Sesekali ketika aku masih begadang sampai pagi, aku akan mengingatkan Kakak untuk bersujud pada sang kuasa di sepertiga malamnya. Sayangnya aku sendiri baru bisa mengingatkan kakak, sedangkan untuk melakukannya sendiri belum bisa. Mengingatkan diri sendiri untuk melakukan hal yang sama lebih sulit daripada mengingatkan orang lain. Sepertinya memang hatiku belum terketuk untuk bisa melakukan apa yang menjadi rutinitas di dalam keluargaku itu.
Sesekali aku masih menunda, atau dengan sengaja melewatkan salah satu dari lima waktu ketika rasa kantuk atau malas lebih menguasai tubuhku. Kalau ditanya kenapa aku masih melakukannya, aku pun tidak tahu bagaimana jawabanku. Aku hanya sering melakukan kekhilafan dan hilang akal saat dengan sengaja meninggalkan ibadah wajibku. Ketika sadar telah melakukannya, biasanya aku juga akan menyesalinya sendiri. Tapi akhir-akhir ini, dengan alasan yang tak pasti aku merasakan ada sedikit perubahan pada diriku. Ada dorongan yang memaksaku tetap berdiri untuk mengambil wudhu dan melaksanakan tertib lima waktu. Apakah ini hidayah Tuhan?
Saat tinggal bersama keluargaku, atau ketika ada avata yang melibatkan keluarga bear, aku seringkali dibandingkan dengan Kak Zahra yang saat SMA mendapat pendidikan agama di Pondok Pesantren Modern. Begitu juga adik laki-lakiku yang menempuh pendidikan di sekolah formal sekaligus tinggal di asrama Pondok Pesantren Modern sedari kecil.
"Kenapa Hanna nggak tinggal di pesantren juga?"
"Kok Pak Darmawan nggak sekolahin Hanna di pesantren?"
"DI keluarga Pak Darmawan cuma Hanna yang bukan lulusan pesantren, ya?"
"Hanna masih bisa baca al-qur'an, kan?"
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering terdengar dari mulut ke mulut para bibi yang sibuk mengurusi keponakannya dibanding anaknya sendiri. Keluargaku mungkin tegas dalam memegang pedoman agama, tapi Ayah maupun Bunda tidak pernah membatasi ke mana aku harus menempuh pendidikan, atau dimana tempat aku harus belajar. Karena kemana pun aku pergi, dimana pun aku tinggal, selama aku masih bisa beribadah tanpa halangan, maka aku sudah berada di tempat yang benar. Itu yang diajarkan Ayah sebagai bekalku.
Tapi tak jarang pula terlintas rasa penasaran di benakku, melihat Kak Zahra selalu bisa menghadapi segala sesuatu dengan tenang. Sementara aku, setiap yang kulakukan hampir selalu diiringi dengan emosi dan perasaan tak tenang. Sesekali juga aku heran melihat kakak yang begitu anggun, nyaman dalam balutan hijab panjang dan gamisnya setiap waktu. Berbeda denganku yang bahkan masih merasa kepanasan bahkan ketika rambut ini sudah diikat tinggi. Itulah perbedaan kami.
"Minggu ini kamu jadi pulang,'kan?" Suara Bunda dari ponsel yang kuletakkan di samping talenan itu.
"Iya Bun.., jadi kok." Jawabku.
"Kamu pulang sama siapa? Sendiri?" Tanya Bunda masih berlanjut.
"Iya Bun, teman-teman Hanna yang rumahnya sejalan belum pada libur." Jawabku seraya melanjutkan tarian pisau mencincang bawang di atas talenan.
"Tapi kamu udah tahu jalan pulang, kan? Kamu naik apa pulangnya?"
"Rencananya naik kereta aja sih Bun, nanti kalau udah sampai stasiun tinggal pesan taksi sampai ke rumah, jadi nggak ribet."
"Benaran bisa pulang sendiri, ya?"
"Iya Bunda ..., nggak sesulit itu kok untuk membiasakan diri dengan transportasi umum Indo."
"Ya sudah, kalau gitu hati-hati aja di jalannya. Nanti kalau udah sampai stasiun kabarin Bunda, kalau keretanya udah berangkat kabarin Bunda, kalau udah dapat taksi juga kasih tahu Bunda."
"Iya, Bunda. Nanti Hanna update kabar terus kok."
"Udahlah Bun, Hanna bukan anak SMA lagi." Suara Ayah dari belakang terdengar menimpali kekhawatiran Bunda.
"Anak kita perempuan loh, Yah. Gimana Bunda nggak khawatir." Balas Bunda sewot menanggapi Ayah yang memang tipikal orang santai.
"Ya udah Bun, ini Hanna lagi masak buat makan siang. Hanna tutup teleponnya, ya?"
"Iya, Nak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullah."
Yah, Bunda selalu seperti itu, mengkhawatirkanku karena aku adalah anak perempuan yang lebih muda tiga tahun dari Kak Zahra. Sementara Ayah selalu mencoba dingin dan tegas menghadapiku yang adalah anak perempuannya. Meski di belakang, aku tahu Ayah juga tak lebih khawatir dari Bunda dengan anak perempuannya ini, beliau hanya tidak ingin terlihat peduli.
*****
Aku melanjutkan langkahku menyusuri pertokoan bergaya Indonesia jaman dulu. Ada beberapa hal yang perlu kubeli sebelum kepulanganku besok. Sehingga aku rela jauh-jauh pergi ke jajaran pertokoan lama. Setelah berjalan beberapa saat, aku mampir ke penjual barang bekas, iseng melihat-lihat barang di sana.
"Hey! Ngapain?" Seseorang menyentuh bahuku dari belakang.
Aku segera menoleh terkejut. "Oh, ini lihat-lihat barang bekas. Banyak buku-buku keren juga ternyata." Jawabku seraya tersenyum.
"Waah, anak double degree emang kebiasaannya belajar, ya? Kemana-mana yang dibeli pasti buku." Ujarnya melirik buku yang kupegang.
"Enggak juga ah, sendirinya ngapain ke sini?" Aku balik bertanya.
"Mau beli komik. Dengar-dengar di toko ini masih jual komik limited edition, tapi penjualnya nggak tahu kalau itu edisi terbatas." Bisiknya lirih di dekat telingaku.
"Okay, selamat menawar ya Rin. Semoga dapat komiknya." Aku berlalu meninggalkan laki-laki itu.
"Loh, lo nggak jadi beli buku?"
Aku menggeleng pelan. "Nggak, cuma lihat-lihat doang kok. Duluan, ya." Kataku sekali lagi berjalan menjauh dari sana.
Garrin masih berdiri di tempatnya, melihat ke arahku sampai aku berjalan lebih jauh. Sejujurnya hati ini merasakan desiran-desiran lembut yang membuat jantung berdetak dua atau tiga kali lebih cepat dari normalnya. Tapi rasanya tak benar jika aku tetap membiarkan keadaan itu berjalan. Tak benar kalau aku memiliki perasaan itu dan tetap berada di sana. Astaghfirullahal'adziim
Setelah berjalan tanpa berpikir, sebuah suara dari toko kaset menghentikan kakiku. Aku menundukkan kepala, tanganku meremas sweater hitam yang kupakai sore itu. Mataku melihat pada debu dan kerikil di depan kakiku, hingga tanpa kusadari air mataku jatuh. Pikiranku tidak lagi memikirkan Garrin, tapi jantung ini bahkan berdebar kencang. Aku bergegas pulang ketika kusadari ada yang aneh pada diriku.
Sampai di rumah, aku masih bertanya-tanya dalam hati. Aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Kenapa bisa aku seaneh ini. Tapi sisi hatiku lainnya segera membela, mungkin karena pengaruh datang bulan, mood ku jadi mudah sekali berubah-ubah. Ketika sudah lebih tenang, sore itu juga aku segera memesan tiket kereta untuk pulang dan memilih keberangkatan besok. Beruntungnya masih ada satu tiket yang tersisa untukku.
***
.... Author POV ….
Kereta memang akan menjadi lebih sesak ketika akhir pekan. Dan inilah yang dirasakan Hanna ketika hendak pulang kampung di akhir pekan. Tapi semua ini tetap harus dialuinya dengan ikhlas demi memenuhi permintaan orang tua yang juga melibatkan saudaranya. Bahkan hingga kini, ia masih tak tahu alasan kepulangannya.
Karena hanya seminggu di rumah, ia tak membawa begitu banyak barang. Hanya beberapa buku dalam tas ransel, dan oleh-oleh khas kota B yang mungkin akan sangat diharapkan adik laki-lakinya. Pakaian-pakaian masih banyak yang ia tinggal di lemari rumah, sehingga tak perlu repot-repot membawa pulang pakaian dari rumah sewanya. Dan hari itu, sebuah pelajaran bisa ia ambil dari dalam gerbong kereta kelas eksekutif.
Setelah mendapatkan kursi sesuai nomor dalam tiket yang ia pegang, Hann duduk memangku tasnya. Ia mengirimkan pesan kepada sang Bunda, memberitahu bahwa ia sudah duduk di dalam kereta. Gadis itu lantas mengalihkan pandang ke luar kereta yang sebentar lagi berjalan. Ia sama sekali tak menghiraukan berisiknya gerbong kereta sampai ketika seorang petugas menghampiri wanita yang hendak duduk tepat di kursi sebelah Hanna lantas mengusirnya.
Wanita itu kira-kira berumur awal lima puluh tahun dengan salah satu lengan gamisnya yang robek. Wanita itu membawa cukup banyak barang sampai kerepotan sendiri. Ketika hendak duduk di kursi sebelah Hanna seorang ibu-ibu muda menghampirinya dengan nada merendahkan. Ibu muda itu mengatakan bahwa kursi di sebelah Hanna adalah miliknya sesuai dengan tiket yang ia pegang. Namun wanita setengah abad itu tetap kukuh merasa benar dengan kursi yang ia tempati. Keributan pun berlansung sampai petugas datang.
"Maaf, ini gerbong eksekutif Bu, sepertinya anda salah masuk pintu gerbong." Ucap pria yang menghampirinya itu.
Sang wanita setengah abad yang baru saja menaikkan salah satu tas besarnya ke tempat penyimpanan itu pun menarik kembali tasnya. Ia tampak menghela napas, namun kemudian berjalan mengikuti pria bertubuh tegap itu pergi ke gerbong yang lain. Kursinya digantikan oleh seorang Ibu muda berusia kisaran tiga puluh tahun yang lantas duduk dengan muka masam.
Disimpulkan sebagai Ibu muda karena baru saja ia menyebut "Nak" sebelum akhirnya mematikan telepon dari ponselnya. Sesekali ia terdengar sedang menggerutu, entah kesal karena apa. Beberapa saat kemudian kereta mulai berjalan, Hanna memalingkan pandangannya kembali keluar jendela, menikmati perjalanan panjangnya.
Beberapa saat kemudian, seorang pria berusia kisaran empat puluh tahun duduk tepat di depan kursi Hanna. Ia tak membawa rokok, tapi dari jarak sedekat ini, Hanna mampu menghirup bau tembakau yang masih tersisa dari napasnya. Ibu-ibu muda yang duduk di samping Hanna itu seketika mengeluhkan penumpang laki-laki yang baru datang karena bau tembakau.
"Duhh, baunya sampai ke sini. Nggak tahan banget."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
shofiarouf
brrti bukan aq aja ya yg agak bingung sama flashback nya 😅
2021-12-25
0
BELVA
udh kulike nih ka kutunggu kedatangannya di Ab jerat iblis terimakasih ya
2021-05-22
0
Choco Panda 🐼
Aku sukaa cerita ini. jadi begigtu baca ada yang bilang ceritanya jelek. menurut saya ya yang koemntar itulah yang jelek. toh kamu belum.bisa bikin karya seperti ini
2021-02-03
0