“Nikah yuk!”
“Apa!!”
Author POV ….
Tinggal di tengah keluarga yang memiliki pedoman kuat dalam memegang teguh ajaran agama. Hanna terlahir dari keluarga sederhana yang boleh dikatakan berkecukupan. Memang bukan dari keluarga kaya raya atau keluarga terpandang dari keturunan ningrat, tapi setidaknya berangkat dari ajaran keluarga itu, Hanna mampu menjadi seorang manusia yang bisa mensyukuri nikmat, dan menempuh hidup sebagai manusia yang memiliki pedoman.
Ketika lulus dari kelas akselerasi SMP dan SMA-nya, kedua orang tua Hanna sudah pernah mengatakan pada anak-anaknya, bahwa mereka belum mampu membiayai pendidikan ke luar negeri. Kata-kata itu tak semata-mata diucapkan karena ketidakmampuan, tapi sengaja diucapkan sebagai motivasi agar Hanna, Kakak, dan Adiknya termotivasi untuk menjadi lebih mandiri. Atas usaha dan didikan tegas orang tua, Hanna berhasil meraih full scholarship di salah satu universitas dalam negeri. Meski perjuangan mendapat beasiswa itu tak semudah membaca cerita, tapi usaha Hanna memang tak main-main sampai bisa merasakan berada di titik ini.
Zahra, Kakak Hanna sekaligus putri Sulung keluarga Darmawan, belum lama ini diangkat menjadi dosen di salah satu universitas di Surabaya, bertepatan ketika Hanna baru akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Sementara Harun, adik bungsunya sampai saat ini masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Bagi Hanna, bukan gelar satu-satunya yang ingin ia cari setelah lulus dari masa kuliahnya. Ada hal yang lebih rumit, yang sampai sekarang masih ia pertanyakan dalam dirinya sendiri. Perihal hakikat kehidupan dan proses panjang yang dilalui, serta tujuan akhir dari setiap proses. Ia ingin mencari apa yang tak ia dapatkan ketika bersama keluarganya. Ia ingin membentuk dirinya menjadi seperti apa seorang manusia seharusnya.
"Udahlah, kalau kamu mau lanjut S2, percaya kamu pasti bisa. Rezeki siapa yang tahu? Kamu cuma perlu usaha dan doa yang imbang." Sedikit dari petuah sang Kakak yang masih terngiang hingga sekarang.
Memang Kakak perempuannya itu yang paling dekat dengan Hanna dibandingkan kepada Bunda dan Ayahnya. Tapi terkadang Hanna pun terpikir tentang masa depan kakaknya, sementara sang kakak selalu dengan suka rela memenuhi apa yang orangtuanya butuh daripada dirinya sendiri. Di usia ke-26nya, Kak Zahra masih belum menemukan tempat untuk hatinya berlabuh. Yang kadang, hal itu juga menjadikan pertanyaan lain yang mengusik pikiran Hanna.
"Belum terpikir untuk ke arah sana Bun. Sudah ada di tangan Tuhan. Tinggal tunggu waktunya saja." Ucap sang Kakak setiap kali ditanya kapan akan melepas status lajang.
Dan setiap mendengar Kakak dan Ibunya membicarakan kapan menikah, Hanna seperti merasa dirinya yang membebani sang Kakak sampai harus menunda pernikahan. Memang Kak Zahra tidak pernah berpacaran, tapi bukan hal yang sulit untuk mendapatkan hati pria dengan wajahnya yang selalu berseri dan prestasi, hingga ilmu agama yang dimilikinya itu. Tapi sampai di usia kini, Kak Zahra masih nyaman dengan kehidupan lajangnya.
"Kak, passion Kakak apa sih?" Tanya Hanna pada suatu kesempatan berada semeja dengan Sang Kakak.
"Membahagiakan diri sendiri." Jawabnya disertai senyuman terkembang.
"*So what makes you happy*?"
"Sederhana aja. Jangan mengejar dunia, dan bikin orang lain bahagia."
“*Really*??”
“Semua bisa pergi, datang, dan sesekali tinggal sementara untuk menguji kita. Di dunia ini apa sih yang kita kejar? Semua hanya titipan Han, beruntung kalau kamu bisa mendapatkannya sementara, tapi kamu juga nggak akan rugi kalau kamu kehilangannya. Yang sebenarnya masih ada akhirat menunggu kita.”
Jawaban itu yang membuat Hanna intropeksi diri, 'Apakah ia saat ini masih membebankan Kakaknya?' Tapi Kakaknya selalu menolak mengiyakan pertanyaan itu secara tersirat dari caranya mengalihkan topik dan membuat Hanna percaya. Tapi tetap saja baginya itu pasti memberatkan.
Ayahnya yang kini berusia setengah abad selalu menunjukkan baik-baik saja hidup menjalani pekerjaan yang dicintainya. Mungkin enam tahun lagi ia akan pensiun dan menikmati masa tua. Maka tekad besar Hanna adalah bagaimana tak membiarkan kakaknya seorang diri yang membiayai adiknya. Segala keroyalan yang diberikan orangtuanya dulu kepadanya, pun sudah saatnya dibalas ketika masa tua. Meski belum sebanding besarnya.
Sebulan lalu, Hanna mendapat telepon dari orangtuanya. Yang intinya, mereka meminta Hanna dan Kak Zahra pulang sesegera mungkin. Belum diketahui alasan apa yang mendasari permintaan orangtuanya, tapi sepertinya ini merupakan hal penting yang mendesak. Dan rencananya, libur di minggu ketiga akan menjadi hari kepulangan Hanna setelah meninggalkan orangtuanya selama sebulan ini.
Flashback mode on ….
Suara burung bercicit dari kabel-kabel listrik yang mengendur. Melengkapi suasana sejuk pagi hari, membiarkan matahari masuk melalui celah-celah gorden yang sedikit tersingkap. Tubuh manusia yang masih terkulai dengan balutan piyama seolah uring-uringan antara otak dan hatinya. Ia ingin bangun, namun mengingat ia baru saja memejamkan mata dua jam yang lalu, membuat sang pemilik bulu mata lentik itu enggan bangkit dari ranjangnya.
Kini cicitan burung telah berganti menjadi suara ibu-ibu komplek yang bergosip di tengah-tengah chaos-nya suasana menyerbu tukang sayur langganan. Seperti biasa, fenomena pagi itu tak lagi asing di telinga para penghuni perumahan.
Sementara, ketika kantuk masih menguasai sang pemilik tubuh mungil, ia justru memaksakan diri menurunkan selimutnya dan bangkit setelah mengumpulkan nyawa. Kedua kakinya menuntun pergi ke kamar mandi, mengguyur epidermis kulitnya dengan air pagi yang menyegarkan. Ketika otaknya yang masih setengah sadar mengingat bahwa dirinya kini tinggal sendiri, maka ia pun bergegas bangkit dan menyatu, menjadi bagian dari kerumunan ibu-ibu komplek untuk membeli bahan masakan.
"Selamat pagi Ibu-Ibu" sapa ramahku pada ibu-ibu komplek yang berkerumun tepat di depan rumahku seperti biasa.
"Pagi Hanna … tumben nggak jalan-jalan pagi hari ini?" tanya salah seorang Ibu komplek. Memang hari ini agak berbeda karena aku sengaja tak pergi olahraga seperti hari-hari sebelumnya.
Aku tersenyum menanggapinya. "Iya, hari ini anu ..., lagi dapet, Bu, semalam juga begadang, hari ini jadi bangun kesiangan," balasku.
"Ooh lagi datang bulan. Eh kata Ibu saya waktu dulu saya masih sekolah, kalau lagi datang bulan disuruh minum 'Kunir-asam', biar perutnya nggak sakit loh," tambah salah seorang lagi.
"Iya. Saya juga pernah dikasih tahu, tapi sekarang jamu begituan udah jarang ada yang jual, Bu," sahut yang lainnya.
"Memang jarang ada yang jual, tapi saya biasa buat sendiri. Kalau Hanna atau mungkin Ibu-Ibu ada yang mau, bisa saya buatin, tinggal bilang aja. Bahan-bahannya selalu ada di rumah saya," tawarnya.
"Iya Bu, makasih. Kapan-kapan Hanna ke rumah Ibu, sekalian minta diajarin cara buatnya," Lagi-lagi aku hanya tersenyum mengiyakan wanita-wanita paruh baya itu.
''Hanna ini sekarang semester berapa?" Ibu tukang sayur turut bertanya.
"Saya semester enam Bu," jawabku.
“Waah, hampir lulus dong. Rencananya mau pindah atau tetap di sini?”
“Belum tahu Bu..,”
"Oh ya, jurusan apa?"
"Saya ambil manajemen bisnis."
"Anak saya juga ambil manajemen bisnis, dia baru mau masuk semester dua."
Obrolan pun terus berlanjut sampai semuanya selesai memilih belanjaan masing-masing. Aku segera masuk kembali ke rumah ukuran 12 × 15 meter yang kutinggali seorang diri itu. Kuletakkan sayuran yang baru kubeli ke meja dapur. Dan seperti ramalan yang menjadi nyata, kini perutku mulai terasa nyeri. Nyeri yang selalu kurasakan setiap dua hari pertama masa menstruasi. Mengerikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
ou_felicia
Nahh kan bener, alurnya campuran
2021-01-26
0
liliyen_tong
mantul
2021-01-19
0
Laras Kasih
sama aku juga kalo lagi datang bulan, dihari pertama nyeri kram, perut rasanya kya diparut..sakit beud 😣😖😖
2020-12-20
2