MyLiGi - BAB 5

Ray hanya bisa mendengarkan apa yang menjadi pembicaraan Robin dengan gadis itu di dalam ruangan yang dijadikan sebagai kamar ini. Dia sebenarnya ingin sekali berada di luar sana agar bisa menatap gadis itu lebih lama. Tapi itu tidak mungkin dilakukannya saat ini.

Dan apa yang dikatakan oleh Robin sepertinya ada benarnya juga. Terdengar dari respon gadis itu terhadap setiap penjelasan yang Robin katakan, jika dia benar-benar merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.

Ray mengambil dompet yang ada di saku belakang celananya. Dia mengambil selembar foto yang sengaja diselipkan pada bagian yang susah terlihat jika orang lain melihat isi dompetnya. Dipegangnya selembar foto itu dengan tatapan sendu. Dia mengusap permukaan foto itu.

Ray memandangi sosok seorang gadis di foto itu. Sosoknya yang kini ada di luar sana bersama dengan Robin.

Ray ingat bagaimana dulu awal dia mengambil jepretan foto dari sosok gadis itu. Foto yang kini masih menjadi favoritnya dari semua foto yang di ambilnya secara diam-diam. Ray juga bisa merasakan bagaimana dulu gadis itu terlihat sangat ceria.

"Bro, lo bisa keluar sekarang. Gadis itu udah keluar dari sini." Robin berkata setelah mengetuk pintu ruangan kamar itu.

Ray yang mendengar suara Robin dari balik pintu itupun segera memasukkan kembali foto itu ke dalam dompet. Pria itu segera keluar dari ruangan itu dan langsung menatap ke arah resto. Berharap apakah dia masih bisa melihat sosok gadis itu atau tidak.

"Dia udah masuk ke dalam resto dan langsung menuju ke dapur. Jadi percuma lo amati terus kondisi di dalam resto sana." Ujar Robin yang melihat Ray masih saja mengamati keadaan resto.

Pria itu kini hanya bisa terduduk lemas di sofa. Dia memandangi cake coklat strawberry yang sebelumnya tidak ada di atas meja. Dan cake itu yang baru saja di buat dan diantarkan oleh gadis itu. Ray ingin sekali mencicipinya, tapi dia belum berniat untuk melakukannya sekarang.

***

Di jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat, Ray masih saja berada di resto. Dia masih enggan untuk pulang ke rumah setelah dia baru saja sampai setelah menyelesaikan pekerjaannya di luar kota.

Pandangan Ray kini masih saja terus tertuju ke arah dalam resto. Berharap jika sesekali dia bisa melihat sosok gadis itu. Tetapi gadis itu tak pernah muncul dari arah dapur. Mungkin dia terlalu sibuk dengan pesanan para pelanggan.

Selain itu, Ray yang melihat bagaimana ramainya pengunjung resto yang datang di waktu akhir pekan ini, membuatnya merasa ada kebanggaan tersendiri.

"Apa lo akan terus seperti ini?" Tanya Robin yang merasa terabaikan sejak kedatangannya.

"Maksud lo apa?"

"Ya gini—terus menatap ke dalam resto dan berharap bisa melihatnya. Sampai bos yang di sini lo abaikan."

Ray terkekeh mendengar kalimat terakhir dari Robin.

"Gue cuma ingin ngeliatin bagaimana keadaan resto ini." Sahut Ray.

"Alasan aja lo. Pasti juga karena dia."

Ray menggeleng.

"Nggak, bro. Gue serius. Gue akui—selain alasan gue berharap dia bisa keluar dari dapur supaya gue bisa ngeliat dia lagi. Tapi di sisi lain—gue sangat senang dengan ngeliat keadaan resto yang semakin ramai ini."

Ray berkata dengan senyumnya yang perlahan mengembang. Dia tidak menyangka bisnis yang tidak pernah di geluti sebelumnya itu akan membuahkan hasil yang baik. Ya meskipun dia tidak turun tangan secara langsung.

Karena pria itu memang jarang sekali datang ke sini untuk ikut andil dan mengeceknya. Ray hanya mempercayakan semua itu pada sahabatnya yang lebih memahami tentang bisnis ini. Dengan melaporkan setiap minggunya bagaimana keadaan dan perkembangan dari resto ini.

"Dan dengan terpaksa gue emang harus ucapin rasa terima kasih gue sama lo. Karena lo bener-bener ngebantu gue buat ngembangin resto ini. Dan di waktu yang baru berjalan setengah tahun ini, gue sudah bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan abang gue." Ujar Ray.

"Ya, ya. Lo nggak perlu berterima kasih sama gue seperti itu. Gue juga seneng bisa ngebantu pekerjaan lo yang ini. Ya walaupun gue juga harus bolak balik ke resto milik gue sendiri yang ada di dalam mall dan juga toko distro yang baru gue jalani itu."

Ray terkekeh.

"Sorry untuk itu. Lo jadi nggak bisa fokus juga pada usaha milik lo sendiri." Ujar Ray sedikit merasa bersalah akan hal itu.

"No problem. Nggak masalah. Asal semua udah cocok di awal aja, gue bersedia membantu lo." Ujar Robin sambil terkikik kecil.

"Lo tenang aja. Lo tinggal bilang kalo misal lo merasa kurang selama ini. Gue pasti akan kasih lebih."

"Itu udah lebih dari cukup buat gue, bro. Gue emang ingin langsung ngebantu lo saat tahu lo berniat akan membuka resto ini. Tapi—ada hal yang buat gue juga penasaran sama lo waktu itu, bro?"

Ray yang bingung dengan maksud dari Robin, hanya bisa mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa lo bisa terima begitu aja permintaan dari abang lo buat ngejalani bisnis ini? Kenapa nggak mempercayakan bisnis ini pada Zacky yang emang dia suka sekali dengan bisnis yang berbau makanan seperti ini. Atau—Bang Radja bisa aja ngejalani semuanya ini sendiri kan?" Ujar Robin memberondongi pertanyaan itu pada Ray.

Ray mengangkat kedua bahunya. "Gue juga kadang masih bingung kenapa harus gue yang menjalankan bisnis ini. Setiap kali gue tanya, Bang Jaja cuma bilang emang seharusnya gue yang menjalankan bisnis ini."

"Tapi lo kan bisa bilang kenapa bukan dia atau Zacky yang menjalankan bisnis ini kan?"

"Udah, bro. Tapi Bang Jaja selalu bilang kalo Jeje itu udah ada bisnis toko bakery. Dan dia juga sekarang lagi sibuk di sana, jadi dia harus menyerahkan bisnis resto ini sama gue dan harus dijalankan. Padahal gue juga sering bilang kalo gue itu sibuk banget di perusahaan, tapi Bang Jaja selalu bilang juga jika itu nggak akan jadi masalah karena dia tahu dengan kemampuan gue."

"Dan—lo nggak bisa berbuat apapun selain hanya bisa menjalankan bisnis ini kan?"

"Ya begitulah. Awalnya gue dan Jeje udah sering kali protes masalah ini, tapi Bang Jaja juga selalu bisa menang saat kita sedang berdebat dan adu mulut kalo udah membahas hal ini."

Robin hanya bisa terkekeh mendengar cerita itu. Dia sudah tahu mengenai cerita itu. Robin juga tahu jika ada tiga pria yang meski tidak semuanya memiliki ikatan darah secara langsung—tapi rasa persaudaraan mereka begitu terasa hangat—itu sangat menyukai dan gemar sekali dengan hal yang berbau makanan.

Ketiganya akan langsung saling rebut jika sudah bertemu dengan yang namanya makanan. Berbeda dengan kedua kakak beradik beda ibu itu yang memang bisa sibuk juga di dapur, Ray hanya sebatas menyukai dan hanya bisa makanannya tanpa bisa untuk membuatnya alias dia tidak bisa memasak. Meskipun begitu, Ray mempunyai rasa yang tinggi untuk menilai sebuah makanan itu terasa enak atau tidak untuknya.

"Dia paling sebentar lagi keluar dari resto karena udah jadwalnya dia pulang." Ujar Robin kini kembali membahas gadis itu dengan memberi info baru pada Ray.

Ray yang mendengarnya, melirik sekilas pada jam yang ada di dinding, pandangannya kini juga sering terfokus ke arah resto.

"Tapi lo nanti jangan kaget kalo ada yang jemput dia." Ujar Robin lagi.

"Maksudnya?"

"Nanti yang jemput dia itu laki-laki, bro. Gue nggak tahu siapa dia, bisa jadi temannya atau malah pacar. Karena cowok itu juga sering antar jemput Jihan, temannya. Gue cuma takut aja ntar lo langsung samperin dia dan lo main tonjok aja. Kayak dulu yang lo lakuin itu ke Zacky, cuma gara-gara perkara cewek doank."

"Nggak usah mulai ngebahas masalah itu lagi deh. Lo kan tahu kenapa dulu gue sampai ngelakuin itu sama dia." Ujar Ray.

Ray hanya mendengus mendengar tawa dari Robin. Pria itu kini melirik pada cake yang ada di atas meja. Sepertinya dia harus mencoba itu sekarang.

Ray mengambil satu potong cake itu untuk bisa dicobanya. Dia merasai bagaimana rasa dari cake yang di buat oleh gadis itu.

"Rasa dari cake ini nggak asing bagi gue." Ujar Ray setelah mencicipi satu potong cake itu.

"Lo kan biasa makan itu dari toko bakery punya Zacky." Sahut Robin.

Ray menggeleng. "Nggak, bro. Yang di tokonya Jeje rasanya sangat berbeda sama yang ini."

"Masa sih?" Robin ikut mencoba mencicipinya. "Sama sih menurut gue." Ujar Robin setelah mencicipi cake itu.

"Nggak, Bin. Gue udah sering makan cake yang di tokonya Jeje. Tapi rasanya berbeda sama yang baru di buat sama gadis itu. Dan sebelum Jeje bikin satu menu itu di toko bakery-nya, gue emang ngerasa udah pernah mencoba ini sebelumnya." Ujar Ray.

Ray mengambil lagi satu potong cake itu. Begitu juga dengan buah strawberry dengan warna merah yang di bawa sekalian oleh gadis itu saat mengantarkan cake itu.

"Gue bawa pulang aja ya cake dan strawberry ini." Lanjut Ray lagi.

"Iya. Tapi sisain cake-nya sedikit kek. Gue juga pengen lagi. Siapa tahu gue bisa ketagihan."

Ray mendengus mendengarnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!