Hari-hari di kampus berjalan seperti biasa: mahasiswa berlarian dengan buku, dosen tergesa-gesa masuk kelas, dan suara pengumuman festival sastra memenuhi lorong. Namun bagi Putri, dunia tidak lagi terasa sama.
Setiap kali Celine menggandeng lengannya, Putri merasa berat. Ia tersenyum, ia tertawa, ia berusaha menjaga keakraban, tapi ada jurang yang perlahan menggali dirinya. Kata-kata Celine tentang Arka masih menggantung di udara, tak bisa lenyap meski mereka berusaha berlagak normal.
Sore itu, mereka duduk bersama di kantin. Celine tampak riang, bercerita tentang dekorasi festival, tentang gaun yang ingin ia kenakan saat malam puncak, bahkan tentang masa depan. Tapi Putri hanya mendengar setengah hati. Pikirannya terjebak pada satu hal: Arka.
“Put, kamu dengar nggak sih aku ngomong?” tegur Celine sambil tertawa kecil.
Putri tersadar, memaksakan senyum. “Maaf, aku kepikiran tugas kuliah.”
Celine menghela napas. “Aku ngerti kamu sibuk, tapi festival ini penting buat kita. Lagian…” ia menatap Putri dengan sorot mata berbeda, “…aku pengen Arka lihat aku di atas panggung. Mungkin itu bisa jadi awal sesuatu.”
Putri tercekat. Senyum di wajahnya runtuh seketika. Ia ingin mengatakan bahwa Arka selalu memandang puisinya, bukan gaun atau penampilan. Tapi bibirnya kelu. Ia hanya mengaduk-aduk jus jeruknya yang sudah hambar.
⸻
Malam itu, Putri membuka kotak kayu kecil di bawah tempat tidurnya. Di dalamnya ada foto lama: dirinya kecil bersama Bu Sinta, ibunya. Wajah ibunya teduh, matanya lembut, senyumnya hangat.
“Bu, kenapa harus pergi cepat sekali?” bisiknya lirih.
Sejak ibunya meninggal, dunia Putri berubah. Ayahnya, Pak Rahman, yang dulu hangat, menjadi dingin. Ia tak lagi tahu cara bicara lembut. Ia tak lagi memberi pelukan. Putri tumbuh dengan keheningan, mencari tempat lain untuk berlindung—dan menemukannya pada puisi.
Sambil memegang foto itu, Putri menulis lagi:
“Ibu,
andai kau masih ada,
aku tak perlu berpura-pura kuat di depan sahabatku.
Aku tak perlu menahan cinta yang datang tiba-tiba.
Aku tak perlu merasa bersalah hanya karena ingin bahagia.”
Air matanya menetes, membasahi kertas.
⸻
Keesokan harinya, latihan untuk festival berlangsung di aula. Putri duduk di bangku deretan belakang, mencatat beberapa hal. Dari kejauhan, ia melihat Celine sedang mencoba berdiri di atas panggung, berbicara dengan suara lantang. Semua orang memuji ekspresinya yang percaya diri.
Arka, yang duduk di samping Putri, berbisik pelan, “Dia memang berbakat bicara di depan orang banyak.”
Putri hanya mengangguk, menatap kosong.
Tiba-tiba, Arka menoleh ke Putri. “Tapi aku lebih penasaran kalau kamu yang membaca puisi. Kata-katamu… harusnya didengar langsung dari suaramu sendiri.”
Jantung Putri berdebar kencang. Ia menoleh, ingin menolak lagi, tapi tatapan Arka membuatnya tak bisa berkata-kata. Ada sesuatu di sana—ketulusan, rasa ingin tahu, dan mungkin… cinta.
Namun sebelum ia sempat menjawab, Celine turun dari panggung dan menghampiri mereka. Senyumnya lebar, tapi matanya sekejap melirik Putri dengan tajam.
“Aku lihat kalian serius banget ngobrol. Tentang apa?” tanyanya ringan, tapi nadanya menyimpan sesuatu.
“Puisi Putri,” jawab Arka jujur. “Aku bilang dia harus coba tampil di panggung.”
Celine terdiam sepersekian detik, lalu tertawa. “Putri? Membaca puisi di depan umum? Ah, dia kan pemalu. Nggak mungkin mau.”
Putri merasakan dadanya ditusuk. Kata-kata Celine memang terdengar seperti gurauan, tapi juga seperti meremehkan. Ia menunduk, pura-pura sibuk menulis di catatannya.
Arka menatap Celine sebentar, lalu berkata pelan, “Justru itu yang membuat puisinya jujur. Karena ia menulis bukan untuk dipamerkan, tapi untuk bertahan.”
Celine terdiam. Senyumnya memudar tipis, tapi cepat-cepat ia kembalikan. “Ya, mungkin.”
⸻
Malamnya, di kamar, Putri menulis lagi.
Kali ini, baitnya lebih tajam, seolah ia sedang berbicara langsung pada sahabatnya:
“Sahabatku,
kau ingin cinta yang sama denganku.
Tapi aku bukan pencuri,
aku hanya penjaga kata-kata.
Jika cinta ini salah,
biarlah aku yang menyimpannya diam-diam.”
Tangannya berhenti. Ia menutup buku, menatap langit-langit. Ada perasaan getir yang tak bisa ia redam. Untuk pertama kalinya, ia takut kehilangan seseorang: bukan hanya Arka, tapi juga Celine.
Dan jauh di kamar sebelah, Pak Rahman terbatuk lagi, suara seraknya menggema di rumah yang sunyi. Putri tahu, dunia luar bisa menuntut banyak hal darinya, tapi rumah ini pun tak pernah benar-benar jadi tempat ia pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Nasirin
aku suk dengan Putri hayu kita bersaing Gilang
2023-10-10
0
Sity 28
kesel sama Maya
2023-10-10
0
amanda 1998
nggreget
2023-10-10
1