Festival sastra tinggal beberapa hari lagi. Aula kampus semakin ramai: suara musik percobaan dari pengeras suara, kursi-kursi ditata, dan spanduk besar bertuliskan “Malam Puisi: Kata Adalah Jiwa” tergantung megah.
Putri berdiri di sudut ruangan, memegang buku catatannya erat. Ia merasa asing di tengah keramaian, seperti daun yang terbawa arus sungai. Tapi hari itu, sesuatu terjadi—sesuatu yang membuatnya sadar bahwa persahabatannya dengan Celine tak lagi sama.
Di tengah latihan, Arka diminta maju ke panggung untuk membacakan teks sambutan singkat. Suaranya tegas, tapi tetap hangat, membuat semua orang terdiam mendengarkan. Setelah selesai, ia turun dengan wajah sedikit merah, malu karena semua mata menatap.
Celine segera menghampirinya. Dengan percaya diri, ia menyodorkan botol minum sambil berkata, “Kamu luar biasa, Arka. Aku yakin nanti malam puncak, semua orang akan terpesona sama kamu.”
Arka tersenyum, mengucapkan terima kasih. Tapi di sisi lain, Putri berdiri kaku. Matanya menatap adegan itu seperti menyaksikan sesuatu yang seharusnya ia abaikan, tapi tak sanggup. Ada rasa aneh yang menusuk dadanya—cemburu yang samar tapi menyakitkan.
⸻
Setelah latihan selesai, Celine menarik Putri ke samping. Senyumnya manis, tapi matanya menyimpan sesuatu.
“Put, aku harus ngomong jujur,” katanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Putri menatapnya hati-hati. “Tentang apa?”
“Arka.”
Nama itu meluncur seperti pisau.
“Aku tahu kamu sering ngobrol sama dia. Aku lihat cara dia memandangmu. Tapi, Put…” Celine menarik napas dalam, lalu menatap langsung ke mata sahabatnya, “…aku nggak akan menyerah. Aku benar-benar suka dia, dan aku akan berusaha.”
Putri terdiam. Kata-kata itu seperti garis pemisah yang ditarik di antara mereka. Seolah persahabatan yang selama ini mereka jaga bisa runtuh kapan saja.
“Celine…” suara Putri hampir tak terdengar, “…aku nggak pernah berniat merebut siapa pun darimu.”
Celine tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak lagi seperti dulu. “Aku tahu. Tapi hati orang nggak bisa dikendalikan, kan?”
⸻
Malam itu, Putri pulang dengan langkah gontai. Rumahnya sunyi, hanya suara jam tua berdetak dan batuk ayahnya dari ruang tengah.
Pak Rahman menatapnya sekilas ketika Putri masuk. “Dari kampus?” tanyanya singkat.
“Iya, Yah,” jawab Putri pelan.
“Jangan terlalu sibuk dengan acara itu. Ingat, masa depanmu bukan puisi.”
Kalimat itu menusuk lagi. Putri ingin marah, ingin berteriak bahwa puisi adalah satu-satunya hal yang membuatnya bertahan hidup, tapi ia hanya menunduk.
Di kamar, ia menulis:
“Ayah,
kau ingin aku jadi batu yang kuat,
tapi aku hanya pasir yang selalu jatuh di antara jari.
Jika puisi bukan masa depan,
lalu di mana aku harus hidup?”
Air matanya membasahi halaman. Malam itu, ia sadar bahwa dunia luar menekannya, dan dunia dalam rumah pun tidak memberinya tempat.
⸻
Keesokan harinya, saat rapat panitia, Putri kembali duduk agak jauh. Tapi kali ini, ia mendengar sesuatu yang membuat jantungnya hampir berhenti.
Celine berdiri di depan semua orang, membawa map berisi jadwal acara. Dengan suara lantang, ia berkata:
“Untuk sesi pembacaan puisi, aku sudah memilih beberapa penulis. Dan khusus untuk pembukaan, aku minta Arka yang membacakan karya Putri.”
Seluruh ruangan bertepuk tangan. Arka tampak kaget, lalu tersenyum ke arah Putri.
Namun, Putri hanya bisa menatap Celine dengan mata yang basah. Sahabatnya baru saja melemparkan dirinya ke tengah sorotan yang paling ia hindari. Ia tahu, itu bukan sekadar keputusan panitia. Itu adalah pernyataan.
⸻
Malamnya, Putri menulis lagi. Tapi kali ini, baitnya pendek, getir, seperti darah yang menetes:
“Sahabatku,
senyummu manis,
tapi di dalamnya ada pisau yang tak pernah kusangka.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Sity 28
bersyukur dpt hadia 😁
2023-10-10
0
amanda 1998
wkwkwk
2023-10-10
1
Ajeng
Buatkan Puisi buat aku dong 😁
2023-10-09
1