengambilkan air minum di dapur dengan cepat.
"Ibu, Dara mohon sekali lagi, jangan mendengarkan omongan tetangga. Kita yang paling mengenal Ika, tidak mungkin dia berbohong. Dara tidak pernah, kan melarang Ibu berbaur dengan mereka, jadi Dara mohon sekiranya ucapan mereka menyakitkan, Ibu pulang saja, jangan dipikirkan terlalu mendalam," ucap Dara menjelaskan pelan.
"Lalu kenapa panggilan Ibu tidak dijawab, apa dia jalan dengan pria berhidung belang!" bentak Yundari emosi.
Dengan kesabaran penuh Dara harus menahan dirinya. "Ika sedang belajar menuntut ilmu, Ibu. Tidak menjawab bukan berarti Ika melakukan hal yang buruk, kan. Anak kuliah itu sibuk banyak hal yang harus dilakukan, kalau Ika tidak disiplin bisa saja nilainya menurun dan mempengaruhi beasiswanya," jawab Dara dengan nada sehalus mungkin padahal dia juga tidak tahu bagaimana rasanya duduk di bangku kuliah.
"TIDAK! Dia pasti tidak belajar dengan benar, kamu tidak tahu berita Ika sudah menyebar. Kamu tahu apa yang mereka katakan, Ayah dan anak sama saja, satu keluarga tidak ada yang benar. Ibu tidak tahan mendengarnya," jelas Yundari semakin meluapkan amarahnya.
Dara menghela napasnya panjang, mungkin ini keputusan yang benar dan tidak akan menimbulkan pertanyaan lagi. Bukan hanya demi ibunya saja, tetapi dia ingin tahu sebenarnya bahwa apa yang dikatakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu salah.
"Ibu, kalau begitu Dara akan menemui Ika hari ini. Ibu harus janji pada Dara selama pergi, Ibu harus tetap berada di rumah. Tidak akan lama, Dara hanya memastikan dan melihatnya dengan mata kepala Dara sendiri. Ibu maukan menunggu Dara pulang?" tanya Dara lagi dengan nada yang sangat pelan.
Yundari mengangguk mengerti, Dara lega ibunya masih bisa mengatur emosi dan tidak melakukan hal yang menyeramkan untuk diingat. Dahulu sebelum cerai Yundari sering depresi sendiri, tidak ada satu pun yang mengetahuinya. Dara yang tidak pernah pergi jauh seperti Ika dalam hal menuntut ilmu di kota orang, merasa sangat kecewa masalah penjagaan terhadap ibunya.
Dara pulang sekolah dengan langkah yang berat, hari itu sinar matahari melintasi pohon-pohon yang ada di pinggir jalan. Gemuruh langkah kaki teman-teman sebayanya mendahuluinya, wajahnya yang selalu semangat berubah muram. Kedua orang tuanya sering bertengkar untuk kembali ke rumah saja dia berpikir berkali-kali. Hati kecilnya terasa gugup padahal suasana rumah sangat hening. Dia mencari ibunya namun tidak telihat, pandangannya sekarang sudah di depan kamar.
Ketika pintu terbuka, dihadapannya Dara memandangi ibunya telah duduk di lantai dengan ekspresi menyedihkan bibirnya tersenyum tetapi matanya menangis. Tangannya terluka mengeluarkan cairan berwarna merah hingga berserakan di sekitar ibunya. Mata Dara membesar sempurna, terpaku memperlihatkan pemandangan yang tidak mengenakkan.
Terdengar ibunya terisak. "Dara sudah pulang, Ibu sudah sembuh …" lirih ucapan Yundari.
Kebingungan yang hebat mendera Dara. Ibu sudah sembuh? Apa yang sedang Ibu maksud? Dia keluar berlari mencari bantuan, tatapannya sudah sangat redup. Dara tahu bahwa luka yang Ibunya buat hanyalah alasan untuk menutupi luka yang ada di hatinya.
Dari kejadian itu, Dara sangat trauma jika terulang lagi. Dara selalu belajar untuk memahami dan mendukung kesembuhan sang ibu. Dara mulai mempelajari bahwa kekuatan sejati berada padanya dan mampu mengatasi luka-luka batin serta cinta yang dia berikan adalah obat terbaik untuk menyembuhkan hati terluka.
"Setidaknya aku harus meminta bantuan Paman untuk memeriksa Ibu selama aku pergi," gumam Dara.
Rumah pamannya tidak terlalu jauh, dia menghampirinya. Menceritakan apa yang telah terjadi pada ibunya tadi. Kenyataannya Paman sudah mengetahui berita buruk mengenai Ika, dia berpikir bahwa Yundari tidak akan terpengaruh. Tetapi setelah mendengar cerita Dara, dia paham dan akan menjaga Yundari.
Dara bersiap berangkat bekerja terlebih dahulu. Ada etika dalam bekerja yang harus dipenuhi dia harus mengabarkan dan meminta izin kepada Nia untuk libur sejenak.
"Mbak, rapi sekali," sapa Nia melihat Dara yang baru tiba.
"Mami, ada yang ingin Dara sampaikan," ujar Dara dengan tatapan penuh harap.
"Sampaikan saja, Mbak. Jangan sungkan," balas Nia santai.
Dara telah menyampaikan maksudnya, Nia sudah tidak terkejut lagi dengan kejadian seperti ini. Keluarga mereka memang selalu dipenuhi dengan ujian tak terduga setiap tahunnya. Hanya saja Nia tak tega melihat keadaan Dara yang berjuang sendirian. Kepeduliaannya sudah seperti ikatan ibu dan anak.
Dara menahan tangisnya, Nia tahu itu. "Mami turut prihatin ya Mbak, banyak sabar dan harus kuat. Bisa dibilang Mbak yang menaggung semuanya, kagum Mami sama kamu. Kalau hari ini belum bisa kerja tidak apa Mbak, tetapi jangan dari pagi ya, Nunu tidak ada yang urus kira-kira sampai siang bisa Mbak?" tanya Nia.
"Bisa Mami, Dara sebenarnya tidak ingin memberi kabar mendadak, tapi baru pagi ini penyakit ibu kambuh lagi," ujar Dara.
"Iya Mbak, nanti Nenek Nunu akan Mami mintai bantuan sampai beliau datang tolong jaga Nunu, Mbak. Hati-hati di jalan dan semoga selalu mendapat lindungan," tutur Nia meminta bantuan.
Pembicaraan mereka selesai, Dara bersiap menyiapkan makanan untuk suami istri tersebut. Nia tidak keberatan apa pun masakan Dara apalagi Jaya suaminya yang tahu hanya makan saja. Inilah kehidupan Dara ada luka diselingi dengan kebaikan orang lain.
Nenek Nunu telah sampai dengan pakaian rapi memasuki rumah. Dara senang ternyata beliau datang lebih cepat dari dugaannya.
"Kamu kenapa sih memberitahu Nia mendadak, Nenek hari ini mau ke salon tidak jadi," protes Nenek mengusap rambutnya.
"Dara minta maaf ya, Nek. Ada hal penting yang ingin Dara lakukan," jawab Dara sambil menggendong Nunu.
"Sini kemarikan Nunu, biar Nenek menggendongnya. Kamu jika ingin pergi silahkan, hati-hati di jalan jangan mengebut. Ingat pesan Nenek!" pesan nenek tegas.
Nenek satu ini memang terlihat sangar tetapi dalam lubuk hatinya paling dalam beliau adalah orang yang berhati lembut dan penuh kasih sayang. Hanya tidak bisa menyampaikannya saja.
"Ika, Kakak harap semua omong kosong yang mereka katakan itu bohong," batin Dara yang sudah bersiap mengendarai motornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments