Tiba-Tiba Menikah (Suddenly Married!)
Dengan segenap keyakinan dan doa yang tak henti-hentinya terucap, aku melangkah menuju bangunan bertingkat tinggi itu. Banyak yang bilang bahwa penampilan menjadi penilaian pertama dan utama saat interview kerja, seperti yang akan kuhadapi saat ini. Apalagi aku bukan tipe gadis yang memiliki selera fashion kekinian. Aku sempat takut untuk menghadapi persaingan yang ketat untuk posisi anggota divisi marketing.
Sebelumnya, perkenalkan namaku Hanna Aleesa, aku hanya gadis biasa saja, usiaku baru saja menginjak 21 tahun, bertepatan dengan wisuda S1 fakultas manajemen bisnis. Sebagai fresh graduate yang memiliki pengalaman sebagai exchange student di Australia, aku ingin mencoba melamar pekerjaan di sebuah perusahaan penerbit yang cukup terkenal dan kebetulan sedang membuka lowongan kerja. Keinginanku melamar pekerjaan ini semata-mata hanya untuk mencari pengalaman, sejujurnya aku tak berambisi bisa menduduki posisi itu nanti.
Sejak awal aku tak berencana mengincar posisi di perusahaan itu. Karena dengan diterima bekerja sebagai karyawan di sana saja sudah seperti keajaiban untukku. Dan entah bagaimana, sampai akhirnya aku tiba di sana setelah melalui undangan surel untuk ikut tes wawancara. Ini adalah interview kerja pertamaku, CV, dan latihan menjawab pertanyaan HR baru kupelajari teori dasarnya saja. Jadi tak heran aku sangat grogi sejak masuk ke gedung bertingkat tinggi itu.
Sial atau justru keberuntungan, aku mendapat nomor urut terakhir untuk interview. Dari keseluruhan pelamar sekitar 34 orang, aku ada di urutan ke-34. Melihat para pelamar lain yang sepertinya tampak berpengalaman, fashionable, dan menarik seolah membuat mentalku semakin menciut. Tapi sungguh tak kusangka, di wawancara pertama ini aku lolos dan termasuk dalam sepuluh besar kandidat calon karyawan yang akan melaksanakan interview kedua tiga minggu lagi.
“Permisi, Kak? Kalau boleh tahu, toilet di sebelah mana, ya?” tanyaku pada resepsionis.
“Ada belokan di sebelah lift, pintu kedua itu toilet cewek, Kak,” tunjuknya ramah.
"Terima kasih, Kak."
Aku segera berjalan cepat menuju ke tempat yang ditunjukkan sang resepsionis. Rasa tak nyaman karena menahan buang air kecil sejak tadi memaksaku terburu hingga tak memperdulikan lagi keadaan di dalam toilet. Baru setelah aku membuang zat sisa metabolisme tubuhku dan keluar dari toilet, seseorang berpakaian modis yang tengah memperbaiki dandanannya itu mengajakku bicara.
"Anak magang?"
"Saya?" Aku menunjuk pada diriku sendiri.
"Ya iyalah situ, siapa lagi." Ketusnya menjawabku.
"Oh, bukan Kak. Saya juga pelamar kerja, yang barusan interview."
“Fresh graduate, ya?” tanyanya mengangkat sebelah alis.
“Iya Kak,”
“Kalau saranku, mendingan kamu cari kerjaan lain aja deh. Jadi sekretaris, apalagi di perusahaan sebesar ini terlalu berat buat fresh graduate biasa,” ujarnya pongah.
“Emm … maksudnya fresh graduate biasa itu, gimana ya? Kalau summa cum laude itu termasuk fresh graduate biasa atau luar biasa?” Aku balik bertanya dengan nada tak mengerti.
“Cih! Cumlaude itu cuma angka, praktik lapangannya belum tentu bagus, jangan kepede-an ya.” Wanita itu berlalu pergi meninggalkanku bercermin sendiri.
Aku tersenyum memandangi diri di cermin. Padahal dia duluan yang menyebut 'fresh graduatebiasa'. Kalausumma cum laudedan lulus dalam waktu 3,5 tahun harusnya bukan kategori 'fresh graduatebiasa' dong? Kok kakaknya malah baper?
Aku membenarkan hijabku sambil bergumam, "Lagian siapa yang mau jadi sekretaris?"
Jika tujuan wanita tadi adalah menghancurkan mentalku, maka sangat disayangkan, rencananya itu belum bisa berhasil. Seorang Hanna Aleesa tak mungkin berangkat ke tempat ini tanpa modal mental yang kuat. Sedari lama aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal semacam ini. Pengalamanku selama dua tahun di Australia juga cukup memberiku modal untuk menghadapi beragam tipe orang. Dan bagiku, bertemu seseorang seperti wanita tadi bukanlah ancaman yang perlu kukhawatirkan. Justru kata-kata wanita itu membuatku semakin termotivasi.
Sepulang dari kantor pusat penerbit tempatku wawancara, sengaja aku mampir ke salah satu café untuk janji bertemu dengan salah seorang teman. Teman kuliahku yang selalu mendukung karir masa depan seperti yang kuharapkan. Teman yang selalu memberiku semangat dan mengajariku bagaimana bersyukur. Salah satu sahabat terbaik yang kupunya selama kuliah di Indonesia.
Kling! Pintu cafe itu terbuka ketika aku melangkah masuk ke dalamnya. Gadis yang duduk memakai tunik ungu melambai, mengisyaratkan tempat duduk yang telah ia siapkan selagi menungguku.
“Gimana wawancaranya?” tanyanya antusias
“Lancar dong ….” jawabku mengacungkan ibu jari.
“Ada wawancara tahap kedua?”
“Ada, masih tiga minggu lagi. Kira-kira aku perlu siapin apa aja, ya?”
“Siapin mental aja, nanti pasti persaingannya makin ketat, karena saingannya orang-orang yang udah berpengalaman dibidang penerbitan atau at least udah ada pengalaman kerja sebelumnya,” jelasnya menepuk punggungku.
“Tapi, Hann, aku masih penasaran deh. Kenapa kamu minat di bidang penerbitan? Bukannya kamu bisa kerja di perusahaan tempat Ayah kamu itu?”
Aku tersenyum malu mendengarnya menanyakan pertanyaan yang selalu kuhindari itu. “Bossnya ganteng, ya?”
“Ih enggak. Aku bahkan belum tahu wajah pemilik perusahaannya."
“Kalau bukan itu, terus apa dong? Ayolah, masa kamu enggak mau kasih tahu?”
"Sebenernya ..., aku diundang langsung sama HR-nya buat ikut tes wawancara di perusahaan ini. Aku juga sebenernya nggak tahu sih, mereka bisa tiba-tiba kontak aku karena alasan apa. Yang jelas ini bukan bentuk nepotisme, dan ..., mana mungkin sih aku nolak ikut wawancara kerja di perusahaan sebesar AA Publisher."
"Jangan-jangan, ini ulah Pak Rama?" Khadija tersenyum melontarkan pertanyaan sekaligus tuduhannya itu.
"Khadija! Kok Pak Rama sih?"
"Abisnya siapa lagi yang punya relasi sama perusahaan sebesar ini kalau bukan Pak Rama? Oh! Atau Garrin? Keluarganya juga pengusaha, kan?"
"Ah, nggak tahu deh. Pokoknya kalau aku lolos interview kerja, dan keterima jadi karyawan di sini, aku traktir." Ucapku seraya meraih cup choco almond dan mengangkat alisku.
*\~*
Tiga minggu rupanya berjalan begitu cepat. Antara perasaan tak sabar sekaligus takut bercampur menjadi satu kala menghadapi wawancara final itu. Aku mencoba datang lebih cepat, tapi ternyata urutan pelamar ditentukan berdasar keputusan perusahaan, dan aku kembali jadi pelamar terakhir. Sesuai prediksiku, lagi-lagi, aku menjadi pelamar paling muda di sana. Sembilan wanita lain yang duduk di ruang tunggu menunggu namanya dipanggil, rata-rata dari mereka hampir kepala tiga.
Pukul empat sore, pelamar nomor urut sembilan memasuki ruang interview. Tinggalah aku duduk sendiri di kursi ruang tunggu sampai namaku dipanggil. Dengan sisa waktu yang ada, kucoba mengatur napas dan pikiranku setenang mungkin agar tak gugup saat menjawab pertanyaan. Tapi melihat pelamar nomor urut sembilan yang keluar dari ruangan interview sambil menangis\, tak bisa dipungkiri membuat mental *fresh graduate-*ku kembali menciut. Bahkan tiba-tiba tanganku bergerak sendiri.
“Pelamar terakhir, Hanna Aleesa?”
“Ah, iya saya!” aku mengangkat tanganku.
“Silakan masuk ….” Staff itu membukakan pintu ruang interview, mempersilakanku masuk.
“Setelah masuk, anda bisa langsung duduk di depan meja itu. Semoga beruntung, Hanna!” bisiknya pelan membuatku semakin berdebar.
Setelah duduk, aku mengepalkan kedua tanganku yang dingin. Menurut rumor yang beredar, direktur baru AA Publisher adalah orang yang sangat selektif. Bahkan beliau rela turun tangan langsung untuk mewawancarai calon karyawannya. Banyak juga berita yang mengatakan ahwa pergantian direktur ini menjadi titik menuju kembalinya era kejayaan AA Pulisher setelah melalui masa kritis dua tahun lalu.
Jangan lengah Hanna! Direktur AA Publisher juga manusia, sama sepertimu! Aku mencoba menguatkan diriku sendiri di sela tangan yang bergetar.
Direktur utama AA Publisher duduk membelakangiku, tampak ia masih memegang kertas bertuliskan CV dan lampiran yang kubuat. Cukup lama aku menunggu dengan jantung yang melompat-lompat tak karuan. Bahkan asisten yang berdiri di sebelah kursinya itu juga diam membisu, kecuali matanya yang sesekali menatapku dengan pandangan kurang mengenakkan.
“Double degree di Australia?”
“Iya!” jawabku tergugup.
Pria itu terdengar menghela napasnya. Membuatku terpikir akan kata-kata wanita yang kutemui di toilet waktu itu. "Bagus, CV-nya, dan lampiran yang kamu buat semuanya cukup bagus. Cukup mengesankan."
"Anda terlalu memuji saya, Pak."
"Ah, tidak. Saya rasa kamu punya cukup kompetensi untuk berada di sini."
"Terima kasih, Pak. Saya juga berharap bisa memberikan kontribusi saya sebaik mungkin untuk perusahaan ini jika saya diterima sebagai karyawan di sini."
"Maksud saya bukan itu."
"M- maaf, Pak?" Aku mengerutkan dahi mendengar ucapannya barusan. Aku salah dengar*?*
Pria itu memutar kursinya menghadapku. "Maksud saya bukan berada di perusahaan ini. Tapi berada di sisi saya, sebagai istri."
"Huh?"
“Nikah yuk!” Pria itu memukul mejanya menghadapku.
“Apa!!”
Flashback mode on ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Nurmalina Gn
auto kaget
2022-11-05
0
Ida Mom's Deden
.
2021-09-21
0
Aqu Ajaah
🤣🤣🤣🤣🤣 kok..lucu
2021-08-17
1