Hari festival akhirnya tiba. Malam yang ditunggu-tunggu banyak orang, tapi justru ditakuti oleh Putri.
Aula kampus penuh sesak: lampu-lampu sorot menyilaukan, kursi-kursi terisi penuh, dan aroma bunga dari dekorasi memenuhi ruangan. Semua orang tampak bersemangat, kecuali satu orang—gadis yang duduk di belakang panggung dengan jantung berdegup tak beraturan.
Putri menggenggam erat buku puisinya, jemarinya dingin, keringat dingin mengalir di pelipis. Ia ingin lari, ingin menghilang, tapi suaranya terikat oleh keputusan Celine: bahwa Arka akan membacakan puisinya untuk pembukaan.
Namun tepat sebelum acara dimulai, panitia panik. Pembawa acara tiba-tiba sakit dan tak bisa hadir. Salah satu senior berkata, “Putri, kamu yang paling cocok. Kamu harus maju baca puisimu sendiri. Ini momenmu.”
Putri langsung pucat. “Aku… aku nggak bisa.”
Tapi suara Celine terdengar tegas di belakangnya. “Kamu harus bisa, Put. Ini kesempatan besar. Jangan sia-siakan.”
Nada suara itu terdengar seperti dorongan, tapi juga seperti tekanan. Putri menatap sahabatnya, mencari kehangatan, tapi yang ia temukan hanya tatapan penuh tuntutan.
Arka mendekat, suaranya lembut. “Kalau kamu takut, anggap saja kamu hanya bicara dengan kertas. Aku yakin kamu bisa.”
Tatapan itu—hangat, tulus—membuat Putri tak sanggup menolak. Ia mengangguk, meski seluruh tubuhnya gemetar.
⸻
Ketika namanya dipanggil, aula menjadi hening. Putri berjalan ke panggung dengan langkah berat, seakan setiap langkah adalah beban. Sorot lampu menyilaukan matanya. Ribuan tatapan seakan menusuk tubuhnya yang rapuh.
Tangannya gemetar saat membuka halaman. Ia menarik napas panjang, lalu mulai membaca:
“Aku bukan bintang,
aku hanya titik kecil di langit yang hampir padam.
Aku bukan rumah,
aku hanya pintu yang tak pernah diketuk.
Tapi di antara sunyi,
ada seseorang yang membuatku ingin bertahan.”
Suara Putri bergetar, tapi semakin lama semakin tegas. Kata-kata itu keluar bukan hanya dari bibir, melainkan dari seluruh luka yang ia simpan.
Di barisan depan, Arka terpaku. Ia menatap Putri dengan mata yang penuh rasa kagum. Seolah akhirnya ia benar-benar melihat gadis yang selama ini hanya ia kenal lewat bait-bait puisi.
Sementara itu, Celine duduk di samping Arka, wajahnya kaku. Ia tersenyum samar untuk menyembunyikan rasa getir yang mendidih dalam hatinya. Ia tahu, setiap kata yang dibacakan Putri bukan sekadar puisi—itu adalah perasaan yang diarahkan pada orang yang sama dengannya.
⸻
Tepuk tangan bergemuruh saat Putri selesai membaca. Namun, tepuk tangan itu hanya terdengar jauh bagi dirinya. Di dalam hati, ia merasa telanjang. Semua rahasia, semua rasa yang ia simpan, kini terbuka tanpa bisa ia sembunyikan lagi.
Di belakang panggung, Arka menghampirinya. Senyumnya tulus, matanya berkilat. “Putri… itu indah sekali. Kamu… lebih indah dari puisimu.”
Putri hanya bisa menunduk, wajahnya panas, jantungnya seperti meledak. Ia ingin percaya kata-kata itu, tapi di belakang Arka, ia melihat Celine berdiri dengan senyum yang dipaksakan.
Tatapan sahabatnya itu bukan lagi tatapan seorang teman. Itu tatapan seseorang yang merasa dikhianati, meski Putri tak pernah berniat begitu.
⸻
Malam itu, di kamar, Putri menulis bait baru:
“Aku berdiri di panggung,
tapi hatiku masih bersembunyi.
Aku mendapat tepuk tangan,
tapi kehilangan genggaman.
Sahabatku,
maafkan aku jika puisiku menikam hatimu.”
Dan untuk pertama kalinya, ia takut pada kata-kata yang ia cintai sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Lala aqilah
cinta anak remaja malu2 meong 🥰
2023-10-09
1