Siksaan berupa perut yang nyeri tak tertahan itu masih bersarang padaku. Nyeri yang kemarin menyerang, kembali lagi ketika aku baru saja selesai membuat sarapan. Terlalu sakit hingga aku pun akhirnya memutuskan menghubungi ibu tetangga kompleks yang menawariku jamu datang bulan beberapa hari yang lalu.
Hanya dalam beberapa menit setelah aku menghubungi Bu Rahmi tetanggaku itu, Bu Rahmi segera datang ke rumah. Membawa Kunyit asam sesuai permintaan. Tak hanya itu, bahkan bahkan membawakan I free pad kompres hangat untukku. Sejujurnya ini adalah pertama kali seorang Hanna merepotkan orang lain hanya karena nyeri menstruasi.
"Cuma sakit biasa kok Bu.."
"Jangan gitu Hann, kalau sakitnya biasa kamu nggak akan sampai telepon saya. Udahlah, mending kamu istirahat aja. Hari ini nggak ada kuliah, kan?" Bu Rahmi memberikan kompres hangat dari tangannya.
"Ada kuliah siang, Bu, hari ini. Sebentar juga pasti nyerinya hilang." Aku mencoba menghibur diri sendiri dengan kebohongan menyedihkan.
"Jangan terlalu maksa Han. Mending sekarang kamu naik sana, istirahat ke kamar kamu. Atau mau saya bantuin?" Saran Bu Rahmi melihatku sudah selayaknya anak kandung.
"Di sini aja Bu.., saya cuma butuh istirahat sebentar." Aku menarik selimut dan memposisikan tubuhku berbaring menjadi lebih nyaman di atas sofa ruang tamu.
"Terserah kamu aja kalau begitu, yang penting sekarang kamu udah minum jamunya, terus istirahat sebentar sampai nyerinya udah agak reda. Nanti makan siangnya saya ambilin dari rumah."
"Nggak usah Bu Mi.., saya bisa pesan makanan kok."
"Nggak baik loh, kalau sering makan makanan cepat saji. Saya juga tiap hari udah biasa masak porsi banyak, jadi nggak usah ngerasa sungkan. Jangan sampai kamu...."
Suara Bu Rahmi seperti nyanyian nina bobo yang mendatangkan kantuk dan membuat tidurku makin nyaman. Serasa dekat dengan orangtua yang jauh sampai membuatku benar-benar tertidur di sofa ruang tamu ini. Kenapa bisa ada tetangga sebaik Bu Rahmi?
***
Aku mereganggkan tubuh yang masih kaku terbaring di sofa. Rasa sakit yang mendera terasa samar semakin menghilang meski belum sepenuhnya hilang. Tapi rasanya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku pun mengubah posisi tiduran menjadi duduk dan menurunkan sedikit selimut yang kupakai.
"Gimana? Udah baikan?"
"Alhamdulillah, udah jauh lebih baik." Jawabku mengucek mata,
"Bagus deh. Gue pamit pulang dulu kalau gitu."
"Tunggu-tunggu..." Aku masih mengumpulkan nyawa mencoba memahami keadaan saat ini.
Seseorang tengah duduk bersila menghadapku di karpet bulu yang terletak di tengah sofa ruang tamu. Dan akhirnya kedua mata ini benar-benar terbangun mendapati Garrin Wijaya yang ada di sana. Ia terduduk bersila menghadap ke arahku, melihatku dengan ekspresi yang mengatakan seakan sudah wajar baginya ada di sini.
"Ngapain lo di sini?" Tanyaku dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Tadi Aden bilang ke gue katanya lo nggak ikut mata kuliah Pak Bima. Terus gue telepon ke rumah lo, yang angkat tetangga lo, katanya perut lo sakit karena datang bulan." Jelas Garrin datar.
"Sekarang jam berapa?" Tanyaku cepat.
"Jam tujuh." Jawabnya singkat.
"Terus, sejak kapan lo di sini?" Tanyaku lagi.
"Dari jam dua siang tadi."
Aku menghela napas, memejamkan mata sembari memukul-mukul keningku. "Pulang gih. Nanti dicariin Om Diman kalau lo nggak balik cepat." Aku cepat mengusir laki-laki yang entah bagaimana bisa memunculkan desiran aneh dalam hati ini.
"Ini juga udah mau pulang sih. Tapi yakin, lo mau gue pulang sekarang? Nggak mau gue temenin dulu bentar?" Garrin mendekat dengan gerakannya yang mendadak.
"Nggak. Gue udah baik-baik aja kok." Aku tersentak sampai harus menahan napasku.
"Okay, gue pulang. Bu Rahmi juga udah siapin makanan di meja makan. Udah gue panasin juga biar tinggal makan." Laki-laki itu berdiri tapi tak juga berpindah dari tempatnya.
"Cepat sembuh ya…" Suaranya lirih seraya mengusap punggung tanganku beberapa saat.
Tak lama, akhirnya laki-laki bertubuh jangkung itu segera keluar dari rumah ini. Aku turut mengantarnya sampai ke beranda rumah. Di satu sisi aku lega karena tak harus menahan sikap, atau sok jaga image di depan laki-laki itu. Tapi di sisi lain, aku malu mengakui bahwa aku sedikit menyayangkan kepergian Garrin yang sebenarnya selalu membuatku merasakan ketenangan dan nyaman di saat yang bersamaan.
Setelah mobil hitam itu lekas menjauh pergi, aku menggumam lirih, berbicara pada diriku sendiri. Sesaat kemudian aku melangkah masuk menuju ke kamar untuk membersihkan badan. Benar, Bu Rahmi sampai repot-repot menyiapkan makanan untukku. Membuatku semakin salut dengan tingginya kepedulian tetangga di komplek itu. Memang tinggal di rumah ini selama satu tahun saja akan jadi kenangan indah nantinya.
Ketika melihat ponsel di atas ranjang, tanganku segera meraih dan memeriksa ratusan notifikasi yang masuk ke ponsel itu. Beberapa di antaranya dari Pak Bima, Khadija, dan Garrin. Sisanya dari grup chat. Dan dua pesan lagi dari Kak Zahra.
"Assalamu’alaikum.."
"Hanna minggu depan jadi pulang,'kan?"
Pesan singkat itu membuatku penasaran ingin segera menjawabnya. Semoga dengan memintaku pulang, bukan pertanda suatu yang buruk. Semoga.
Setelah membersihkan diri, aku segera mamilih baju dan turun untuk membukakan pintu dari suara bell yang ditekan berulang. Setelah membukakan pintu, ternyata Bu Rahmi datang dengan anaknya yang kira-kira masih berusia lima tahun. Ia juga membawakan kunyit-asam yang tampaknya baru dibuatkan lagi untukku.
Aku menyilakan beliau masuk dan membuatkan minuman untuk tetangga nan baik hati itu. Rasa syukur terbesar bisa memiliki tetangga yang begitu peduli. Apalagi aku merupakan pendatang yang tinggal sendiri di rumah sewaan orang tuaku ini. Ketika asyik berbincang dengan Bu Rahmi, lagi-lagi rumah ini kedatangan tamu. Aden, Khadija bersama dengan Garrin datang menjenguk. Alhasil, rumah yang biasanya sepi ini pun mendadak ramai.
Namun ternyata, Aden dan Garrin hanya mampir sebentar untuk mengantarkan Khadija kemari. Dua laki-laki itu kembali pergi setelah mengantarkan Khadija sampai ke rumah ini. Khadija yang ternyata begitu suka dengan anak-anak mengajak anak perempuan Bu Rahmi bermain di rak kecil yang berisikan album foto dan foto-toto dalam bingkai vigora pajangan.
"Oh iya Bu, minggu depan saya mau pulang. Saya titip rumah ke Bu Rahmi lagi ya…" Ujarku meminta izin.
"Kok udah pulang lagi? Kan baru sebulan."
"Kurang tahu juga kenapa, tapi orang tua saya minta supaya pulang, katanya ada hal penting."
"Ooh, kalau perminataan orang tua sih, sebaiknya di-iyakan saja. Barang kali memang ada keperluan mendesak." Tutur Bu Rahmi.
"Kak Hanna! Ini siapa?" Tanya gadis kecil itu seraya menunjuk foto seorang laki-laki di dalam album foto.
"Ayahnya Kak Hanna kah?" Tanyanya lagi.
"Itu.., bukan. Itu … foto temannya ayah Kak Hanna." Jawabku diakhiri dengan senyum. Padahal aku hanya mengira-ngira.
"Ooh, temannya ayah Kak Hanna, aku kira Ayahnya Kak Hanna. Kalau foto Ayahnya Kak Hanna yang mana?" Gadis kecil itu memberondong dengan pertanyaan lugu anak-anak.
"Ada kok, mungkin di album satunya."
Aku berjalan menuju ke tumpukan buku-buku dan album yang ada di rak. Menceritakan foto-foto apa yang ada di album itu kepada putri Bu Rahmi. Sesekali terdengar tawa, dan semakin banyak kata untuk membagi kisah yang masih terbingkai dalam album-album bersejarah itu. Khadija turut mendengarkanku yang lepas kendali, begitu antusiasnya bercerita bak pendongeng.
*****
Aku benar-benar tak sabar menghabiskan waktu seminggu di rumah. Sejenak melepas beban perkuliahan yang setiap hari menggentayangi. Bagiku, beban kuliah tak begitu berat karena prinsip yang selalu kuanut, 'Jika bisa selesai lebih cepat, kenapa harus menunda'
Sesekali ketika aku masih begadang, bahkan sampai pagi, aku akan mengingatkan Kakak untuk bersujud pada sang kuasa di sepertiga malam. Sayangnya aku baru bisa mengingatkan kakak, sedangkan aku sendiri belum bisa mengingatkan ragaku untuk melakukan hal yang sama. Hatiku belum terketuk untuk bisa melakukan apa yang menjadi rutinitas di dalam keluargaku itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
wonder mom
agak binun. subyek cerita, aku ato hanna c?
2021-06-28
0
Derra Orientama
komentarnya kok pada jelek jelek. padahal kalau nggak suka ya ngak usah baca dasar people +62
2021-02-03
0
Najwatirta
apa Hanna mw dinikahin yak?
2020-12-24
0