Kubuka mata. Aneh! Di mana kekasihku? tanyaku dalam hati. Kulihat sekeliling dan kutahu bahwa aku sudah tak lagi berada di tempat semula berdiri. Namun, aku merasa sudah tak asing lagi dengan tempat ini. Aku terduduk dan menatap suasana tempat ini. Aku masih merasakan lembut sang angin membelaiku.
Hatiku berkata, Subhanallah...!
Tempat yang indah, begitu indah, dan akan menjadi tempat terindah dalam hidup dan kehidupanku meski tanpa bunga bunga yang menghiasi dengan kecantikan warna dan semerbak wangi keharumannya.
Menerawang tatapan mata ini, jauh ke ujung bukit. Kulihat serangkai bunga mawar yang begitu merekah dan memaksaku untuk menghampirinya. Sejenak, kupandangi mawar di hadapanku ini. Ku petik mawar ini hingga akhirnya aku pun kembali duduk. Kupandangi mawar ini dan tak tahu apa yang harus aku pikirkan dan lakukan.
Membisu. Aku hanya mampu membisu. Itu yang dapat aku lakukan sambil masih setia menatap serangkai mawar di tangan kiri ku. Kubiarkan anganku melayang, terbang tinggi jauh ke awan hingga membawa ingatanku pada sebuah syair.
Kesunyian membelah malam ini
Mengingatkan aku pada lincah lakumu
Manis senyummu, lembut belaianmu, dan hangat kecupmu
Aku merindukanmu...!
Rindu dan cinta yang menemani
Yang tercipta membuat hati terbeku rasa
Tak bisa tuk mencinta yang lain
Hanya hatimu...!
Cinta di hatiku
Tak kan pernah terhapus apa pun
Setialah untukku...!
Rindu di dadaku
Takkan berkurang sedikitpun
Meski kau di dekatku... di pelukku...!
Lalu, beranjak aku dari tempat ini dengan sejuta pikiran yang memenuhi memori di otak dan kepenatan jiwaku. Sungguh, aku sungguh tak dapat mengungkapkan ketakutanku ini dengan kata kata yang tepat.
"Kekasihmu sudah berada di tempat lain. Duniamu sudah berbeda dengan dunia kekasihmu! Relakan dia menghadap - Nya"
Kata kata itu masih saja mengiang jelas di telinga dan ingatanku.
Harapan! Doa! Ya..., inilah sesuatu yang membuatku bertahan dan bersemangat menjalani hidup dan pesan agar aku menjaga dan merawat bunga mawar kami di Bukit Cinta di Gunung Merbabu.
"Mawar putih di Bukit Cinta!" kataku.
"Baiklah, sayang. insyaallah, besok pagi aku akan kesana," janjiku pada diri sendiri dan pada jiwa Putri yang aku yakin setia di sampingku.
...****************...
Selama mempersiapkan keperluan ini, perasaan rindu pada Putri tidak juga tertepis ataupun sedikit terlupa dari ingatanku barang sejenak. Tapi, aku tidak merasa aneh karena perasaan kadang kadang memang menciptakan sesuatu yang aneh dan kadang juga membuat pusing, padahal sudah sering di temui. Inilah perasaan dari cinta pertama. Kali ini, aku tak mau ambil pusing. Kubiarkan saja semua menggelayuti dan pikiran hingga persiapan selesai dan terus berlanjut hingga malam menjelang.
Makan makin larut, tapi sungguh terasa sulit sekali bagiku untuk tidur. Padahal, aku tak ingin bangun kesiangan agar bisa sampai di Bukit Cinta agak pagi saat matahari belum begitu panas bersinar. Kupaksakan memejam memejamkan mata, namun tetap tidak bisa juga tertidur, seperti ada batang korek api menopang kelopak mataku. Bayang bayang kejadian tadi pagi dan wajah Putri terus menggangguku.
"Ya Allah..., tolonglah hamba - Mu ini, ya Allah...!" jeritku dalam hati.
Akhirnya, aku bangun dari tempat tidur. Kuambil pena dan buku harian. Kucari lembar kosong dan ku tuliskan apa yang ada dalam otak.
...cinta memang begitu indah, apalagi cinta pertama. seperti aku. mungkin kalian juga tak dapat melupakan cinta pertama. sebuah cinta yang tulus tanpa didasari hawa nafsu dan begitu sempurna kau rasa keindahannya....
Semakin nyata bayang wajah Putri dan kenangan kenangan bersamanya. Sejenak, aku berhenti menulis dan ku pejamkan mata, berusaha untuk menghapus kenangan kenangan itu. Tapi, justru haru yang menderu, sedih yang sangat pedih, rindu yang tak tertahankan, dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk dalam hati ini. Semua ini sungguh membuat dadaku terasa sesak dan terhimpit sehingga bibirku pun bergetar menahan kepiluan karena kerinduan yang semakin menggila.
Aku berusaha tak ambil pusing dengan apa yang ku rasa ini, tapi tak bisa. Tak kusadari, telah menitik air mata, menetes ke kertas yang sedang kutulisi. Aku tak mempedulikan. Tangis pun tak dapat ku tahan lagi. Aku terisak isak. Hingga beberapa saat. Lalu, kurasakan hatiku sedikit lega. Ku seka air mata dan ku lanjutkan menulis.
...aku sungguh tak dapat melupakan cinta pertamaku, cinta Putri, meski hanya sekejap. sekuntum mawar ku tanam bersama Putri di sebuah tempat di Gunung Merbabu. kami sering menyebutnya Bukit Cinta. hingga kini, aku masih setia merawat mawar kami. setahun telah berlalu... mawar itu... kenangan itu......
Lega yang baru saja kurasa kembali sirna dan berubah menjadi pilu yang bertambah pilu. Namun, tetap ku tahan dan menulis kalimat lagi.
...ooh, Putri..., andai tuhan.......
Kutuliskan kalimat ini sebelum benar benar tak kuasa lagi melanjutkan menulis. Terisak aku di atas meja beralaskan kedua tangan. Terbenam aku dalam kepiluan mengenang kenangan yang tak bisa kutepiskan hingga akhirnya....
"Rey..., bangun, Rey!"
Terdengar suara yang sudah tak asing lagi memanggil.
Aku terjaga. Ternyata suara ibu. Kulihat jam beker menunjukkan pukul setengah lima. Segera ku ambil wudhu dan shalat subuh di masjid.
Setelah shalat, tak sengaja mataku tertuju pada diary yang masih terbuka dengan pena terletak di atasnya. Aku menghampirinya. Kuambil pena dan sejenak membacanya, tersisip getaran kepiluan dalam hati. Kutuliskan lagi kalimat yang sudah tersusun dalam otak.
...hanya kenangan dan sebuah gitar darinya yang kupunya, tanpa foto dan benda lain lagi kecuali surat yang Putri kirimkan kepadaku. tapi sampai sekarang, surat itu belum juga kuterima. Putri..., kenangan cintaku, bukit cinta..., saksi cintaku, dan sang mawar... kau lah penghias cintaku....
Kututup perlahan.
...****************...
Aku berangkat ke Merbabu dengan motor. Hari ini, aku datang ke Bukit Cinta untuk melihat dan merawat mawar seperti yang sering kulakukan pada waktu yang sudah sudah. Tapi kali ini, perasaaanku berbeda dengan perasaanku waktu lain. Ada debar debar aneh. Keharuan, kepiluan, kerinduan dan kebahagiaan bercampur aduk.
Sepanjang perjalanan, aku tak mau memikirkan perasaan ku itu. Aku berusaha menikmati perjalanan. Lika liku dan kelok kelok jalan serta jurang yang menganga di samping membuatku sedikit merasa ngeri. Namun, itu bisa membuatku sedikit melupakan kenangan kenangan itu. Ditambah dengan pemandangan yang begitu indah di sepanjang jalan. Bukit bukit di Gunung Merbabu pun seolah ikut menunjukkan kebolehan dalam menyajikan keindahan. Ladang ladang para petani di lereng lereng bukit sungguh menjadi pemandangan yang menakjubkan, menciptakan ornamen menyerupai candi berwarna hijau dan cokelat atau anak tangga yang indah bila di lihat dari kejauhan. Rumah rumah di perkotaan terlihat seperti kardus kardus berwarna warni yang berserakan. Jurang jurang di sisi jalan kadang membuatku merasa ngeri, kadang juga membuat ku merasa takjub dan merasa begitu kecilnya diriku ini di tengah tengah alam raya, apalagi dihadapan Tuhan.
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments