Siapa Namamu?

Erick tak tahu apa yang membuatnya ragu meninggalkan gadis yang tadi diselamatkannya, sendirian di rumah sakit, padahal beberapa orang perawat yang bertugas juga sudah mengatakan jika dirinya dipersilakan untuk pulang. Mungkin karena sisi kemanusiaannya yang terusik, dia pun akhirnya memilih untuk tetap berada di sana. Bahkan, dia juga meminta pihak rumah sakit untuk memindahkan Shelin ke ruang perawatan yang lebih bagus daripada sebelumnya, agar gadis itu tak perlu satu ruangan dengan beberapa pasien lain.

Dering ponsel Erick membuyarkan isi kepala lelaki itu. Nama Lalita, sang mantan istri tertera di sana. Erick langsung menegakkan punggungnya yang sebelumnya dalam posisi bersandar, lalu menerima panggilan tersebut.

"Ya, Lita?" jawab Erick. Dia berusaha untuk setenang mungkin, meski dadanya bergemuruh tak menentu. Momen di mana sang mantan istri menghubunginya lebih dulu sangatlah jarang, sehingga dia selalu senang luar biasa jika hal tersebut terjadi, meski sudah pasti hal itu dilakukan Lalita hanya demi anak mereka saja.

"Aku dan Kalan akan pulang ke Indonesia seminggu lagi," ujar mantan istri Erick itu di seberang sana. Seperti biasa, suaranya terdengar lembut dan bersahaja. Membuat kerinduan di hati Erick pada sosok itu semakin membuncah.

"Kalian akan pulang seminggu lagi?" ulang Erick nyaris tak percaya. Kalan yang disebut Lalita tadi adalah Kalandra, putra mereka yang saat ini telah berusia hampir lima tahun.

Empat tahun sudah Lalita membawa Kalandra tinggal di Paris, karena mantan istri Erick itu memutuskan untuk belajar fashion design, impiannya yang dulu sempat tertunda karena menikah dengan Erick. Setelah mereka bercerai dan Lalita melahirkan, Lalita pun memutuskan untuk melanjutkan meraih impian itu.

"Iya. Kalan ingin kamu menjemput di bandara. Aku sengaja memberitahumu jauh-jauh hari supaya kamu bisa meluangkan waktu," sahut Lalita.

"Ah, iya. Tentu saja," jawab Erick cepat. Dia senang, amat sangat senang, seolah mendapatkan sebuah jacpot.

Lalita mengakhiri panggilan telepon setelah mengatakan apa yang ingin dia katakan. Memang selalu seperti itu. Mantan istri Erick itu menghubungi Erick benar-benar hanya untuk sesuatu yang menyangkut anak mereka, tidak lebih.

Sambungan telepon telah terputus, tapi Erick masih menatap ke arah layar ponselnya, seolah tak rela pembicaraannya dengan Lalita berakhir begitu saja. Namun, sesaat kemudian, senyuman terukir di bibir Erick tatkala teringat apa yang mantan istrinya itu sampaikan barusan. Seminggu lagi, dia akan bertemu dengan Lalita dan Kalandra, dua sosok paling berarti dalam hidupnya.

Tiba-tiba saja lamunan Erick buyar saat mendengar suara erangan tepat dari arah sebelahnya. Sontak dia menoleh ke arah Shelin yang terbaring di atas brankar. Gadis itu tadi sempat siuman, tapi langsung terlelap ketiduran karena efek obat yang disuntikkan padanya. Sepertinya saat ini dia sedang mengigau.

Erick pun menyimpan kembali ponselnya, lalu bangkit. Perlahan dia mendekat ke arah Shelin sembari menatap raut wajah terpejamnya yang tampak tegang.

"Ja ... ngan ...." Gadis itu bergumam tak terlalu jelas. "Sudah, Om ... sakit ... stop ....."

Erick terkesiap. Gadis di hadapannya itu merintih dengan sangat memilukan, padahal matanya masih terpejam rapat. Keringat dingin juga tampak mengalir di dahinya.

Tanpa sadar tangan Erick terulur dan menyeka dahi Shelin menggunakan tisu yang tersedia. Sungguh aneh, padahal dia tak mengenal siapa gadis ini, tapi kenapa ekspresi menderita dengan mata terpejam yang diperlihatkan padanya membuat perasaan Erick terasa bagai dicubit.

"Sebenarnya apa yang sudah kamu alami, Nona? Siapa yang telah membuatmu jadi seperti ini?." Erick bergumam seolah Shelin bisa mendengarnya. "Sebaiknya saat terbangun nanti, kamu langsung mengatakan semuanya, agar orang-orang bisa menolongmu dengan lebih mudah."

Sentuhan tisu yang lembut di dahi Shelin membuat kerutan di kening gadis itu perlahan memudar. Wajahnya mulai terlihat rileks. Napasnya pun mulai beraturan kembali. Hal itu membuat Erick tanpa sadar menghela napas lega.

Namun, pada saat Erick hendak kembali ke tempat duduknya, mata Shelin malah terbuka secara tiba-tiba. Gadis itu refleks langsung mengambil posisi duduk sembari menatap ke arah Erick dengan ekspresi waspada.

Erick mematung sejenak, sebelum akhirnya mengerti situasi saat ini.

"Tenang, Nona. Saya di sini tidak ada niat buruk sama sekali," ujar Erick berusaha menenangkan Shelin.

Tapi sepertinya gadis itu tak terlalu mempercayai perkataan Erick, pasalnya dia yang masih berada di atas brankar rumah sakit justru beringsut mundur sampai tubuhnya mentok ke dinding.

"Saya sungguh tidak berniat menyakiti Nona. Jangan khawatir, oke?" pinta Erick lagi.

Melihat gadis itu yang tampak mulai tegang, Erick pun akhirnya menghubungi perawat yang berjaga melalui saluran interkom. Tak lama kemudian, dua orang perawat datang dan memeriksa keadaan Shelin. Para perawat itu juga menangkan Shelin dan menjelaskan jika Erick adalah orang yang membawa Shelin ke rumah sakit.

Shelin akhirnya jauh lebih tenang meski wajahnya masih menyimpan kewaspadaan terhadap Erick. Kemudian dia juga bisa mengingat jika Erick adalah sosok yang menggagalkan aksi nekatnya di jembatan layang tadi.

Kedua perawat yang dipanggil Erick tadi akhirnya pamit setelah dirasa telah cukup memeriksa dan menenangkan Shelin. Membuat Shelin dan Erick kembali berdua saja.

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa sudah merasa jauh lebih baik?" tanya Erick.

Shelin tak menjawab. Dia hanya menatap ke arah Erick dengan ekspresi campur aduk.

"Oh, iya. Kita belum berkenalan, kan? Nama saya Erick. Siapa namamu?" tanya Erick lagi, berusaha untuk mengajak bicara Shelin meski dari tadi tak ditanggapi.

"Shelin." Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Shelin menjawab dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Shelin?" ulang Erick.

Shelin mengangguk pelan, lalu menunduk. Dia kemudian menyadari jika saat ini telah berganti pakaian dengan piama yang nyaman. Pantas saja rasanya jauh lebih hangat.

Sontak Shelin mengangkat wajahnya kembali dan melihat ke arah Erick dengan ekspresi yang kembali berubah cemas.

"Ah, itu, pakaianmu sudah robek di beberapa bagian, jadi aku meminta perawat untuk menggantinya dengan yang kamu pakai sekarang. Jangan khawatir, bukan aku yang melakukan itu," ujar Erick saat menyadari kekhawatiran Shelin.

Shelin kembali menunduk tanpa mengatakan apapun. Tiba-tiba saja perasaan malu dan sedih menyusup ke dalam hatinya secara bersamaan mengingat sikapnya barusan. Padahal sudah banyak lelaki yang telah melihat dan menikmati tubuhnya. Lalu kenapa barusan dia bertingkah seolah gadis suci?

Air mata Shelin kembali mengalir tanpa sadar mengingat situasi dan kondisi dirinya saat ini. Gadis itu terisak tanpa bisa menahan. Dia memeluk erat kedua lututnya dan menelungkupkan wajahnya. Tubuhnya bergetar dan bahunya terguncang hebat, membuat siapapun yang menyaksikan akan langsung memahami betapa sulitnya hidup yang dia jalani.

Erick terkesiap. Dia menatap nanar ke arah gadis di hadapannya itu. Entah saat ini dia sedang bersimpati, kasihan atau apa, tapi satu yang diyakininya, dia mesti menolong gadis ini.

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Em Mooney

Em Mooney

ealah... erick ny masih cinta sm lita. hmm

2023-12-31

0

Enisensi Klara

Enisensi Klara

tetap semangat shelin 😳

2023-10-11

0

@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

shelin & erick akan saling menyembuhkan

2023-10-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!