Shelin melangkah terseok-seok menyusuri jalanan dengan kondisi pakaian yang sedikit compang-camping. Kakinya terasa lemas dan gemetaran, tapi dia paksa untuk terus melangkah tanpa arah. Wibowo dan teman-temannya bersenang-senang dengan tubuh Shelin tak ubahnya melakukan rudapaksa. Mereka semua benar-benar binatang buas yang tak memiliki perasaan, bukan manusia.
Jika saja tidak ada telepon penting dari seseorang untuk Wibowo, mungkin saat ini Shelin masih harus melayani para lelaki tak bermoral itu. Untung saja Wibowo harus cepat-cepat pergi, sehingga teman-temannya yang lain juga harus bubar. Kini tinggalah Shelin seorang diri, setelah sebelumnya para lelaki itu memberikan tip lebih supaya Shelin bisa menaiki taksi, pasalnya sopir yang menjemput Shelin sebelumnya mesti mengantar Wibowo ke suatu tempat.
Shelin tak menaiki taksi. Dia keluar dari hotel dengan penampilan seperti orang gila, pasalnya rambutnya dia biarkan acak-acakan, pakaiannya juga dia biarkan compang-camping setelah dirobek oleh Wibowo dan teman-temannya. Dia berjalan tanpa tahu harus kemana. Tak peduli pada beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya dengan tatapan heran dan juga aneh. Tak ada lagi pula keinginan untuk kabur, karena biasanya, beberapa saat lagi orang suruhan Mami Lusi pasti akan menemukan dirinya.
Suara deringan ponsel Shelin terdengar, membuat gadis itu menghentikan langkahnya sejenak. Dia pun merogoh tas tangan yang dibawanya dan melihat siapa yang menghubungi. Tertera nama ibunya di layar ponsel.
"Halo, Bu." Shelin menjawab panggilan tersebut meskipun sebenarnya dia sangat enggan.
"Shelin, kenapa pesan Ibu dari tadi tidak dibaca? Boro-boro mau dijawab." Suara cempreng yang khas terdengar di seberang sana. Suara dari perempuan bernama Anis, sosok yang telah melahirkan Shelin.
"Shelin lagi kerja, Bu, jadi tidak sempat memeriksa hp," sahut Shelin.
Anis mendengkus di seberang sana. "Kenapa kamu belum kirim uangnya?" tanya Anis.
"Sudah, Bu. Shelin sudah kirim uangnya. Masa belum masuk?" Shelin balik bertanya.
"Maksud kamu yang dua juta itu?"
"Iya," sahut Shelin pelan.
"Kan Ibu sudah bilang, Shel. Dua juta itu cuma buat bayar bunga pinjaman Ibu. Kalau cuma itu, gimana Ibu sama saudara-saudaramu bisa makan?" Nada suara Anis terdengar jengkel.
Shelin memejamkan mata sembari membuang napas kasar. Sebanyak apapun dia mengirim uang pada ibunya itu, tetap saja tak ada ucapan terima kasih untuknya. Yang ada, Anis akan terus mengomel jika uang yang dikirim tidak cukup. Padahal, Shelin mesti menenggelamkan diri ke dalam lembah dosa demi untuk mendapatkan uang itu.
"Bu, anak Ibu yang sudah besar itu bukan cuma Shelin saja. Ada Kak Bima dan Kak Raya juga kan di sana? Kenapa Ibu tidak minta juga sama mereka? Shelin cuma bisa kirim segitu, Bu. Shelin tidak punya uang lagi," sahut Shelin kemudian sambil menahan tangis.
"Halah, bohong. Santi bilang, kamu itu di sana kerjanya enak, nyantai, terus sering dapat bonus berjuta-juta. Kamu sekarang mau perhitungan sama Ibu, ya?" Anis tak percaya.
"Santai? Enak?" ulang Shelin sambil tertawa miris. Dia benar-benar takjub dengan ucapan yang dikatakan oleh Anis barusan, terlebih ibunya itu mendengar dari Santi, sosok yang membawanya ke kota dan menjerumuskannya menjadi seperti sekarang.
"Kalau orang tua ngomong itu jangan dianggap bercanda ya, Shelin!" sergah Anis.
"Siapa yang sedang becanda, Bu? Shelin cuma merasa lucu saja karena Ibu sering terdengar lebih percaya pada Santi daripada dengan anak Ibu sendiri." Shelin menjawab dengan pahit.
Miris sekali rasanya Shelin saat ini, perempuan yang melahirkannya ke dunia ini justru tak peka sama sekali dengan penderitaan yang dia rasakan. Tidak pernah sekalipun Anis menanyakan bagaimana kabar Shelin atau mengkhawatirkan keadaannya. Yang ditanyakan perempuan itu setiap menghubungi Shelin hanyalah tentang kiriman uang. Sudahkah Shelin mengirim uang dan seberapa banyak yang dikirim. Hanya tentang itu saja.
"Kalau kamu memang sayang sama orang tua dan saudara-saudaramu, jangan makan enak sendiri, Shelin! Di sini kami kelaparan!" seru Anis lagi.
"Makan enak sendiri? Kapan memangnya aku pernah makan enak sendiri? Setiap yang yang aku dapatkan, langsung aku kirim ke kampung. Aku sendiri sering tidak punya cukup uang hanya untuk sekedar membeli semangkuk bakso hangat. Apanya yang makan enak sendiri? Apa Ibu tahu, hari ini aku bahkan belum makan sejak tadi siang?" Shelin meradang. Dia tak terima dengan tuduhan tak berdasar yang Anis lontarkan padanya. Ucapannya pun berubah jadi tidak sopan.
Tangis Shelin pecah. Gadis itu akhirnya tak sanggup lagi menahan gemuruh di dalam dadanya. Dia berusaha untuk terdengar baik-baik saja selama ini setiap kali Anis menelepon, hal itu karena dia tak ingin menyusahkan dan menambah beban pikiran. Tak disangka dia malah jadi dituduh yang tidak-tidak.
"Bilang pada Kak Bima dan Kak Raya, kerja! Jangan hanya menunggu uang kiriman dariku. Kalau perlu, kais tanah seperti ayam! Siapa tahu bisa dapat makan di sana!"
Shelin melempar ponselnya begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Anis. Tubuhnya luruh ke aspal dengan tangis yang semakin menjadi. Tak dia pedulikan beberapa orang yang lewat melihat ke arahnya sambil saling berbisik. Gadis itu putus asa. Rasanya tak ada lagi alasan baginya untuk terus melanjutkan hidup.
"Ayah ...." Shelin bergumam dengan suara bergetar. Dia sungguh merindukan sosok bersahaja itu. Sosok yang paling mengerti dirinya dan memahami keinginannya, tanpa harus dia berkata-kata.
"Kenapa Ayah tidak ajak Shelin saja, Yah? Kenapa Ayah pergi sendirian," ujar Shelin di sela isakannya.
Dulu kala, saat dirinya kecil, cita-cita Shelin sangatlah sederhana. Dia ingin menjadi seorang guru, karena itu adalah cita-cita sang ayah yang tak kesampaian. Ayah Shelin bilang, guru adalah pekerjaan yang mulia dan terhormat, meski tak bisa membuat kaya. Membuat generasi yang tak tahu apa-apa menjadi berilmu. Sayangnya, ayah Shelin hanya tamatan sekolah dasar dan tak bisa meraih cita-cita mulia itu. Lalu sekarang, Shelin juga tak bisa mewujudkan impian sang ayah.
Shelin menangis pilu sambil menelungkupkan wajahnya. Yang paling membuatnya sedih bukankah kegagalannya mencapai impian sang ayah, melainkan kegagalannya untuk hidup dengan terhormat. Saat ini, dia justru menggadaikan diri pada kenistaan hanya demi uang. Sungguh miris.
Setelah beberapa saat, Shelin pun bangkit dan menyeka air matanya dengan kasar. Dia kembali melangkah tanpa arah, sampai kemudian berhenti di sebuah jembatan layang. Shelin memegang pagar pembatas dan melihat ke arah bawah, lalu menengadahkan kepalanya.
"Ayah, maukah Ayah menyambut tanganku sekarang?"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Em Mooney
tuhkan.. sedih. emng semua karya ny skl sedihnya begini y
2023-12-31
1
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
mengsedih Mak cerita shelin
2023-10-07
1
M akhwan Firjatullah
sedih nya dapet banget kayak si siapa itu yg zaya ma Aron apa y pokok e mbok e Albert Sopolah kae d novel itu ak nangis sampe bengkak mataku makkk yg pas cere itu lho terus yg zaya nya minta d temani ngedate terakhir ma Aron sedih banget pokoknya itu
2023-10-06
1