episode 5

"Put, aku mencintaimu!" Kuucapkan kalimat ini sebelum akhirnya benar benar terdiam, menanti jawaban dari bibir Putri atas perkataanku.

Kulihat Putri sejenak tertunduk. Kemudian menatap dan mengutarakan perasaannya tentang ucapanku.

"Sebenarnya..., aku..."

Kata kata Putri tiba tiba saja terhenti, membuatku benar benar penasaran. Jantung ini berdegup semakin tak karuan. Aku hanya bisa pasrah menanti keputusan Putri padaku.

Sebentar kemudian, Putri menghela napas panjang dan melepaskannya perlahan, lantas melanjutkan perkataannya. "Maafin aku, Rey, jika ternyata selama ini sikapku telah membuatmu jatuh cinta. Namun, aku juga nggak ada maksud untuk menyakiti hatimu. Tapi, apa boleh buat, aku harus katakan semua ini padamu agar nggak ada lagi salah paham antara kita dan harapan hampa di hatimu," katanya dengan lembut.

Sejenak, dia menatapku, lalu menunduk.

Jantungku berdebar tak karuan mendengar ucapannya.

Kembali Putri menghela nafas panjang, menghembuskan perlahan, dan melanjutkan lagi perkataannya.

"Selama ini, sebenarnya aku juga mencintai, menyayangi, dan ingin mencurahkan kerinduanku padamu, Rey."

Mendengar semua itu, walaupun senang, aku seolah tak percaya. Kutatap mata Putri dalam dalam, mencoba mencari kebenaran atas ucapannya. Tak sedikitpun, ada kebohongan terlintas dari sinar matahari itu. Yang kudapat hanya kebenaran dan kesungguhan sebuah ketulusan hati.

Aku tak dapat menahan emosi. Segera kupeluk Putri dengan segenap perasaan cinta dan kebahagiaanku.

"Makasih ya, Put!"

Perlahan, Putri melepaskan pelukanku. Kami saling pandang dan tersenyum, merasakan kebahagiaan. Kulihat dia terdiam. Kulihat dia ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan Aku sungguh tak tahu apa yang dia inginkan dariku. Aku berniat mencium keningnya dengan segala indahnya perasaan cinta. Tapi, tiba tiba...

"Ssst...!" Putri melarangku sambil meletakkan telunjuk kanannya bibirku.

Aku mengurungkan niatku dengan perasaan sedikit kecewa. Sesaat setelah menatapku dan tersenyum manis, dia menepuk bahu kanan dan menasehatiku dengan lembut serta santun sekali, membuat orang yang mendengarkannya terkesima, seolah terhipnotis untuk menurutinya.

"Rey, maafin aku, ya! Bukannya nggak mau kau menciumku, tapi sungguh, aku sangat takut, takut bila ketulusan cinta kita ingin menjadi penghapus ridha dari Allah. Aku takut bila kebahagiaan sesaat kita ini akan menjadi kesengsaraan yang nggak terperit di akhirat nanti."

"Maksudnya, Put? Bukankah Allah ridha pada ya namanya ketulusan, keikhlasan, dan kejujuran serta kerelaan hati untuk terbagi? Bukankah Allah suka orang-orang yang saling menyayangi dan saling mencintai?!"

Putri menatap seraya tersenyum dengan tatapan yang ku artikan seumpama seorang dosen yang mengajar mahasiswa yang tidak pintar, tapi ngeyel tak ketulungan yang tanpa otak. Tak bermutu.

"Benar, Rey. Cinta memang membutuhkan ketulusan, kerelaan, dan keikhlasan, bahkan pengorbanan yang nggak terkira dalam mencintai demi Cinta itu sendiri akan tetap bertahan, juga demi kebahagiaan itu. Dan, itulah yang kusuka darimu, Rey, terkadang manusia lupa, bahkan nggak paham, atau lebih parah lagi nggak mau memahami arti dari ketulusan, kerelaan, keikhlasan, dan pengorbanan yang sebenarnya.

"Dengan alasan demi mendapatkan kebahagiaan itu, manusia justru melupakan atau enggak mempedulikan lagi arti dari dasar cinta itu. Dengan alasan cinta membutuhkan pengorbanan, manusia mengorbankan aqidah agama, nggak mau lagi berpikir jernih, dan nggak bisa membedakan antara nafsu dan cinta. Manusia menganggap itu semua demi cinta sehingga melakukan apa saja dengan alasan demi cinta.

"Saat itulah, bujuk rayu setan menggoda dengan memberikan bias ketulusan cinta, bias palsu pengorbanan ke dalam hati yang lemah imannya. Dia menjadikan pandangan kita selalu benar dan baik, menjadikan dosa sebagai pahala karena telah berkorban dengan tulus demi Cinta. Padahal, itu palsu. Padahal, itu adalah nafsu yang tercela nggak terkira.

"Inilah yang menjadikan Allah murka dan menghapus ridha nya untuk cinta. Kebahagiaan yang kita rasakan di dunia justru di akhirat nanti akan menjadi kesengsaraan yang nggak terkira. Maafkan aku, Rey, bila ucapanku menyinggung perasaanmu."

"Nggak, Put. Justru, aku yang mohon maaf atas kekhilafanku. Aku telah terhasut oleh bujuk rayu setan durjana demi kebahagiaan yang semu karena nafsu itu. Aku sungguh bangga dan bahagia telah mendapatkan wanita seperti dirimu. Segala puji syukur kepada Allah telah mempertemukan aku denganmu. Tapi, Put..., tapi aku sungguh malu denganmu, Put. Seharusnya, akulah yang bertanggung jawab membimbingmu, tapi aku.... aku...., aku merasa diriku nggak pantas untukmu."

"Jangan begitu, Rey. Kita sesama Muslim dan mukmin haruslah saling mengingatkan agar kita nggak menjadi orang yang rugi."

"Makasih, Put. Demi Allah, aku akan menyayangimu selamanya."

...****************...

Waktu terus berlalu. Hari itu, di pagi itu, di akhir bulan Juni. Penerimaan laporan studi menjadi saat berbahagia bagi seluruh siswa yang lulus ke kelas sesuai pilihan jurusannya. Tapi, tidak denganku. Aku tak dapat tertawa lepas dan bersuka ria seperti mereka. Kesedihanku tumbuh ketika Putri mengatakan bahwa dia harus pulang ke Ujung Pandang karena permintaan orang tuanya. Sungguh, aku tak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Kesedihan ini terus tumbuh memayungi ruang hatiku.

Harapan untuk dapat menikmati liburan bersama yang telah kami rencanakan pun pupus sudah. Tak lagi aku dapat bersama merawat mawar di Bukit Cinta. Tak lagi dapat bercanda, bercerita, dan menikmati indahnya sunset dan wangi sang mawar. Tanpa Putri, semua terasa tak berarti. Tanpa Putri, semua terasa sendu. Tak lagi syahdu. Semua yang ada di Bukit Cinta, yang dulu terasa, terdengar, dan terlihat indah tak lagi kurasa dan tak dapat ku nikmati meski aku telah mencobanya.

"Ah...!"

Harapanku tinggal angan dan sekadar rencana yang tak terealisasi. Tapi, apa mau dikata. Sang waktu lebih tahu ke mana harus melangkah membawaku, membawa takdir cintaku. Waktu memang tak berpihak. Dia hanya memberiku kesempatan bersama putri kurang dari empat bulan, memaksaku melepaskan kebahagiaan ini, menggantinya dengan kepedihan dan secangkir kenangan yang telah terukir di altar hidupku.

"Put, di sana cuma selama liburan aja, kan? Kamu nggak pindah sekolah di sana, kan? Put, tolong berjanjilah untukku, kamu pasti akan kembali ke sini lagi! Tolong katakan padaku kamu nggak akan lama di sana! Put, pliiiss..., buat hatiku sedikit tenang. Aku nggak mau terlalu lama jauh darimu, Put."

Beberapa saat, kulihat Putri hanya terdiam dan tertunduk. Wajahnya terlihat pucat, tak seperti biasanya. Mata bening dan bersinar itu kini terlihat redup dan sembab dengan air mata. Bibirnya yang indah terlihat bergetar menahan tangis. Kesedihan yang sama kurasakan. Sesaat kemudian, Putri mengangkat wajahnya sambil menarik napas panjang dan melepasnya perlahan, seolah mencoba melepas beban berat. Dia menatapku penuh kesedihan dan keharuan. Dari bibirnya, tersungging senyum berat.

Aku tahu dia masakan senyum itu. Aku tahu Putri mencoba menenangkanku dengan senyuman itu, seperti yang biasa ia lakukan ketika kami sedang ada masalah atau sedih.

Aku mencoba memeluknya, berharap agar kesedihan di hati kami terlepas. Akan tetapi, rasa itu justru semakin menggila. Tetapi, Putri mencegahku untuk melakukannya. "Maafin aku, Put. Aku nggak sengaja. Aku hanya ingin sedikit mengurangi sedih ini," kataku.

"Nggak apa, Rey," jawabnya.

_bersambung_

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!