Setelah kembali ke kamar, aku memutuskan untuk memesan makanan karena rasa nyeri di perut ini sama sekali tak mengizinkanku untuk bergerak leluasa. Beruntungnya hari ini aku tak ada jadwal kuliah, jadi aku bisa lebih banyak istirahat dan diam menikmati tiap rasa sakit dari nyeri bulanan ini sembari jungkir balik di atas ranjang.
Pukul sembilan pagi bel rumah ditekan beberapa kali, makanan yang kupesan datang. Dengan terus memegangi perut dan sesekali meringis menahan sakit, aku memaksa untuk berjalan turun. Terkadang dalam beberapa hal, tinggal di rumah sendirian juga tak mengenakkan. Namun di sisi lain, tinggal sendiri masih lebih nyaman bagiku daripada harus mengontrak ramai-ramai.
"Kembaliannya ambil aja Pak," ucapku masih berdiri di depan pintu rumah.
"Jangan Mbak, ini masih ada dua puluh ribu lebih. Saya ada kembalian kok." Tolaknya seraya mencari-cari uang dari saku jaketnya.
"Nggak apa-apa Pak, ambil aja buat jajan anak bapak," Aku kembali menolak secara halus.
"Beneran ini Mbak?" Tanyanya masih tak percaya.
"Iya Pak.."
"Makasih banyak Mbak kalau begitu. Rezeki mana boleh ditolak," ujar pria bermasker hitam itu sembari berjalan menuju motornya.
Aku kembali masuk, meletakkan kantung plastik berisi makanan yang barusan kupesan ke atas meja. Kemudian beralih bersandar pada sofa ruang tamu sambil memeluk erat bantal, mencoba melupakan rasa nyeri di perut. Setelah merasa lebih baik, aku mengambil kantung plastik tadi dan mengeluarkan satu per satu isinya ke atas meja. Belum sempat mencampurkan kuah dengan bubur, dering ponsel tiba-tiba terdengar. Tertulis nama Khadija di sana. Kalau bukan urusan penting dan mendesak, tidak mungkin temanku itu sampai harus menghubungi sepagi ini.
"Assalamu'alaikum. Hanna, kamu di rumah?" Suaranya terdengar panik.
"Wa'alaikumsalam, iya. Ada apa?"
"Bisa ke sini sebentar? Laptopku mati tiba-tiba, padahal deadline tugasnya siang ini."
"Kamu dimana?"
"Aku di gazebo 2 di taman dekat komplek perumahan kamu."
"Okay, aku ke sana sebentar lagi. Assalamu'alaikum."
"Iya, cepat ya.., wa'alaikumsalam." Khadija menutup teleponnya.
Nyeri yang tadi sangat menyiksaku, seketika bisa seketika kulupakan. Aku segera mengambil lunchbox dan mengisinya dengan bubur yang kupesan itu. Kalau Khadija sudah sampai di taman komplek sepagi ini, besar kemungkinan ia belum sarapan. Dan akan lebih baik kalau makanan yang cukup banyak itu kubagi bersama dengan Khadija.
Setelah mengambil laptop dan memasukkannya dalam ransel, dan membawa serta lunchbox, aku mengeluarkan sepeda dari garasi, mengayuhnya cepat menuju taman komplek. Sesaat setelah memarkirkan sepedaku, tampak Khadija tengah duduk panik di salah satu gazebo taman. Tapi setelah aku berjalan mendekat, rupanya temanku itu tak sendirian di sana.
"Hai! Selamat pagi!" Sapaku kepada dua orang yang duduk di gazebo itu.
"Akhirnya kamu datang juga, aku panik banget tadi. Untung nggak sengaja ada Garrin lewat sini." Ujarnya masih terdengar panik.
Di sisi lain dari kepanikan Khadija, seorang laki-laki serius menatap layar laptop dan mengutak-atik laptop yang semula Khadija pakai. Seperti biasa, laki-laki ini selalu serius dan mengedepankan kepentingan orang lain ketika dimintai pertolongan. Dan itu adalah sisi keren seorang Garrin Wijaya di mataku. Kehadiran laki-laki itu di antara aku dan Khadija, sudah seperti kakak yang menjaga adik-adik perempuannya.
"Mungkin ini masih bisa aku benerin, tapi kayanya perlu waktu deh." Garrin masih serius dengan laptop di tangannya.
"Paling cepat kapan?" Tanya Khadija.
"Besok malam." Jawabnya memandangiku dan Khadija bergantian.
"Yaah, gimana dong..?" Khadija menatap ke arahku dengan mimik muka sedihnya.
"Kamu nggak ada salinan tugasnya?" Tanya Garrin.
"Iya sih ada, tadi sempat aku salin ke USB Drive, tapi itu yang belum aku revisi. Ah, bodoh" Khadija menahan kekesalannya sendiri.
"Nggak apa-apa, nanti aku bantuin deh." timpalku.
"Tapi laptopnya?"
"Mau pakai punyaku? Biar aku ambil sekarang." Garrin beranjak dari duduknya segera.
"Aku bawa kok, pakai punyaku aja." Potongku, membuat laki-laki itu kembali duduk.
"Boleh?" Tanya Khadija menatap dengan mata berbinar.
"Iya nggak apa-apa pakai aja, daripada harus antre pinjam komputer di perpustakaan. Lagian tugas-tugasku udah selesai kok. Kalau ada tugas lagi, masih bisa aku kerjain dari komputer di rumah." Balasku menenangkannya, yang segera dibalas pelukan oleh Khadija.
Entah ini hanya halusinasi di mataku, atau memang fakta yang sedang terjadi. Untuk sesaat Garrin menatapku tanpa berkedip, bibirnya menarik senyum manis yang jarang dilihat dari sosok dingin dan serius seperti Garrin. Padahal mata kami hampir tak pernah saling bertatapan seperti ini sebelumnya
"Anyway, kalian belum pada sarapan,'kan?" Tanyaku ketika Khadija melepas pelukannya.
Garrin mengalihkan pandangannya dari menatapku selama beberapa waktu tanpa berbicara. “Aku ….”
"Gimana kalau sebelum bantuin tugasnya Khadija, kita sarapan dulu? Aku terlanjur pesan bubur banyak soalnya." Tawarku seraya membuka tas berisi lunchbox yang sengaja kusiapkan tadi.
"Aku … enggak usah. Kalian aja yang sarapan, aku udah sarapan tadi." Garrin mengemasi laptop Khadija, memasukkannya dalam tas dan beranjak.
"Aku pergi dulu ya, biar laptopnya Khadija juga cepet selesai." Ujarnya sembari berdiri dan berjalan menuju sepeda yang juga diparkirkan di area taman.
"Makasih, ya, udah mau bantuin. Hati-hati di jalan, Rin!"
Laki-laki itu pergi begitu saja, mengayuh sepeda yang setara dengan harga mobil tanpa beban. Membawanya pergi dan menghilang sampai di belokan. Aku pun kembali fokus pada lunchbox berisi sarapan itu. Kami lantas memakan sarapan bersama, dengan Khadija yang juga belum mengisi perut pagi ini. Jiwa-jiwa kelaparan semakin terlihat ketika kami bisa menghabiskan makanan dalam lunchbox itu dalam waktu beberapa menit saja.
Seusai sarapan, Khadija lanjut mengerjakan tugasnya dari macbook silver milikku. Sesekali aku juga membantunya barang sedikit sebisaku. Bahkan sesekali kami membahas hal-hal di luar tugas Khadija. Seperti menceritakan Garrin, hingga dosen-dosen yang ia temui di fakultas pendidikan matematika murni tempat Khadija belajar saat ini.
Khadija dan aku memang berada di satu universitas yang sama, tapi berbeda fakultas. Bahkan kami juga berbeda tahun angkatan. Khadija kini memasuki semester empat di fakultas matematika murni. Sedangkan aku berada di semester enam fakultas manajemen bisnis. Kami bertemu pertama kali ketika aku baru saja tiba di kota ini, sebagai mahasiswa yang akan melanjutkan pendidikan di kampus kota B yang cukup terkenal.
Khadija masih melanjutkan tugasnya hingga hampir tengah hari. Udara sekitar pun mulai panas, tanpa disadari. Begitu Khadija selesai mengirim tugasnya, ia tampak sangat lega. Air mukanya menjadi jauh lebih tenang dan berseri dari sebelumnya. Seolah satu beban hidup terberat telah terangkat seketika.
"Akhirnya.., lega banget. Makasih ya Han," ucapnya lugas.
"Iya sama-sama. Lain kali jangan panikan deh, coba ngomongnya pelan-pelan." Balasku tersenyum tipis.
"Iya, maaf banget udah ngerepotin." Ujar Khadija seraya menyodorkan macbook itu padaku.
"Garrin bilang laptopnya baru beres besok, kan? Mending pakai aja dulu punyaku. Bukannya baru kemarin kamu bilang lagi banyak-banyaknya tugas, ya?" Aku menyerahkan kembali macbook itu.
"Tapi kamu juga pasti banyak tugas,'kan?"
"Nggak sebanyak kamu kok. Udah deh, percaya aku. Kamu bawa aja, aku bisa pakai komputerku di rumah."
"Ya udah deh. Sekali lagi makasih banyak ya, Hann, Hanna emang yang terbaik deh." Ucapnya sembari mengacungkan kedua ibu jarinya.
Aku melihat gadis yang duduk di sebelahku ini sambil tersenyum. Tapi pikiranku justru berkelana jauh kembali pada manusia bernama Garrin Wijaya. Laki-laki yang tiba-tiba menunjukkan senyumannya tanpa alasan beberapa waktu yang lalu. Dan bahkan berani untuk tak berpaling sedikit pun dari tatapan tajamku. Ada apa dengannya? Aneh.
Hingga kaki menginjak pada lantai rumahnya, pikiranku masih terlarut pada hal yang abstrak bagiku. Mungkin karena pengaruh menstruasiku ini, mood dan pikiran jadi lebih berantakan dari biasanya. Dan bersamaan dengan itu, sepulang kembali ke rumah, rasa nyeri di perut ini kambuh lagi. Aku hanya bisa diam memeluk bantal, meringkuk di atas ranjang dan menikmati tiap rasa sakit yang menyerang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
hello_melody
emang kenapa sih kalo alurnya mundur ke sini? keknya gua yang baca santuy santuy ae. enjoy enjoy ae
2021-06-18
0
ya ya Kiyya~
Ouh throwback gitu ceritanya
2021-02-03
0
⭐~BabyAlexa~⭐
Sukaaaa🤩🤩
2021-02-03
0