"Kinanti, sebenarnya saya kurang setuju saat guru yang lain merekomendasikan kamu untuk berada di kelas ini, karena selama saya mengajar kamu kurang aktif," kata Bu Indira setelah kelas mulai tenang.
Kinanti tak tahu harus merespon bagaimana.
"Tapi kata guru yang lain kamu cukup berprestasi di akademik jadi, semoga kamu nyaman ya, berada di kelas ini."
Kinanti hanya mengangguk pelan. Setelah mengatakan hal itu Guru yang masih wali kelasnya itu mempersilahkan siswa lain untuk memperkenalkan diri.
Dari bangkunya yang berada di pojok kelas Kinanti dapat melihat di kelasnya hanya ada sekitar tiga puluh siswa, apa ini benar-benar siswa pilihan? Entahlah Kinanti kembali mencoret-coret bukunya dengan asal.
"Kinanti aku duduk di sini ya?" Seseorang terlihat menarik kursi di sampingnya.
Kinanti sedikit merasa lega karena ternyata bukan orang yang sama dengan tadi pagi.
"Boleh," jawab Kinanti singkat, namun kali ini dirinya tak merasa gugup.
Ternyata seorang siswa yang duduk di sebelahnya adalah siswa yang tadi sempat Kinanti lihat mencoret-coret papan tulis sebelum gurunya datang.
Kinanti melihat sekilas siswa di sampingnya membuka telepon genggam untuk bermain game.
Yang awalnya Kinanti bingung harus bagaimana memulai obrolan jadi tenang, setidaknya siswa itu sibuk sendiri.
Ia sedikit melongok melihat nama di seragam siswa itu Syahril sebutnya dalam hati, kemudian Kinanti kembali dengan kegiatannya tadi.
"Anak-anak karena hari ini ada rapat dengan kepala sekolah jadi kalian dipulangkan lebih cepat."
Sontak semua penjuru kelas berteriak girang.
"Oh iya, Anak-anak ada pesan dari Pak Ridwan untuk pelajaran Fisika kalian ditugaskan membuat catatan di rumah."
Kali ini semua murid tampak tidak bersemangat, pasalnya belum pernah mengajar dikelas tapi sudah di kasih tugas.
"Catatan apa bu?" Tanya salah satu murid berkacamata.
"Tugasnya kalian membuat catatan mengenai apa saja yang kalian ketahui tentang Fisika, pesan beliau kalian dibebaskan untuk menulis apa saja. Besok harus dikumpulkan ya anak-anak. "
Kinanti sedikit kecewa dengan hal itu bukan apa-apa, dia malas untuk pulang ke rumahnya, ralat ke rumah neneknya pasti akan ada banyak pekerjaan yang menunggunya di rumah.
"Sekian untuk hari ini. Hati-hati pulangnya ya. Selamat siang!"
Bu Indira bangkit yang kemudian keluar dari kelas tersebut.
Satu persatu temannya mulai meninggalkan kelas hanya tinggal dirinya dan beberapa orang di barisan depan saat seorang gadis mungil menghampiri Kinanti.
"Kinanti aku Nadia."
Gadis yang menurut Kinanti manis itu mengulurkan tangan.
"Kinanti," jawabnya.
"Kamu piketnya hari selasa ya, tadi udah pada milih jadwalnya masing-masing tinggal kamu yang belum."
Kinanti ingin mengajukan keberatannya atas hal yang baru saja ia dengar.
Kalau yang lain memilih sendiri lalu mengapa dirinya langsung diberikan tanggung jawab tanpa diberi pilihan? namun urung saat yang keluar dari mulutnya hanya, "Iya."
"Oke besok langsung piket ya," putus Nadia
Kinanti menghela napas, setelah semua barang bawaannya telah masuk dalam ranselnya Kinanti bergegas pulang.
Kinanti tak menghiraukan beberapa siswa yang masih di dalam kelas terutama Faisal yang dari tadi melihatnya. Tepat setelah Kinanti melewati pintu kelas seseorang memanggil namanya.
"Nan, pulang naik apa?"
Kinanti kenal dengan suara itu, dan panggilan itu, tanpa pikir panjang dirinya berbalik
"Jalan kaki Ka."
"Mau bareng aku? Kayanya rumah kita searah?"
Belum sempat Kinanti menjawab seseorang terlihat dari balik punggung Raka.
"Yuk, Ka."
Cantik. Pikir Kinanti begitu melihat sosok yang langsung menggandeng Raka. Lalu Kinanti teringat akan percakapan di kantin tadi pagi. Jadi ini pacar Raka, batinnya.
"Lo ada cewek ngapain ngajak orang pulang bareng sih!" tanpa meminta izin pemiliknya Faisal langsung menarik tangan Kinanti,
"Yuk bareng aku!"
"Maaf ya Nan, aku duluan," pamit Raka
"Duluan ya," pamit gadis cantik aka pacar Raka itu yang tak kalah ramah.
Kinanti tersenyum, dan setelah ia tersadar langsung menarik tangannya kembali.
"Rumah aku deket kok, udah biasa jalan kaki." Kinanti langsung berjalan meninggalkan Faisal.
"Beneran? Bukan karena marah?" Lagi-lagi Faisal menggoyang-goyangkan rambutnya yang terikat.
Kinanti menepis tangan Faisal, "Ngapain juga aku marah."
"Yaudah kalau gitu. Sampai ketemu besok Ki." Faisal berlari setelah menarik belakang rambut Kinanti lagi.
Kinanti dengan refleks berteriak. "Faisal!"
Kinanti bertanya-tanya ada orang seaneh Faisal, padahal mereka baru kenal, bagaimana bisa orang yang baru kenal berani mengganggu dan bahkan menarik rambutnya.
Sekarang Kinanti mengerti mengapa Sarah begitu emosi setiap kali menceritakan Faisal.
Masih merasa kesal dengan temannya tadi Kinanti bergegas pulang.
Jarak dari sekolah dan rumahnya tidak begitu jauh hanya berselang dua gang Kinanti selalu memilih untuk berjalan kaki karena selain hemat ongkos Kinanti suka berlama-lama menikmati perjalanannya agar tak cepat sampai rumah.
Bahkan Kinanti sering kali berhenti di pos gang rumahnya, untuk menunda lebih lama tiba di rumah.
Saat Kinanti memasuki gang perumahannya ia melihat Ibu-ibu yang baru kembali dari arah rumahnya dengan raut wajah yang sulit Kinanti artikan.
"Kok bisa ya?"
"Ada orang sejahat itu."
"Kenapa nggak kita laporin aja ke polisi?"
"Kasian banget,"
"Mana masih kecil lagi."
Kinanti tak harus menebak apa yang telah terjadi di rumahnya.
Dari tempatnya berdiri tersisa tiga rumah untuk sampai di rumahnya. Kinanti berlari sekuat tenaga, hanya ada satu hal dalam pikirannya. Adiknya pasti kembali dipukuli.
Benar, begitu Kinanti masuk kedalam rumahnya ia mendapati adiknya yang meringkuk dengan baju yang tampak sobek di lengannya.
"Nana!" Pekik Kinanti yang segera mendekati Nana, adiknya.
Nana langsung membuka matanya ketika mendengar suara Kinanti.
"Kak."
Nana menangis berusaha memeluk Kakaknya.
"Dasar anak nggak tahu diri, di suruh nyuci aja nggak bisa. Maunya cuma makan! Kerja dong! Enak aja, tahu diri makanya dasar anak kurang ajar!"
Suara itu, itu suara orang yang menyebabkan adiknya menjadi seperti ini. Kinanti mengeratkan pelukannya pada adiknya.
Pranggggg! suara barang yang di banting.
"Bangun! cengeng banget. Kamu masak sana! Siapin buat adek kamu makan! Nanti kalau mati aku yang disalahin."
Setelah mengatakan hal tersebut, Neneknya meninggalkan mereka yang masih tak bergeming di tengah ruangan.
Kinanti menyalahkan dirinya yang begitu lemah dan tak pernah berani melawan, padahal ia tak terima dengan apa yang telah dilakukan Neneknya itu terhadap adiknya.
Selalu berakhir sama, Kinanti hanya bisa menangis dan memeluk adiknya yang terlihat begitu ketakutan.
"Na, sekarang ganti baju ya, Kakak siapin makan buat kamu."
Kinanti menatap Nana, seolah ingin memberikan sedikit kekuatan, namun gagal saat adiknya justru menangis semakin menjadi-jadi.
"Na, yang mana yang sakit?" Kinanti menahan air matanya yang ingin keluar semakin deras.
"Ini kak."
Nana menunjukkan lengannya yang tampak merah, masih dengan sesegukan.
"Nanti Kakak obatin ya?" Bujuknya.
"Sekarang ganti baju terus makan ya."
"Aku nggak betah Kak," keluh Nana kembali menangis.
"Iya Kakak tahu. Kakak janji, kalau kita akan pergi dari sini ya?" Kinanti masih berusaha membujuk Nana.
Akhirnya Nana mengangguk lemah, dengan masih sesegukan Kinanti membantu adiknya untuk bangkit.
Sesak rasanya melihat lebam di mana-mana pada tubuh adiknya, entah sampai kapan hidup mereka akan seperti ini, Kinanti tak tahu.
Dengan tangis yang ia tahan sekuat tenaga Kinanti menuntun adiknya yang begitu lemah menuju kamar.
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments